WARTABUANA – Setiap orang memiliki kemampuan untuk mengobati luka batin dalam dirinya. Namun tergantung pada upaya orang tersebut mau berusaha melakukan sebuah tindakan menyembuhkan atau sebaliknya membiarkan saja luka itu.
Hal itu disampaikan Nina Hermina, praktisi self healing saat menjadi pembicara pada sharing session bertajuk Self Healing to Revealing pada Minggu (21/11/2021).
“Tanpa penanganan yang tepat, tekanan batin dapat menimbulkan perilaku yang membahayakan diri. Kalau sudah sampai ke tahap ini biasanya sudah terbilang parah sih. Makanya jangan biarkan diri kita larut sendiri, cobalah berbagi dengan orang lain supaya beban yang ada didada terasa lebih ringan,” kata Nina.
Webinar ini merupakan kerjasama gerakan #akuberdaya yang digagas oleh Desainer Nina Nugroho bekerja sama dengan Assosiasi Tempa Trainers Guild (TTG) yang digelar setiap Minggu pagi, mulai pukul 10.00-11.30 Wib.
Nina Nugroho berharap gerakan #akuberdaya merupakan momentum bagi semua wanita yang ingin memperbaiki kualitas hidupnya.
“Pandemi ini menjadi peluang untuk meriset segala sesuatunya. Kita punya awal yang sama nih, kesempatan yang sama lagi, untuk memperbaiki diri, memperbaiki bisnis , memperbaiki kualitas hidup yang ingin kita bangun,” tutur Nina Nugroho, yang hadir membuka acara sharing, pagi itu.
Menurut Nina, tidak dipungkiri setiap orang mengalami badai dalam kehidupannya. Pandemi ini bisa saja merupakan badai pada banyak orang.
Namun ibu 4 anak itu secara pribadi punya prinsip tak ingin meratapi masalah terlalu lama, karena selama manusia berusaha bangkit maka Tuhan akan memberikan jalan keluar.
“Dari dulu hidupku Lillahi ta’ala. Menurutku itu justru banyak membantuku mengelola pergolakan batin. Intinya lakukan yang terbaik hasilnya serahkan pada Allah,” papar Nina Nugroho.
Sementara itu dikatakan Nina Hermina, banyak pemicu yang membuat orang merasakan down di kehidupannya.
Bisa karena kesedihan ditinggal mati orang tua, anak atau pasangan. Bagi yang ditinggal pasangan, otomatis tugas yang tadinya dipikul berdua, akhirnya dipikul sendirian.
Begitu pun, kekecewaan yang dihasilkan oleh perceraian. Ironisnya, di masa pandemic ini data statistic menyebutkan angka perceraian mengalami peningkatan.
“Termasuk juga bisnis yang mendadak drop, padahal gedung baru dibayar sewanya. Tahu-tahu pandemi, kebijakan pemerintah mengharuskan semua orang di rumah saja, semua bekerja dari rumah. Akibatnya bisnis nggak berjalan, mau nggak mau pengusaha harus wait and see, semuanya memilih untuk saving money. Sementara yang bekerja juga nggak kalah shock. Banyak yang terkena PHK,”papar Nina Hermina, lagi.
Ujian atau masalah yang datang silih berganti mengakibatkan kelelahan emosional dalam berbagai bentuk. Hal ini menimbulkan jiwa yang tidak sehat, ditandai dengan muncul melalui 3 aspek secara kognitif, afektif, psikomotorik
Kognitif ditandai dengan perasaan rendah diri, konsentrasi menurun, daya ingat menurun, ragu-ragu, perasaan bersedih berlebihan, bunuh diri
Afektif: ditandai dengan sedih berkepanjangan, hilangnya minat, apatis, tidak bertenaga, tidak bersemangat,
Fisik: ditandai dengan psikomotor menurun, rasa lelah, gangguan tidur, gangguan nafsu makan.
“Kalau kita terus memendam emosi, berefek pada gangguan pencernaan, asam lambung naik, hipertensi, jantung. Coba benar-benar dicermati, apakah itu benar sakit fisik atau psikosomatik? Jadi betapa bahayanya memendam emosi negative. Bisnis nggak jalan, emosi terganggu. Impactnya ke sekitar kita,” urai Nina Hermina, panjang lebar.
Dalam pandangan psikologi, ada 3 tipe orang dalam mengelola emosinya:
- Bottling= memendam, bermanifestasi ke penyakit
- Exploding= menyakiti orang terdekat/sekitar
- Denying =menolak/lari dari kenyataan
“Ketiga 3 hal ini sebaiknya dihindari, sebab kalau luka batin terus dipendam, dia akan bermanifestasi ke penyakit. Atau bisa juga menyakiti orang lain karena ketidak puasannya. Luka batin harus dituntaskan, jangan sampai terbawa ke generasi berikutnya. Luka batin juga tidak harus membuat kita lari dari kenyataan. Akui saja dia sebagai masa lalu, jangan denial,” imbuh Nina Hermina.
Lalu bagaimana caranya menyembuhkan luka batin? Lakukan self healing to revealing. Self healing yaitu sebuah proses yang membantu menyembuhkan luka batin dengan kekuatan batin sendiri secara penuh untuk beranjak dari penderitaan.
Penyembuhannya dapat dilakukan sendiri tanpa bantuan orang lain dan media apapun. Tekniknya banyak sekali, terlebih saat ini mengenai mental health gaungnya saat kencang di era pandemic ini.
“Jika kita butuh bantuan, carilah orang yang tepat. Kalau perlu diagnose, datanglah ke psikolog. Jangan mendiagnosa diri sendiri. Kenapa kita perlu tahu dan mahir untuk melakukan self healing (menyembuhkan diri sendiri). Sebab kita yang paling tahu masalahnya. Kita merasa nyaman karena tidak tergantung kepada orang lain. Terutama apabila kita termasuk orang yang malu bila bercerita kepada orang lain dan khawatir orang lain tahu masalah kita. Dan perlu diketahui self healing hanya bersifat sebagai P3K yaitu pertolongan pertama pada kegaulauan dan jika sakit belanjut hubungi dokter,” ujar Nina Hermina.
Proses self healing sendiri tidak ada akhirnya, selama manusia masih diberi nafas kehidupan. Tugas manusia dalam menyembuhkan diri sendiri baru akan berakhir apabila meninggal dunia.
Manusia dengan kesempurnaannya dibanding makhluk hidup lain, memiliki kemampuan terapeutik. Ketika mengalami ujian, seseorang dapat menyembuhkan sendiri.
“Setiap ada ujian, Allah selalu kirim cara untuk mengatasinya. Disini healing terus-terusan butuhkan. Tapi ada yang perlu diingatm bahwa healing itu tidak menghilangkan masalah yang ada. Kalau kita pernah hancur, bukan berarti masalahnya akan hilang. Melalui healing, kita dapat mengontrolnya. Ya saya pernah terluka, pernah hancur. Its oke. Tapi kita tahu cara bangkit lagi,” tambahnya.
Salah satu teknik yang bisa dilakukan adalah dengan teknik kintsugi. Apa itu kintsugi? Sebetulnya ini merupakan sebuah seni dalam mereparasi barang pecah belah ala Jepang.
Apa hubungannya dengan healing? Dari kintsugi kita bisa belajar kekuatan dari ketidak sempurnaan.
Menurut Nina, sejarah kintsugi berawal dari kisah seorang militer jepang bernama Shogun Ahikasa Yoshimasa. Dia memecahkan cangkir teh kesayangan miliknya yang berasal dari pengrajin di cina. Tapi dengan sebuah teknik reparasi dari Jepang, cangkir itu dapat digunakan lagi. Justru setiap sambungan-sambungan cangkir yang pecah itu menghasilkan sebuah karya seni yang indah.
“Karena sambungan itu ditutupi dengan serbuk emas. Jadi filosofi kintsugi itu, berasal dari kata kint; emas, sugi ; kerajinan tangan. Kintsugi melambangkan kekuatan dan keindahan. Bagaimana kita bisa membentuk keindahan dalam ketidak sempurnaan. Bahwa luka batin itu tidak dapat dihilangkan bekasnya, tapi dia dapat kita maknai sebagai sebuah pendewasaan jiwa,” pungkas Nina.[]