WARTABUANA– Komisioner Ombudsman La Ode Ida meminta pemerintah tidak tergesa-gesa dalam memutuskan kebijakan strategis terkait persoalan dualisme dalam tubuh Badan Pengelola (BP) Batam.
Hal itu disampaikan La Ode Ida dalam Diskusi Publik bertema “Menakar Masa Depan Batam Pasca Pengalihan Batam” yang dihelat Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) di Hotel Sari Pasific, Jakarta, Rabu (19/12/2018).
Selain La Ode Ida, hadir juga sebagai pembicara, Pengamat Kebijakan Publik, Danang Girindrawardana, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati, Dewan Pakar Habibie Center, Umar Juoro dan Ketua Kadin Batam, Ampuang Situmeang.
Diskusi digelar terkait munculnya dualisme tersebut yang direspon oleh Presiden Jokowi dan Kementerian Kordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution yang akan meleburkan BP Batam dengan Pemkot Batam dan menjadikan Walikota Batam sebagai ex-officio BP Batam.
Keputusan ini dinilai tidak sejalan dengan cita-cita Batam ke depan sebagai salah satu penggerak perekonomian nasional. Selain dinilai menyalahi aturan yang ada, keputusan ini berpotensi memperburuk iklim investasi yang saat ini sudah menurun di Batam.
La Ode Ida meminta agar pemerintah diminta tidak mengeluarkan kebijakan strategis secara tergesa-gesa.”Sebaiknya Presiden untuk tidak membuat kebijakan-kebijakan strategis yang bersifat tergesa-gesa terkait persoalan dualisme yang disebutkan dalam tubuh BP Batam. Tidak bagus rasanya kebijakan diputuskan dalam situasi dan kondisi yang harus dikaji lebih dalam itu,” jelas La Ode Ida.
Kota Batam merupakan salah satu kawasan strategis yang dimiliki Indonesia. Batam dinilai mampu menandingi Singapura sebagai bagian rantai produksi dan logistik global serta menjadi pusat ekonomi ASEAN.
“Justru yang ditemukan adalah ketidakpuasan pihak pemerintah kota Batam dan pergantian pimpinan BP Batam yang dianggap kaku dan tidak memahami budaya yang sudah ada di BP Batam”
Dualisme alan memberikan dampak buruk terhadap aktivitas ekonomi yang berlangsung di kota Batam. Kewenangan otorita BP Batam dalam mengatur bisnis mulai melemah, di saat bersamaan Pemkot Batam mulai mengatur sektor ekonomi di wilayah ini. Kondisi ini membuat investor menjadi enggan untuk berinvestasi di kota ini.
Menurut La Ode Ida, sepanjang penelitian yang dilakukan Ombudsman, di tahun 2016 tidak ditemukan faktor dualisme yang menyebabkan penanganan serta performa BP Batam menjadi tidak lebih baik saat itu. “Justru yang ditemukan adalah ketidakpuasan pihak pemerintah kota Batam dan pergantian pimpinan BP Batam yang dianggap kaku dan tidak memahami budaya yang sudah ada di BP Batam,” papar La Ode Ida.
Otorita Batam yang digagas di era kepresidenan Soeharto, dimana BJ Habibie sebagai inisiatornya, dibentuk berdasarkan PP No.74 Tahun 1971 serta Keppres No.41 Tahun 1973. Sebagai kawasan investasi dan daerah industri terkemuka di Asia Pasifik.
Sementara di era kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, BP Batam dengan Dewan Kawasannya nyaris tidak ada isu yang muncul untuk meleburkan Kepala Badan Pengelola Batam dengan Walikota Batam. Selain BP Batam di era tersebut di perkuat dengan UU No.53 Tahun 1999 juncto PP No.46 Tahun 2007 juncto UU No.44 Tahun 2007 juncto UU 87 Tahun 2011.
Sedangkan di era kepresidenan Joko Widodo, BP Batam terjadi revolusi ganti pengurus dari Mustofa ke Hertanto yang dirasa kaku saat itu, kemudian diganti kembali oleh Lukito, Oktober 2017 hingga kemudian adanya keinginan pemerintah di Desember 2018 ini untuk melebur BP Batam yang dikordinasikan dengan Walikota Batam.
Padahal menurut La Ode Ida, BP Batam sebagai lembaga yang berwatak Parastatal memiliki posisi yang setara dengan Kementerian Kelembagaan dimana sumber keuangannya dari APBN dengan jalur pengawasan politiknya oleh Komisi VI DPR RI.
“Jadi dapat saja BP Batam dikordinasikan dengan Walikota Batam namun butuh catatan khusus yang ketat serta watak yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan karena Walikota dibawah langsung oleh Presiden,” ungkap La Ode Ida.
Apalagi kini dikesankan adanya dualisme dimana Pemerintah Kota merasa tersubordinasi oleh BP Batam, walau hal tersebut belum pernah teruji dan dikaji secara mendalam. Padahal berdasarkan kajian yang dilakukan didapatkan manajemen BP Batam tidak dalam performnya, birokrasi yang masih konvensional belum berstruktur modern dan sebagainya. Disamping masalah sejumlah kebijakan yang belum tuntas dan tidak sinkron yang ada di sekeliling BP Batam.
Bahkan peleburan kepemimpinan BP Batam dan Walikota Batam ini berpotensi melanggar Udang-undang. Jika Walikota Batam merangkap jabatan sebagai Kepala BP Batam, itu artinya telah melanggar UU No.23 [2014 tentang Pemerintahan Daerah karena Kepala Daerah tidak boIeh rangkap jabatan.
Jika hal itu terjadi, dari perspektif anggaran, rangkap jabatan akan berpotensi memunculkan konflik kepentingan anggaran dan tata kelola pemerintahan pusat dan daerah. lni akan menjadikan preseden buruk karena melanggar UU No 1 2004 Tentang Perbendaharaan Negara.
Pada pasal 76 UU No.23/2014 Tentang Larangan Kepala Daerah merangkap jabatan mempunyai spirit agar pejabat daerah tidak menghadapi konflik. Selain itu Undang-undang tersebut juga mempunyai spirit agar kepala daerah fokus mengurus tupoksi utamanya.[]