Oleh : J Kistiadi
Menapak beberapa minggu setelah merayakan Tahun Baru 2022 yang penuh harapan, publik mulai mengantisipasi tantangan berat yang dihadapi bangsa Indonesia ke depan. Ancaman di depan mata adalah matinya akal sehat ditindih kuasa mazhab pascakebenaran dan populisme. Kedua paham tersebut toksin mematikan nalar karena kolaborasi keduanya memproduksi beragam kebohongan, mulai dari yang sederhana sampai dusta yang dikemas sangat canggih, sehingga korban tidak tahu narasi atau video yang dinikmatinya adalah hoaks.
Persekutuan dua aliran tersebut mengakibatkan kewarasan publik tersesat dan menjadi tanpa arah. Bahkan, konten kebohongan bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) terbukti memberikan legitimasi sosial gerakan intoleran. Pada gilirannya masyarakat sipil lemah serta kehilangan muruah.
Dentang lonceng perlawanan terhadap kematian kewarasan akal digemakan, antara lain, di beberapa artikel di harian Kompas; ”Profesor karena Joki” (15/12/2021, Syamsul Rizal, Guru Besar Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh), ”Matinya Masyarakat Ilmiah” (7/1/2022, Sulistyowati Irianto, Guru Besar FH UI), dan ”BRIN Tanpa Brain” (7/1/2022, Fidausy, Pusat Riset Ekonomi BRIN). Narasi tersebut diharapkan menyadarkan mereka yang bermimpi merindukan feodalisme dengan mempergunakan dan mengoleksi berbagai titel serta pangkat akademi sebagai simbol aristokrasi modern.
Ancaman menolak kedatangan malaikat pencabut nyawa (angel of death) memerlukan perjuangan ekstra keras karena ancaman kematian nalar bukan hanya kebohongan serta identitas primordial, melainkan juga bersumber dari gejolak jiwa manusia. Sebab, selain perlu terpenuhi kebutuhan dasarnya, manusia memerlukan pula identitas pengakuan yang sifatnya rohaniah, antara lain harga diri, gengsi, jiwa kepahlawanan, dan kegagahan.
Fukuyama menyebut ciri-ciri kebutuhan rekognisi tersebut thymos, yaitu fenomena gerak jiwa manusia; gerakan yang menggerakkan diri sendiri. Maka, ia menyimpulkan resesi demokrasi global yang dimulai pada pertengahan 1970-an bukan nasionalisme kedaerahan serta agama, melainkan dinamika jiwa manusia (Francis Fukuyama dalam Identity: The Demand and the Politics of Identity and the Politics of Resentment, 2018).
Mereka yang mempunyai hasrat pengakuan eksesif menjadi manusia super disebut mengidap sindrom megalothymia (ambisi tiranikal). Gejalanya antara lain merasa mampu menanggung risiko serta hasrat menggebu dalam perjuangan fenomenal agar mempunyai efek dramatis sehingga dirinya dianggap superior. Dalam beberapa kasus, megalothymia menghasilkan tokoh heroik, seperti Winston Churchill dan Nelson Mandela. Akan tetapi, megalothymia bisa pula memproduksi pemimpin bengis semacam Julius Caesar, Adolf Hitler, dan Mao Zedong.
Maksim daulat rakyat, prinsipnya martabat semua orang sama (isothymia). Melawan agar nalar tidak tersesat ke rute megalothymia, daya pikir harus menjadi manifestasi pancaran budi yang merupakan instrumen rohani membimbing nalar serta perasaan memahami tentang baik dan buruk. Akal tanpa pancaran budi yang mulia akan menuntun manusia menapak rimba raya yang gelap gulita.
Jadwal Pemilu ”borongan” 2024 dimulai sekitar bulan Juni 2022. Partai politik mulai meningkatkan konsolidasi internal, inventarisasi calon wakil rakyat, serta kandidat kepala daerah, mematut-matut kader yang pantas menjadi capres-cawapres, menimbang sekutu koalisi, dan sebagainya.
Suhu politik dirasakan meningkat, terutama dengan munculnya berbagai poros politik untuk pilpres. Meski belum satu parpol pun memiliki kandidat yang definitif, di media sosial sudah bertaburan pasangan capres-cawapres yang didukung ”perkakas” politik kelompok masing-masing.
Memanasnya suhu politik dipastikan diikuti pertarungan adu siasat yang makin nekat. Dikhawatirkan kompetisi hasrat kuasa tanpa disertai nalar sehat mengakibatkan petaka, antara lain polarisasi masyarakat yang masih dirasakan sampai sekarang.
Publik berharap elite politik mengasah budi agar nalarnya kian peka terhadap nasib rakyat. Nalar politik berbudi dimulai dari proses kandidasi para calon wakil rakyat, kepala daerah, serta capres-cawapres agar dilakukan dengan prinsip meritokrasi, terutama integritas pribadi mereka.
Parpol sebaiknya menentukan ambang batas ideologinya (ideological threshold). Kriterianya, kandidat harus mampu membuktikan perilaku politik dan tingkah polah kehidupan sehari-hari mereka mencerminkan obsesinya terhadap ideologi parpol.
Kandidat yang ditawarkan parpol mengemban mandat daulat rakyat sehingga jangan asal comot atau dipilih karena ikatan kekerabatan. Tolok ukur meritokratik penting guna menghindari petualang politik yang tak tahu diri. Misalnya, meski elektabilitasnya dari waktu ke waktu ”nasib nol koma”, dengan gagah berani ngotot memaksakan diri sebagai capres-cawapres.[]