Oleh : Maxixe Mantofa, B.A.
Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau yang sekarang berubah sebutannya menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI) sesuai Amanah UU’18/2017, sudah dimulai sejak lebih dari 35 tahun silam. Awal mula penempatan manusia Indonesia untuk bekerja ke luar negeri hanya diatur dengan Permen maupun Kepmen, hingga terbitnya UU ‘39/2004 dengan mengakomodir sebuah badan baru di pemerintahan saat itu dengan nama BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) yang kemudian dengan terbitnya UU baru berubah menjadi BP2MI (Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia).
Di awal mulainya dengan adanya Undang-Undang yang menurut hemat kami, banyak yang tidak dapat di implementasikan secara tepat pada penempatan di masing-masing negara tujuan penempatan PMI, dikarenakan kemungkinan saat perancangan UU tersebut pemikiran wakil rakyat hanya tertuju kepada satu kawasan negara penempatan saja, sehingga menjaditumpuk menumpuk dengan peraturan yang dibuat oleh pemerintah di negara penempatan.
Ambil contoh dengan diharuskannya membeli asuransi sebagai bentuk perlindungan di satu kawasan yang saat itu meng-“haram”-kan asuransi, membuat pembelian asuransi di kawasan lain menjadi dobel oleh karena negara-negara di kawasan tersebut sudah mengharuskan para pengguna jasa untuk membelikan perlindungan terhadap pekerja migran asing dalam bentuk asuransi sebelum mereka menginjakkan kakinya setelah pesawat mendarat di negara tersebut.
Belum lagi pengaturan perpanjangan kontrak di negara penempatan yang sesuai UU kita seharusnya mewajibkan pembelian asuransi BPJS walaupun para PMI tidak pulang ke Indonesia sewaktu memperpanjang kontrak kerja mereka yang bisa kita katakan bahwa hal ini gagal dilakukan di mayoritas banyak negara yang saat hal ini akan dipaksakan untuk jalan, ditolak dan didemo sendiri oleh para PMI di depan kantor perwakilan Republik Indonesia di negara penempatan.
Belum lagi bahwa saat pembuatan UU, kami yakin bahwa pemikiran wakil rakyat kita hanya tertuju kepada satu jenis pekerjaan yaitu sektor Pekerja Domestik, sebutan keren dari Asisten Rumah Tangga. Mengapa demikian?
Kita lihat saja bahwa alur perekrutan PMI sesuai UU yang ada mengharuskan Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) untuk memiliki Job Order Agreeement terlebih dahulu, lantas kemudian harus diajukan SIP (Surat Ijin Perekrutan) dimana ini sudah benar dan sah untuk sektor pekerja domestik, namun tidak pas apabila diterapkan pada sektor non pekerja domestik, seperti sektor perhotelan, industry, dan lain-lainnya, dimana para pengguna jasa mengharuskan P3MI untuk memiliki cukup kandidat pekerja yang akan dipilih sesuai permintaan jumlah, yang artinya P3MI harus menyiapkan paling sedikit dua kali lipat dari jumlah yang akan dipilih oleh calon pengguna jasa, sebelum mereka menentukan pilihannya.
Sehingga bisa dikatakan bahwa hampir seratus persen P3MI harus melanggar isi dari pada UU yang ada, dimana setelah terpilih barulah SIP itu kita ajukan sesuai angka dan nama-nama calon kandidat pekerja yang terpilih.
Belum lagi belakangan terjadi pemutar balikkan fakta UU di lapangan yang menyebutkan bahwa apabila pengguna jasa sudah membayarkan biaya-biaya dari penempatan, maka P3MI tidak boleh membebankan lagi biaya-biaya tersebut kepada PMI, dimana hal ini sangatlah pantas dan benar, namun penyesatan dengan istilah “zero cost” membuat semuanya seolah-olah benar-benar “zero” untuk PMI, padahal bukanlah demikian.
Fakta yang tidak bisa dipungkiri bahwa lebih dari 75% dari dokumen-dokumen jati diri para PMI mengalami kesalahan-kesalahan yang tidak dapat dipahami dan ditolerir oleh pemerintah di negara penempatan terutama saat verifikasi kontrak kerja dan pengajuan visa kerja, sehingga bagi PMI harus mengeluarkan biaya sendiri untuk melakukan pembetulan atau koreksi secara resmi di instansi yang terkait.
Ambil contoh ada seorang PMI dengan nama “Muhammad Rizki” di KTP nya, namun menjadi “Muh. Rizky” atau “Moh. Riski” atau “Mohammed Rizky” di jati diri yang lain, sudah akan dianggap sebagai jati diri daripada orang yang berbeda oleh pemerintah asing. Pembetulan seperti ini akan makan waktu yang lama dan biaya yang tidak murah.
Dengan adanya penyesatan istilah “zero cost”, tuntutan dari PMI meminta pengguna jasa yang membayarkan biaya ini. Belum lagi karena pemerintah daerah yang ada di Indonesia rata-rata tidak memiliki anggaran untuk membayarkan biaya pelatihan dan kompetensi bagi para PMI sesuai UU yang ada, sempat agak “dipaksakan” harus pengguna jasa yang membayarkan.
Oleh karena itu dikurun saat gonjang-ganjing ini terjadi, ada penurunan jumlah penempatan PMI di luar negeri karena terjadinya bersamaan pula dengan merebaknya pandemic Covid-19.
Hal berikutnya yang harus di perhatikan bahwa adanya kegagalan pejabat dalam pengawasan jumlah ijin P3MI yang dikeluarkan, dimana persaingan di lapangan sudah tidak sehat lagi, belum lagi banyaknya P3MI yang “meminjamkan” ijin perusahaannya kepada insan lainnya dengan menerima fee pembayaran kepada pemilik ijin P3MI tersebut.
Persaingan yang tidak sehat di antara P3MI pada akhirnya akan merugikan PMI sendiri dengan berbagai hal, salah satunya adalah overcharging dan penempatan unprosedural. Pengawasan pemerintah terhadap pekerja migran yang akan ditempatkan dalam hal ini, Indonesia masih kalah jauh pejabatnya dalam hal keberanian mereka membuat peraturan dan keputusan, dibandingkan dengan pemerintah Filipina melalui POEA (Phillipines Overseas Employment Administration), sebuah badan pemerintah setingkat BP2MI di Indonesia dengan kekuatan penuh dan lebih besar dibandingkan dengan BP2MI dalam membuat keputusan untuk melindungi para pekerja migran mereka, termasuk mengatur ijin akreditasi para employment agencies di negara-negara penempatan dengan jumlah minimal penempatan baru dari Filipina yang di patok sebesar 100 orang per tahun untuk dapat memperbaharui akreditasi mereka.
Indonesia dalam hal ini terbalik dan mengijinkan satu employment agency dapat ber-mitra dengan 5 hingga 10 P3MI, sehingga yang terjadi adalah “bargaining power” ada di tangan employment agencies, bukan di tangan P3MI, sehingga pada akhirnya harga penempatan yang harus dibayarkan kepada P3MI menjadi hancur, dan lagi-lagi PMI yang pastinya akan menjadi korban.
Beberapa minggu yang lalu, Kepala BP2MI Benny Rhamdani, mengadakan konferensi pers dimana beliau menyuarakan proposal kenaikan dan perbedaan gaji di negara penempatan antara PMI yang sudah memiliki pengalaman kerja di Singapura/Taiwan/Hong-Kong, dengan PMI yang hanya memiliki pengalam kerja lokal maupun di luar 3 negara tersebut, dimana hal ini pastinya akan disambut baik oleh P3MI terlebih oleh PMI sendiri.
Selain akan menaikkan devisa minimal 20% untuk negara, juga akan menaikkan angka penempatan PMI dari Indonesia ke negara penempatan. Penting untuk diketahui bahwa hal ini semata-mata untuk mencegah employment agency hanya melakukan penempatan lokal dengan memproses ulang para PMI yang sudah bekerja di negara penempatan, yang akan habis kontrak kerjanya ataupun yang mengganti pengguna jasa, sehingga akreditasi yang diberikan oleh perwakilan pemerintah Indonesia di negara penempatan bukan hanya digunakan untuk memetik keuntungan yang mudah dan tidak mempedulikan nasib PMI yang masih menunggu di Indonesia untuk dapat ditempatkan ke negara penempatan.
Kami merasa apabila hal ini yang terjadi, maka secara etika sudah salah, karena tujuan utama dalam ber-bisnis penempatan PMI baik dari sisi P3MI maupun employment agency, tidak etis hanya mengutamakan profit tanpa mempedulikan tujuan lainnya yaitu membantu pemerintah Indonesia dalam mengurangi pengangguran di dalam negeri. Rencana yang dilontarkan oleh Kepala BP2MI akan lebih baik lagi apabila ditangkap dan dijadikan peraturan secara tertulis dalam bentuk Kepmen/Permen oleh Menteri Tenaga Kerja Indonesia, Ibu Ida Fauziyah, dan yang kita harapkan pula akan segera di implementasikan oleh para pejabat di perwakilan pemerintah Republik Indonesia di negara penempatan.
Ide yang sangat baik ini bukanlah ide baru, namun adalah peraturan yang sudah diterapkan oleh pemerintah Filipina selama puluhan tahun dan sudah berjalan dengan rapi dan baik. Dan apabila hal ini segera diterapkan pula oleh pemerintah kita, maka bukan lagi “harga” yang menjadi basis “pertarungan” di lapangan oleh P3MI, namun “kualitas” yang akan menjadi faktor utama, yaitu kualitas kompetensi PMI sendiri, yang pada akhirnya semua pihak akan merasakan dan mendapatkan solusi “win-win”.
Dengan adanya keputusan ini, maka secara alami akan tersingkir baik P3MI, maupun employment agency yang bekerja dengan norma kurang baik dan tidak bertanggung jawab dalam melatih kompetensi para PMI.
Secara Geo-Politik, penempatan PMI sudah saatnya diambil alih menjadi kewenangan penuh dari pemerintah pusat sejajar seperti OJK, Bank Indonesia, Kementerian Agama, Hankam, dll, supaya mengurangi banyaknya tumpang tindih dengan adanya Peraturan Daerah (Perda) yang sering diangkat oleh pejabat daerah menjadi seolah-olah lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan UU, semata-mata karena mereka lebih tunduk dan takut terhadap pimpinan daerah yang memberikan mereka jabatan.
Kekuatan penempatan PMI ke luar negeri tidak bisa dipandang rendah oleh siapapun, karena kekuatan ini apabila dikelola dengan benar akan menjadi sebuah kekuatan yang bisa mempengaruhi dunia baik di sektor pariwisata, kuliner, budaya, agama, diplomatik dan politik. Kami memimpikan Presiden selanjutnya di periode 2024-2029 untuk bisa membuat satu divisi di KSP (Kantor Staff Presiden) dengan sebuah SUPER BODY yang bekerja dibawah Kepala Negara langsung yang bisa mengawasi instansi terkait dengan penempatan PMI, memperhatikan proses penempatan unprosedural dan menelurkan ide-ide yang luar biasa guna kepentingan Bangsa Indonesia di kancah Internasional dalam beberapa segi, baik untuk generasi sekarang, maupun untuk beberapa generasi setelahnya.
Dan pastinya harus diisi oleh insan yang benar-benar paham dengan dunia penempatan PMI, bukan sekedar memenuhi kursi untuk kepentingan balas budi secara politik. Bisa dibayangkan dengan menuanya populasi di manca negara maju yang sangat membutuhkan PMI kita dimana populasi Indonesia selalu mengalami kenaikan setiap tahunnya, saya teringat denga apa yang pernah dilakukan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), yang boleh dikatakan sebagai “P3MI pertama” di Nusantara yang menempatkan sekitar 33,000 orang Jawa di kurun tahun 1890 hingga 1939 di negara penempatan Guyana Belanda (Suriname) di sektor perkebunan dan perhutanan, kita bisa melihat bahwa keturunan saudara kita di sana sekarang ada kurang lebih 15% dari total populasi Suriname, dan meduduki posisi-posisi penting di pemerintahan mereka hingga kedudukan Menteri.
Hal ini bukan tidak mungkin bagi para PMI kita sekarang yang jumlahnya sudah jutaan orang yang tersebar di manca negara untuk suatu hari bermukim tetap di sana dan beranak cucu hingga menghasilkan keturunan yang diharapkan memegang posisi penting di negara tersebut yang mungkin akan menguntungkan posisi pemerintah Indonesia di masa mendatang di kancah internasional. Belum lagi penyebaran makanan, budaya, agama dan Bahasa yang semuanya pastinya akan menguntungkan kita di masa-masa mendatang, dan peningkatan kunjungan wisata ke Indonesia yang seharusnya meningkat pula seiring dengan lebih banyaknya penempatan PMI yang terjadi dari tahun ke tahun.
Sering saya mendapatkan kesan bahwa secara tidak langsung pemerintah kita mengutarakan untuk mengurangi penempatan sektor pekerja domestik ke luar negeri, bahkan ada yang menganggap bahwa sektor ini bukan sektor yang memiliki “skill”. Dalam hal ini mari kita jabarkan se-detail dan se-jelas mungkin, bahwa hal ini apabila demikian adanya pemikiran mereka maka adalah langkah yang salah besar.
Pertama-tama, kita tahu bahwa semua penempatan secara prosedural sektor pekerja domestik sudah dibekali dengan pelatihan kompetensi yang di sahkan dengan Sertifikat Kompetensi oleh BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi), yang berarti mereka adalah pekerja yang memiliki “skill”.
Yang kedua, kita harus memahami bahwa pemerintah kita belum memiliki keharusan untuk semua warga negara Indonesia wajib menyelesaikan program pendidikan 16 tahun, sehingga apabila kita memeriksa data statistik sekarang, maka sekitar 67% dari angkatan kerja Indonesia berpendidikan setara SMP ke bawah, dan tidak banyak lapangan kerja baik di dalam maupun di luar negeri yang dapat mempekerjakan mereka dengan jenjang pendidikan yang demikian.
Meskipun hari ini pemerintah memulai program pendidikan merata 16 tahun bagi semua rakyat, itupun masih 21 tahun lagi terhitung dari sekarang, baru statistik angkatan kerja kita terlihat lebih baik di atas kertas.
Yang ketiga, bahwa diperlukan adanya 1 generasi yang ber”korban” untuk dapat menyekolahkan generasi berikutnya dengan baik dan mengubah nasib keluarga untuk menjadi lebih baik lagi, dan inipun sudah banyak terbukti, dimana keturunan dari pekerja domestik yang ditempatkan di luar negeri serta sukses, menaikkan derajat pekerjaan generasi berikutnya di dalam negeri, ada yang menjadi perawat, dokter, pengacara, tentara, polisi, ASN, bahkan yang saya dengar (entah benar atau salah) ada yang menjadi Menteri Tenaga Kerja Indonesia periode 2014-2019, Bapak Hanif Dhakiri.
Yang keempat, bahwa hak warga negara Indonesia untuk mendapatkan kehidupan yang layak, sudah dijamin oleh UU Dasar 1945, sehingga sektor pekerja domestikpun harus kita hormati sebagai salah satu jalan bagi warga kita untuk mencari kehidupan yang mereka pandang layak.
Baik Pemerintah,, P3MI, Employment Agency, maupun pengguna jasa wajib memahami pula bahwa perubahan cara mendidik kompetensi dan penanganan terhadap PMI harus pula mengalami perubahan, disebabkan oleh penempatan PMI sekarang ini mulai diisi oleh generasi ke 3 dan ke 4 terhitung dari dimulainya penempatan PMI ke luar negeri lebih dari 35 tahun yang lalu.
Kita di lapangan melihat kenyataan bahwa generasi sekarang ini memiliki kehidupan ekonomi yang jauh lebih baik dibandingkan dengan generasi pertama dan kedua saat mereka merantau untuk bekerja ke luar negeri, dimana berarti bahwa generasi sekarang jauh lebih “manja” dan tidak “tahan banting” secara mental. Apabila generasi ini tidak terdidik secara kompeten dan mental yang benar, maka walaupun penempatan PMI diisi oleh insan yang berpendidikan lebih tinggi dari sebelumnya, angka kegagalan dalam bekerja akan meningkat dibandingkan beberapa generasi yang lalu.
Sangat wajib untuk semua pihak yang terkait dapat duduk Bersama mencarikan formula yang tepat untuk perubahan kurikulum yang dibutuhkan dari generasi ke generasi.
Semoga harapan-harapan, kritikan dan masukan yang ada di dalam tulisan ini bisa membuka cara pandang kita yang mungkin sebelumnya kurang paham akan penempatan PMI menjadi paham, dengan harapan bahwa penempatan PMI akan menjadi lebih baik lagi ke depannya dengan memberikan solusi yang “win-win” untuk semua pihak yang terkait, khususnya terhadap PMI, yang harus kita pandang bukan sebagai komoditas, namun sebagai sesama manusia Indonesia yang wajib kita bantu dan didik secara kompeten, mental, moral serta integritasnya dengan harapan akan menjadi modal bagi mereka saat memutuskan untuk kembali berkarya di Tanah Air ataupun apabila mereka memutuskan untuk tetap tinggal di tanah rantau.
Sangat mulia pekerjaan P3MI yang dilakukan dengan benar karena hal ini pastinya sangat membantu pemerintah selain memutus tali rantai pengangguran, juga membantu dalam pemutaran roda ekonomi negara kita melalui devisa yang dikirimkan oleh PMI yang ditempatkan ke Tanah Air.
Semoga Yang Maha Kuasa Memberkati Indonesia selalu. Amin.[]