WARTABUANA- Sebuah penelitian di Northwestern Medicine menunjukkan bagaimana teknologi pencitraan canggih dapat menentukan dengan tepat kemungkinan penyebab kerusakan saraf pada pasien COVID-19 dan membantu menentukan pengobatan terbaik.
Penelitian sebelumnya dari Northwestern University (NU) menemukan bahwa pasien COVID-19 dapat mengalami kerusakan saraf setelah tubuhnya diposisikan tengkurap di unit perawatan intensif (ICU) sebagai upaya penyelamatan guna membantu mereka bernapas. Studi baru itu menunjukkan bagaimana teknologi pencitraan canggih dapat membantu kelompok pasien ini beserta dua kelompok pasien lain yang mengalami kerusakan saraf terkait COVID-19.
Semua pasien dalam penelitian itu dinyatakan positif COVID-19. Teknologi pencitraan yang diuraikan dalam penelitian tersebut mencakup ultrasonografi (USG) resolusi tinggi dan neurografi resonansi magnetik, pencitraan resonansi magnetik (magnetic resonance imaging/MRI) saraf perifer yang berdampak pada lengan dan kaki. Teknologi-teknologi itu dapat membantu menemukan sumber masalah pasien, menunjukkan tingkat keparahan kerusakan saraf, jumlah saraf yang terdampak, dan apakah kerusakan saraf juga berdampak pada otot.
Jika teknologi pencitraan menemukan kerusakan saraf yang disebabkan oleh cedera peregangan akibat posisi tengkurap, pasien tersebut mungkin akan dirujuk ke dokter spesialis rehabilitasi atau bedah saraf perifer. Sementara jika pencitraan menemukan kerusakan saraf akibat respons peradangan, sang pasien mungkin lebih baik ditangani oleh ahli saraf. Namun jika pencitraan menunjukkan kerusakan saraf akibat hematoma, obat pengencer darah harus segera disesuaikan dan pasien tersebut bahkan mungkin harus mengunjungi ahli bedah.
Bagi pasien dan penyintas COVID-19 yang memiliki komplikasi neuromuskular atau gejala “pasca-COVID-19”, pencitraan dapat membantu menemukan masalah kesehatan mereka dan memberikan panduan pengobatan lebih lanjut.
Teknologi USG canggih tersebut merupakan teknologi baru, portabel, terjangkau, dan terkadang dapat lebih baik dalam mendeteksi kerusakan saraf dibandingkan MRI, kata penulis utama studi itu Swati Deshmukh, yang juga asisten ahli radiologi di Fakultas Kedokteran Feinberg NU sekaligus ahli radiologi di Northwestern Medicine. USG juga dapat dilakukan pada pasien yang tidak dapat menoleransi MRI.
Penelitian tersebut, yang pertama dari jenisnya dalam merangkum bagaimana teknik pencitraan canggih ini dapat membantu dokter dalam mengidentifikasi dan mengobati kerusakan saraf pada pasien COVID-19, diterbitkan di jurnal Radiology pada Selasa (1/12).
Northwestern Medicine merupakan kolaborasi antara Northwestern Memorial HealthCare dan Fakultas Kedokteran Feinberg NU, yang mencakup penelitian, pengajaran, dan perawatan pasien. [xinhua]