WARTABUANA – Salah satu obyek wisata di Banyuwangi yang sudah lama dikenal dan sampai sekarang masih memiliki daya tarik bagi wisatawan adalah Watu Dodol. Terletak di kecamatan Kalipuro, Banyuwangi. Disekitar Watu Dodol dapat dinikmati indahnya panorama laut Selat Bali.
Batu raksasa yang disebut Watu Dodol yang dimaksud berdiri angkuh di tengah dua lintasan. Letaknya persis berada diperlintasan jalur Banyuwangi -Situbondo. Sekitar 5 kilometer dari Pelabuhan Ketapang, tempat penyeberangan fery ke Gilimanuk, Bali.
Kalau kurang puas melihat panorama pantai Selat Bali yang indah, bisa mendaki bukit dan menikmati pemandangan dari atas bukit yang tak jauh dari Watu Dodol.
Bahasa Jawa, ‘Watu’ artinya Batu. Sementara ‘Dodol’ berasal dari jajanan jenang manis yang cukup dikenal masyarakat Banyuwangi. Arti lain Dodol berarti ‘jual’. Jadi artinya, batu yang ‘jualan’ atau dengan kata lain batu yang lagi ‘nampang’.
Namun banyak yang punya versi lain. Misalnya batu itu katanya mirip bentuk jenang dodol. Kata dodol yang berarti ‘jualan’ juga erat hubungannya dengan legenda Kiyai Semar yang berjualan (dodolan) di sekitar Watu Dodol. Namun dalam kisah, bahan-bahan jualan yang dijual Semar terguling dan tumpah. Berasnya tumpah menjadi hamparan pasir putih, yang kini berada di sisi pantai.
Sementara pikulan kayunya terlempar dan menancap di sela-sela Watu Dodol. Pikulan kayu tersebut tumbuh menjadi Pohon Kelor. Disana memang banyak pohon kelor. Air yang dibawa semar juga tumpah. Orang Jawa dan orang Banyuwangi mempercayai kayu kelor adalah pohon mistis yang dapat menghilangkan segala ilmu kanuragan jika dimakan, juga dapat menghilangkan keampuhan susuk atau santet dibadan jika makan kelor.
Herannya orang Banyuwangi banyak yang membuat sayur bening dari daun kelor, sementara Banyuwangi sendiri dikenal kota santet. Bagaimana korelasinya, tidak jelas. Sementara bekal air minum Semar yang tumpah menjadi sumber air tawar yang mengalir di bibir pantai. Sumur air tawar itu sampai kini masih ada, berlokasi di area Pantai Watu Dodol. Banyak yang mempercayai air tawar ini dapat menyembuhkan berbagai penyakit, dan awet muda jika diusap di wajah.
Air itu kini menjadi bagian ritual yang setiap tahun digelar, yaitu ritual Puter Kayon. Upacara ini merupakan festival penduduk yang biasa dilakukan seusai Lebaran atau Hari Raya Iedul Fitri.
Upacara itu bentuk perwujudan rasa syukur karena dapat melaksanakan Lebaran dengan gembira serta dapat mengenang jasa Buyut Jakso, sesepuh yang dipercaya pertama kali membuka desa Boyolangu yang letaknya jauh diatas. Upacara biasanya dimulai mengarak tumpeng dan sesajian dari Boyolangu ke Pantai Watu Dodol. Sesajian lalu dilarungkan ke laut dan tumpeng disantap bersama-sama.
Namun legenda ini diperkirakan tidak murni berasal dari masyarakat Osing (penduduk asli Banyuwangi), karena dianggap ‘tak nyambung’ dengan adat dan budaya Banyuwangi yang selama ini ada. “Memang, legenda kadang tak berhubungan dengan adat dan budaya setempat, tapi masyarakat terlanjur mempercainya,” kata budayawan Banyuwangi, Hasnan Singodimayan.
Yang jelas Watu Dodol memiliki bentuk yang unik, bagian atasnya lebih besar daripada dasarnya, namun kokoh berdiri selama ratusan tahun. Dulu daya tarik Watu Dodol karena keangkerannya, namun seiring dengan pemberdayaan wisata kota Banyuwangi, Watu Dodol kini menjadi asri karena ditata sedemikian rupa oleh Pemda Banyuwangi, termasuk dibagunnya patung selamat datang berbentuk patung Gandrung.
Pemda Banyuwangi membuat wisatawan yang datang kesini merasa nyaman karena dilengkapi parkir yang luas, warung-warung yang menyediakan makanan khas Banyuwangi, kamar mandi bagi wisatawan yang bermain di pantai, dan perahu nelayan yang disewakan untuk melaut ke tengah laut. Jadi sekarang jauh dari angker, minimal siang hari.
“Kalau mau angker harus naik kebukit, di sisi Barat. Disana ada makam tua. Tapi penyair-penyair Banyuwangi pernah membaca puisi di makam itu tengah malam, dan alhmadullilah tak ada apapa,” kata Hasnan Singodimayan sambil tertawa.
Disana memang ada sepasang makam yang dikeramatkan, malah kadang ditemui orang bertapa. Kondisi makam sangat terawat. Ada kanopi bergaya Tiongkok serta lantai bertegel putih. Ciri khas budaya Tiongkok makin kuat dengan adanya kuil kecil di sisi makam yang ditujukan kepada Dewa Bumi Tu Di Gong.
Dilengkapi wadah untuk hio.Tidak sulit untuk ke makam ini, jalan menuju makam dibangun dengan batu sehingga mempermudah perjalanan pengunjung. Di sekitar Watu Dodol juga dapat ditemui gua misterius, dan pernah dijadikan basis pertahanan Jepang.
Bahkan zaman Jepang masih menduduki Indonesia, pernah berupaya untuk memindahkan Watu Dodol karena mengganggu transportasi mereka. Puluhan orang dikerahkan untuk memotong Watu Dodol agar lebih mudah dipindahkan, tetapi ternyata tidak membawa hasil. Saat hendak digulingkan dengan ditarik kapal, ternyata Watu Dodol tak goyang sedikitpun, malah konon kapal yang menarik akhirnya tenggelam. Watu Dodol memang misterius, angker sekaligus indah. [pkc]