WARTABUANA – Dunia seni musik tanah air berduka. Maestro musik Sunda, Mohammad Tan Deseng wafat pada Minggu, 6 November 2022 di Bandung. Pemain gitar dengan julukan “Setan Melodi” itu pergi meninggalkan warisan berupa artefak budaya rekaman album Wayang Golek.
Tan Deseng lahir di Tamim (sekitar Pasar Baru, Bandung) pada 22 Agustus 1942. Ayahnya, Tan Tjing Hong adalah seorang pengusaha, shinse, pelukis, dan mampu memainkan sejumlah alat musik. Dari 8 anaknya, hanya Tan Deseng dan kakaknya, Tan De Tjeng yang tertarik dunia seni.
Berkat kepedulian Tan Denseng pada dunia seni, kini masih ada rekaman album wayang golek Giri Harja, Upit Sarimanah, sampai Tati Saleh. Dia pula yang memperkenalkan ‘Ketuk Tilu’ menjadi dasar Tari Jaipong melalui pita rekamannya yang digarap bersama para pemusik dari Karawang.
Di usianya 12 tahun, Tan Deseng remaja sudah mulai serius mendalami musik Sunda. Bahkan saat berusia 16 tahun dan tinggal Palembang, dia selalu menitikkan air mata ketika mendengar lagu-lagu Sunda melalui Radio Republik Indonesia (RRI).
Kepiawaiannya bermusik, terutama musik Sunda didapatnya secara otodidak. Dia belajar dari banyak orang, mulai dari tetangga hingga para maestro kesenian Sunda.
Tan Deseng belajar Waditra (instrumen) musik sunda dari Adjat Sudrajat atau Mang Atun. Kemudian belajar Kecapi dan Suling dari Evar Sobari, Mang Ono, Sutarya, dan Dalang Abah Sunarya yang notabene ayah kandung dalang kesohor Asep Sunandar Sunarya.
Kemampuannya pada musik Sunda terutama Karawitan terus berkembang. Hingga tak heran jika dia sering tampil di panggung megah di dalam maupun luar negeri, seperti Jepang, China, Thailand, dan lainnya.
Tan Deseng memang suka mendokumentasikan aset-aset penting budaya sunda melalui rekaman pita hitam. Dia orang pertama yang merekam pagelaran Dalang Abah Sunarya. Kemudian pesinden kondang Titim Fatimah. Lalu ada Euis Komariah, Tati Saleh dan lainnya.
Rekaman yang kini menjadi artefak budaya tersebut dilakoninya sejak tahun 1950-an. Dia mempelajarinya secara otodidak dengan modal seadanya. Bahkan peralatan perekaman yang dimilikinya saat ini merupakan pemberian Titim Fatimah tahun 1970an. Saat itu Titim membelinya seharga Rp 70 juta, mungkin kini seharga miliaran rupiah.
Titim merupakan sinden kenamaan. Untuk menonton pagelarannya, orang-orang rela menempuh perjalnan hingga 40 kilometer. Titim kemudian menjadi acuan para sinden sesudahnya.
Hasil rekaman Tan Deseng dari tahun 1950-an kini menjadi harta karun tak ternilai harganya. Bahkan bisa dibilang, rekaman tersebut merupakan artefak budaya.
Kecintaan dan upaya Tan Deseng melestarikan budaya Sunda berbuah penghargaan dari berbagai pihak. Seperti dari Wali Kota Bandung, Gubernur Jabar, dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata.
Bahkan lulusan SMP Tsing Hoa ini pernah menerima penghargaan dari Presiden Megawati Soekarnoputri dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hebatanya lagi, dia pernah mendapat Anugerah Maestro Seni Budaya Sunda.
Tak Miliki Rumah
Orang tua dan kerabatnya ingin Tan Deseng menjadi pedagang, seperti Tionghoa pada umumnya. Namun dia meniliki pendirian teguh. Meskipun menjadi seniman, hidup dalam kemiskinan, dia tetap memegang prinsip, menjadi seniman tidak semata untuk mencari uang, tapi murni karena kecintaannya pada Seni Sunda.
“Meski saya seniman, saya meminta anak saya tidak menikah dengan seniman karena seniman itu sangsara (melarat),” ucap Tan Deseng suatu ketika.
Hal itu merujuk pada dirinya. Meski kaya pengalaman dan mendapat banyak penghargaan, secara finansial, tetap tidak mumpuni.
Menurut budayawan Dadan Hidayat, hingga diakhir hayatnya, Tan Deseng tidak memiliki rumah. Hidupnya selalu berpindah- pindah, mengontrak dari satu tempat ke tempat yang lain.
Meski demikian, Tan Deseng sangat dermawan. Ia kerap berbagi. Ketika seniman kehilangan panggungnya karena Pandemi Covid-19, Tan Deseng menjual Kecapi-nya untuk makan para seniman.
Seharusnya Tan Deseng tampil di Seminar Ketahanan Budaya Sunda yang akan digelar oleh INTI Jawa Barat di Gedong Budaya Soreang pada 18 November 2022 nanti. Namun Tuhan lebih sayang kepadanya.
Kini Sang Maestro telah tiada, meninggalkan sejuta kenangan akan kecintaannya kepada budaya Sunda. [Taufik Rahzen]