JAKARTA, WB – Dunia maya seakan menghapus batasan antar negara dan menempatkan globalisasi adalah sebagai keniscayaan sejarah yang harus dihadapi. Namun kenyataannya, Indonesia kehilangan daya saing sehingga sulit menghadapi era globalisasi.
Hal itu mengemuka dalam Focus Group Discusion (FGD) Serial-6 dengan Tema ” Strategi Pembangunan Karakter Dalam Rangka Meningkatkan Daya Saing Bangsa” di Senayan Room,Residence Tower 2 Lt-2 Komplek Hotel Sultan, Jakarta, Kamis (19/10/2017).
FGD yang dilakuan dalam rangka memberikan masukan kepada Pemerintah dalam bentuk “Simposium Nasional Kebudayaan” dengan Tema: Pembangunan Karakter Bangsa Untuk Melestarikan dan Mensejahterakan NKRI Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 ini dihadiri perwakilan dari PPAD, Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI-Polri (FKPPI) dan Yayasan Suluh Nuswantara Bhakti (YSNB).
Hadir sebagai pembicara Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Prof. DR. Bambang Wibawarta, Dosen Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara DR. Karlina Supelli, DR.Riant Nugroho dan Haryadi Sukamdani sebagai penanggap utama.
Menurut Bambang Wibawarta, bangsa Indonesia termasuk salah satu negara yang dipengaruhi oleh globalisasi terutama terkait teknologi informasi. Indonesia berada di nomor empat dunia untuk pengguna facebook.
“Rata-rata kita menghabiskan waktu 5,4 jam per hari menggunakan internet. Lagi rapat saja, kita masih sempat buka WA grup,” papar Bambang Wibawarta.
Uniknya menurut Bambang, meskipun paling gandrung menggunakan internet, namun Human Capital Index Indonesia di ASEAN yang mengalami penurunan menjadi 69 pada tahun 2015 dari sebelumnya ranking 53 di tahun 2013. Demikian pula dengan Global Competitiveness Index Ranking Indonesia yang melorot pada periode 2015-2016 menjadi 37 dari sebelumnya ranking 34 pada periode 2014-2015.
“Fakta tersebut menyebabkan bangsa Indonesia kehilangan daya saing dan ini akan lebih sulit menghadapi era globalisasi. Karenanya diperlukan strategi kebudayaan untuk dijadikan benteng menghadapi segala tantangan bangsa yang ada,” jelasnya.
Strategi kebudayaan yang dimaksud kata Bambang bisa memiliki dua arti, yakni strategi pengembangan dan pelestarian kebudayaan. Dan kedua adalah strategi sebagai pendekatan untuk menyelesaikan masalah sosial, ekonomi, politik, menghadapi proxy war dan neocortical war yaitu cara perang tanpa penggunaan kekerasan.
Sementara itu, Dr Karlina Supelli menyoroti budaya komentar di media sosial atau elektronik telah menjangkiti masyarakat Indonesia. Akibatnya, media sosial setiap hari menjadi sangat riuh, tidak ada hal yang tidak relevan untuk dikomentari. “Semua hal maunya dikomentari, apa saja. Yang penting berkomentar,” paparnya.
Dengan memberikan komentar, baik pendek maupun panjang di media sosial, lanjut Kalina, seseorang sudah merasa menjadi hebat. Meski komentar-komentar tersebut kadang tidak pada subtansinya.
Selain budaya komentar, budaya konsumerisme juga menjadi persoalan utama yang kini dihadapi masyarakat Indonesia. Penelitian LIPI terkait tingkat kepercayaan diri masyarakat Indonesia untuk berlanja berada diperingkat ketiga dari 106 negara didunia. Sementara Skandinavia dan Swiss sebagai negara kaya hanya menempati urutan ke 60 dan 70.
“Ini menimbulkan lingkaran setan, masyarakat menjadi tidak produktif dan pada akhirnya mereka cenderung menjadi konsumen. Cuaca kebudayaan ini harus kita cermati,” jelas Karlina.
Untuk mengatasi berbagai persoalan bangsa, menurut Karlina jalan keluarnya adalah mengubah kebiasaan sehari-hari. Diantaranya mengubah budaya baik cara berpikir, merasa dan bertindak.
Pontjo Sutowo selaku Ketua Pembina YSNB menegaskan, salah satu kelemahan karakter yang sangat menghambat tumbuhnya daya saing bangsa adalah rasa rendah diri, atau disebut mental inlander. Rasa rendah dari masyarakat kita ini bukan hanya tampak jika berhadapan dengan orang luar, tetapi juga jika berhadapan dengan para pembesar-pembesar bangsa kita sendiri.
“Masalah rendah diri ini masih berlangsung sampai saat ini. Meski mental inlander ini muncul setelah masyarakat kita berada di bawah rezim kolonial,” tandanya.
Pada masa kolonial, katanya, penduduk dibagi dalam tiga lapis berdasar ras dan agama. Yaitu golongan Eropa pada tingkat tertinggi, golongan Timur Asing pada tingkat kedua, dan golongan Bumiputera pada tingkat paling rendah.
Selama beratus tahun, golongan Bumiputera dan yang beragama Islam diletakkan pada tataran yang paling rendah pada hirarki sosial. Bung Karno sendiri tidak bosan-bosannya menyerukan untuk membangun character building sebagai bangsa yang merdeka.
Ditinjau dari perspektif kebudayaan, maka sesungguhnya – dalam istilah Samuel P Huntington – kita sudah berada dalam konteks regional clash of civilations, yang sudah barang tentu bisa dipahami dalam kerangka Perang Generasi Keempat.
“Karena itu, peningkatan kemampuan daya saing suatu bangsa jelas merupakan suatu progam berjangka panjang, yang tentu saja memerlukan kondisi sosial politik, kondisi sosial budaya, dan kondisi sosial ekonomi yang stabil, yang terbebas dari gejolak-gejolak,” tandas Pontjo yang juga Ketua Umum FKPPI ini.
Dalam hubungan ini mau tidak mau kita teringat pada peran Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), Strategi Akselerasi Modernisasi 25 Tahun, Trilogi Pembangunan, dan Delapan Jalur Pemerataan. Dokumen-dokumen ini telah mengantarkan bangsa kita pada tahap yang paling awal dari kemajuan berjangka panjang.
Menurutnya, dihapuskannya dokumen-dokumen kenegaraan yang memuat kebijakan dan doktrin pembangunan berjangka panjang itu telah menyebabkan kemunduran kita dalam berbagai bidang. Terutama dengan meningkatnya kesenjangan sosial ekonomi antara golongan kaya dan golongan miskin, yang secara jelas mempunyai korelasi positif dengan garis ras dan etnis. []