Oleh : Wina Armada Sukardi
Ada segunung idealisme manakala saya menerbitkan kembali harian “Merdeka,” salah satu koran tertua sejak Indonesia Merdeka. Sebelumnya harian yang terkenal dengan faham nasionalisme ini dimiliki dan dikelola oleh keluarga B.M. Diah. Sempat juga bekerjasama dengan Jawa Pos Group. Akhirnya “dialihkan” ke saya.
Saya punya cita-cita harian ini menjadi alternatif dari koran-koran yang sudah ada waktu itu. Makanya ketika mempersiapan reborn harian “Merdeka” saya total out. Segenap kemampuan saya kerahkan. Segenap tenaga dan pikirkan saya curahkan kesana. Semua finansial saya fokuskan untuk mengelola “Merdeka.”
Semua saya rencanakan dengan matang dan detail. Inilah dalam pikiran saya kiblat surat kabar Indonesia masa depan.
Konsep redaksi, baik segmennya maupun teknis penulisannya sudah tersedia jauh hari sebelum terbit. Untuk Sumber Daya Manusia (SDM) saya pun memilih yang the best.. Hanya dua orang, tiga dengan saya, yang tidak mengikuti tes. Tak peduli kawan atau saudara, semuanya harus ikut psikotes, keterampilan teknis dan wawancara.
Kepada biro psikologi yang kami tunjuk, kami mengajukan permintaan: calon karyawan harian “Merdeka” harus mempunya IQ di atas rata-rata pada umumnya, tahan stress dan kreatif. Walhasil dari setiap kali tes 70 peserta, yang lolos tak pernah lebih dari 6 orang. Setelah wawancara jumlahnya bisa menciut menjadi 4-3 orang. Padahal biaya psikotes tidaklah murah. Demi memperoleh SDM yang the best terpaksalah harus ada psikotet berkali-kali, meski biaya mahal.
Setelah lolos, masih diakan juga pelatihan mencakup orientasi redaksional, pengenalan cita-cita “Merdeka” dan sebagainya.
Khusus untuk wartawannya, saya tidak mau mereka seperti “ayam kampung.” Disuruh cari makan sendiri, tapi telornya kita ambil. Gaji reporter baru saya tetap harus di atas gaji reporter koran nasional yang besar. Sedangkan untuk redaktur pelaksana, waktu itu minimal Rp 20 juta.
Semua gaji menjadi penghasilan bersih. Untuk transpotasi operasional ditanggung kantor. Makan diberi uang makan yang jumlahnya jauh lebih dari cukup. Pokoknya wartawan dan karyawan tinggal bekerja sebaik-baiknya. Kesejahteraan sudah dijamin. Konsukuensinya, gak boleh terima amplop apalagi sogok dan suap. Juga tidak boleh terima komisi.
Baik sebelum maupun sesudah terbit, setiap pagi ada evaluasi harian, redaksi dan non redaksi. Untuk redaksi dianalisis baik topik, angle sampai struktur dan kalimat demi kalimat. Bagi sebagian wartawan, evaluasi ini bagaikan “pengadilan” terbuka, lantaran semua kekurangan diungkap disini.
Peralatan juga sudah didisain dengan teknologi mutahir, bahkan ke depannya untuk disain redaktur sudah dapat mendownload disain dan isi berita dari rumah berdasarkan pola disain yang ada. Jadi disainer cuma memperhalus saja.
Padahal waktu itu perkembangan teknologi komunikasi belum seperti sekarang. Untuk membeli tustel 10 megapixel saja, kami masih harus ke Singapura. Tapi pandangan furtulogi membuat kami sudah mempersiapkan diri dari awal.
Sebelum terbit kami beberapa kali mengadakan try out. Setelah yakin banget, barulah kami terbit.
Walaupun masih memakai sistem konsinyasi di agen, yang berarti kalau koran tak laku dikembalikan kepada kami, dan tentu tidak dibayar, tapi daya serap pasar terus membaik. Jumlah return atau koran yang dikembali juga terus berkurang. Tingkat kerugian pun mulai pula melandai. Dalam tempo singkat, kami dapat mencapai oplah 120 ribu eksemplar per hari.
Persoalan muncul dari perkara sepele. Biasanya koran yang diretur atau dikembalikan dijual lagi secara kiloan. Satu kilo untuk harian “Merdeka” saat itu rata-rata berisi 12 – 14 eksemplar koran. Hasilnya menjadi pemasukan kami.
Ketika secara tidak sengaja saya memeriksa pemasukan dari sini, rupanya per kilo jumlah koran bekasnya hampir dua kali lipat. Instink saya mencium ada sesuatu yang tidak beres. Saya segera minta dibuat audit dan investasi.
Barulah ketahuan, kepala sirkulasi dengan gengnya sengaja menambah jumlah koran per kilo agar hasil lebihnya dapat dikorupsi. Dalam pengusutan belakangan, kami menemukan fakta mereka sampai menyewa gudang khusus untuk menjual kelebihan koran bekas “Merdeka.”
Saya murka bukan alang kepalang. Apalagi kepala bagian sirkulasi adalah orang yang saya ajak sejak awal, dan dikenal sebagai “orangnya Pak Wina.” Kenapa ini dapat terjadi, rupanya kepada staf dan koleganya dia selalu bilang, “Saya memang diberi kesempatan oleh Pak Wina untuk mencari duit lebih!” Dan lantaran dia “orang dekat saya” tak ada yang berani melapor ke saya.
Dari sana saya meminta dilakukan audit total di semua bagian. Ternyata, kecuali di bagian redaksi, seluruh manajerial non redaksi, benar-benar aburadul. Penuh penyimpangan. Penuh korupsi.
Mereka yang sudah jelas-jelas terlibat manipulasi, langsung saya pecat. Sedangkan yang masih belum terbukti, masih saya biarkan. Dengan tegas, saya minta semua problem dibereskan.”Kalau dalam waktu tiga bulan gak selesai, koran bakal saya tutup!” tandas saya di depan rapat semua karyawan.
Berulang-ulang saya tegaskan , hanya air bersih yang dapat membersihkan sesuatu. Kalau personil “Merdeka” sudah tidak bersih bagaimana mau membersihkan masyrakat dan bangsa ini.
Setelah penegasan saya itu, muncul berbagai rumor. “Gak mungkin Merdeka ditutup, ini koran politis!” kata beberapa karyawan. Sedang karyawan lain mengatakan, saya cuma gertak sambel doang. Banyaklah opini yang sangsi saya akan benar-benar mewujudkan menutup “Merdeka.”
Selama tiga bulan terakhir saya intensif mengadakan rapat. Setiap bagian dua minggu sekali, dan dengan semuanya sebulan sekali. Sampai bulan kedua , saya belum melihat perbaikan berarti. Lebih penting lagi, saya tidak melihat adanya kesadaran sebagian karyawan harus mengubah perilaku dan budaya perusahaan.
Seminggu jelang tiga bulan, saya masih mengingatkan hal ini , dan mengatakan “kita masih punya waktu untuk memperbaiki diri dan memperbaiki sistem supaya ‘Merdeka’ tetap berkibar.”
Ketika psikotes calon wartawan dan karyawan, saya meminta syarat kecerdasan di atas rata-rata dan tahan tingggi menghadapi tekanan, tapi saya lupa minta mereka juga harus punya integritas dan loyalitas.
Akibatnya, kecerdasan dan daya lentur tinggi tanpa diimbangi integritas dan loyalitas malah justeru lebih menciptakan para karyawan yang berbahaya. Kejadian di “Merdeka” contoh konkritnya. Penyelewengan hampir di semua bagian, kecuali di redaksi. Orang cerdas jika melakukan penyelewengan lebih cangih ketimbang orang dengan kecerdasa normal.
Tiga bulan tak ada yang berubah signifikan, ultimatum saya wujudnya. “Merdeka “ saya tutup. Banyak yang terkejut, tak percaya. Mereka tak menyangka saya “setega” itu.
Hal pertama yang saya lakukan, membayar hak-hak karyawan dan wartawan, sehingga tidak timbul gejolak. Hal berikutnya justeru yang membuat saya terkaget-kaget. Setelah ditutup, baru terungkap banyak hal lebih parah.
Salah seorang kasir yang rutin menerima cek dari saya untuk membayar percetakan, rupanya kerap menilep cek dari saya itu dan tak membayarkannya ke percetakan. Akibatnya hutang kami ke percetakan segunung. Pajak-pajak tidak tertangani dengan benar menyebabkan kami memiliki hutang pajak yang besar. Harga dan pemakaian kertas dimanipulasi. Pendeknya, “Merdeka” menjadi arena “perampokan besar-besaran.”
Sementara itu tagihan-tagihan kami ke agen tak lagi dibayar. Begitu pula dari iklan. Aset kami, seperti motor, sebagian diambil atau digelapkan karyawan. Dengan kata lain setelah ditutup saya masih harus membayar hutang segunung dalam bilangan miliar rupiah, sedangkan pemasukan dan aset hampir nol. Maka sudah benar keputusan saya menutup Merdeka..
Untuk menutupi kekurangan itu, seluruh mobil milik pribadi dan keluarga saya lego, kecuali sebuah mobil kijang. Seluruh perhasan isteri dan saya dijual cepat. Demikian juga koleksi lukisan ternama saya , seperti karya Trubus, Nyoman Gunarsa, Popo dan sebagainya, harus saya relakan pindah tangan.
Kakak saya tak ketinggalan membantu mengelontorkan uang pribadinya sekitar Rp 1 miliar. Itu semua pun ternyata belum menutupi kebutuhan saya. Kewajiban saya masih berbilang bermiliar rupiah.
Padahal kantor law firm kami yang cukup besar di kantor Wisma Nugraha yang dikelola isteri saya, telah kami tutup karena isteri mau kosentrasi mendampingi anak yang mulai tumbuh remaja. Sebelumnya kantor law firm ini menghasilkan cukup banyak pemasukan. Kini manakala kami membutuhkan pemasukan itu, justeru kantor law firm sudah tutup.
Saya mungkin sudah berada dekat dengan titik nadir. Harta benda sudah habis. Tak ada uang liquid. Satu-satunya harta tinggal rumah tinggal, tapi sejak awal saya dan isteri sudah berkomitmen rumah tak boleh disentuh untuk urusan usaha apapun.
Beberapa mitra sempat mengirim somasi kepada kami. Petugas pajak lebih intensif memeriksa dan menangani kasus “Merdeka.”
Kendati begitu, saya bersikap kesatria. Saya tidak lari dari tanggung jawab. Setiap pihak yang meminta haknya, saya langsung jumpai. Saya dengarkan keluhan dan ancamannya. Dan berkali-kali saya jawab, “pasti kami selesaikan, tapi sekarang kami sedang konsolidasi,” papar saya. Padahal sama sekali belum ada titik terang. Mereka mungkin sudah tak percaya lagi, tapi kalau bertindak keras terhadap korporasi “Merdeka,” mereka mungkin malah kehilangan mendapat balik uangnya. Maka mereka lebih banyak mendumel, mengomel dan terus mengancam.
Meskipun tetap ada rasa tidak pasti, tetapi saya kala itu sangat yakin semua persoalan dapat saya atasi, entah dari mana. Setiap selesai sholat saya berdoa,”Ya, Tuha, Ya Allah, berikanlah kami kemampuan untuk menyelesaikan seluruh masalah keuangan ‘Merdeka.’ Berikan kami yang terbaik, dan selalu berakhir baik.”
Saya tidak malu-malu kepada Tuhan, Kepada Allah, berdoa seperti itu setiap sholat.
Ketika dalam kemelut itu tiba-tiba saya ditelepon bekas orang iklan saya di media lain. Dia bilang boss groupnya, Sigid Haryo Wibisono, mau membeli brand harian “Merdeka.” Artinya, yang dibeli nama “Merdeka” aja, tanpa yang lainnya. “Kami yang jadi perantaran, terus terang, minta komisi 20% dari harga jual, disetor langsung ke rekening kami,” katanya.
Berapa pun jumlahnya, inilah salah satu titik terang itu, saya pikir. Lewat proses negoisasi yang cepat, akhirnya saya berhasil “menjual” nama harian “Merdeka “ dengan harga, tak hanya cukup untuk membayar semua hutang dan tagihan, tetapi juga masih ada kelebihan sekitar Rp 1,5 miliar.
Beberapa kawan tercengang bagaimana saya dapat menjual nama harian “Merdeka” dengan nilai tinggi.”Hebat juga loe Win, barang mati itu bisa loe jual tinggi,” kata sobat saya Ilham Bintang, berseloroh, belakangan setelah “Merdeka” berpindah tangan.
Uang kelebihan dari penjualan “Merdeka” itulah yang saya pakai untuk menata kembali kehidupan dan penghidupan saya. Alhamdullah kemudian segalanya berjalan lancar dan aman.
Sejatinya, waktu itu, ibarat perinju, saya sudah babak belur. Sudah sempoyongan. Tinggal menunggu knock out saja. Tinggal tunggu timbang, tapi kemudian hasil penjualan “Merdeka,” bagaikan petinju yang diselamatkan oleh bell. Save by the bell. Saya tak jadi knock out. _ Saya mendapatkan nafas baru. Saya mampu bangkit lagi.
Setidaknya sampai sekarang masih tegar. Masih aman. Malah sudah mendapat tenaga tambahan. Ya _save by the bell. Si petinju sudah dapat masuk lagi ke arena bertanding dengan gagah. Tanpa bunyi bell, petinjunya sudah pasti telah sungsep. Benar-benar save by the bell dari Gusti Allah.
Tabik*