JAKARTA – Gogi Nebulana merupakan orang Indonesia pertama yang meraih medali emas di Kejuaraan Dunia Wushu di Beijing pada 2007. Dia percaya bahwa Wushu lebih dari sekadar bertarung, tetapi juga tentang seni, filsafat, dan ilmu pengetahuan.
GOGI NEBULANA, Ahli seni bela diri Indonesia:
“Banyak orang bilang Wushu hanya sebuah tarian, tetapi sesungguhnya Wushu itu seni perang. Nama saya Gogi. Nama Mandarin saya Xu Tianhu. Saya pelatih Harmony Wushu Indonesia. Saya menekuni Wushu karena ayah saya yang juga menyukai wushu. Kakek saya juga menyukai wushu.
Ayah kakek saya berasal dari China. Saya mulai belajar wushu sekitar usia lima tahun. Saya berlatih sabel, pedang, tongkat, tombak dan banyak senjata yang berbeda. Jadi ketika saya mengajar anak-anak, biasanya per kelas, saya memberi mereka beberapa spesialisasi. Sebagai guru, sebagai pelatih, saya harus bisa mengajarkan apa saja yang harus diajarkan kepada anak-anak.
Saya kali pertama mengunjungi China pada 2004 ketika Indonesia menggelar sebuah kompetisi Wushu nasional. Jadi kami para atlet Jakarta pergi ke Shanghai untuk berlatih selama dua bulan. Setelah itu, kami juga pergi ke Shanghai, Beijing, dan sesekali Zhengzhou, Henan untuk latihan. Pada 2007, saya meraih medali emas kejuaraan dunia di Beijing.
Saya mulai mengajar ketika berusia 17 tahun. Sampai saat ini, saya berusia 41 tahun. Untuk menjadi pelatih Wushu, dibutuhkan latihan setidaknya selama 10, 15, atau 20 tahun. Jadi sangat sulit untuk menjadi pelatih. Anda benar-benar membutuhkan banyak pengalaman kompetisi, kejuaraan, pergi ke China, bertemu banyak orang, dan memiliki cara yang sangat tepat untuk mengekspresikan pengajaran Anda kepada anak-anak. Wushu sebenarnya bukan hanya tentang Wushu.
Ini tentang pengembangan manusia, tentang struktur otot, tentang struktur tulang, tentang motorik. Kami juga mengajarkan mereka seni, filosofi. Seperti ketika anak-anak belajar pedang, saya katakan kepada mereka bahwa pedang itu tajam, tetapi jauh lebih penting untuk mengasah pikiran, mengasah hati, dan mengasah motorik. Biasanya, murid terbaik saya, mereka dibiayai oleh pemerintah untuk pergi ke China guna berlatih dan tampil di kompetisi.
Tetapi saya ingin mengajak murid-murid saya untuk melakukan study tourtentang peradaban, tentang budaya China. Di Indonesia, kami mencintai seni. Kami mencintai budaya, kami mencintai teori, kami mencintai filosofi, dan kami mencintai ilmu di balik Wushu. Budaya yang paling menarik di China adalah mereka mampu mengambil yang tradisional dan menjadikannya modern.
Mereka tahu esensi bagaimana membangun generasi. Ketika saya pergi ke China, saya melihat itu berbeda, banyak hal yang berbeda, terutama generasi terpelajar di sana. Banyak hal yang bisa kita pelajari dari tujuan hidup agar kita bisa bekerja lebih baik dengan manusia lain. Saya tidak pernah menemukan bahwa di Wushu saya seorang guru karena saya selalu menemukan cara baru untuk mengembangkan keterampilan saya, gaya baru, ilmu baru yang belum saya kuasai.”
Koresponden Kantor Berita Xinhua melaporkan dari Jakarta. (XHTV)