JAKARTA, WB – Sejarah mencatat, dalam damai maupun perang, eksistensi serta kemandirian desa serta suku-suku bangsa di Indonesia selain mampu berdiri sendiri juga mampu menopang eksistensi dan kemandirian Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Fakta itu menjadi salah satu bahasan menarik dalam agenda reguler Forum Grup Diskusi bertema “Pendayagunaan Kearifan Lokal dalam Memperkuat Semangat Kebangsaan” yang digelar PPAD (Persatuan Purnawirawan TNI-AD), FKPPI (Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI-Polri) dan YSNB (Yayasan Suluh Nuswantara Bakti), di Residence Tower 2, Kompleks Hotel Sultan, Jakarta, Selas (19/9/2017).
Serial FGD ini diadakan dalam rangka penyelenggaraan Simposium Nasional Kebudayaan bertema `Pembangunan Karakter Bangsa Untuk Melestarikan dan Mensejahterakan NKRI Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945′, pada November 2017.
Serial ke- 4 FGD ini menghadirkan narasumber Gubernur NTB H. Muhammad Zainul Majdi, dan Wakil Ketua Komisi X DPR Ferdiansyah dan Prof.DR. Safri Sairin dari UGM.
Dalam sambutan tertulisnya, Ketua Umum FKPPI sekaligus Pembina YSNB Pontjo Sutowo memaparkan, bahwa suku-suku bangsa di tanah air telah sebelum terbentuknya Bangsa dan Negara ini. “Dalam literatur hukum adat, desa-desa otonom dari berbagai suku bangsa tersebut bahkan disebut sebagai “ republik kecil “ atau dorps republiek, yang memang bisa berdiri sendiri,” ujarnya.
Menurut Pontjo, Dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 beserta penjelasannya, para Pendiri Negara mengakui hak asal usul dari desa ini, yang hak-haknya itu harus dihormati Negara, yang berarti bahwa Negara tidak boleh mengurangi, apalagi meniadakan, hak asal usul itu.
“Oleh karena itu dalam kenyataannya Negara memang bukan saja telah campur tangan tetapi juga mengurangi hak asal usul tersebut, maka pengakuan terhadap hak asal usul tersebut harus dibela dan diperjuangkan,” kata Pontjo.
Pontjo berharap rakyat Indonesia jangan cepat lupakan sejarah, terutama di era1945 – 1949 saat sebagian besar pejabat Pemerintah Pusat ditawan Belanda. Saat itu perjuangan dilanjutkan oleh Tentara Nasional Indonesia di desa-desa, yang dibantu sepenuhnya oleh penduduk desa.
Pengalaman sejarah inilah yang menjadi landasan doktrin dan Sistem PertahananKeamanan Rakyat Semesta ( Sishankamrata ) yang telah dicantumkan dalam Pasal 30 Undang-Undang Dasar 1945. Dari doktrin dan, sistem inilah terbentul rangkaian komando territorial sejak dari tingkat desa sampai ke tingkat nasional.
“Tidak perlu diragukan lagi, bahwa kesiagaan komando territorial ini sangat vital dalam menghadapi serangan non militer dari apa yang disebut sebagai Perang Generasi Keempat. Dari pengalaman sejarah ini dapat diambil keseimpulan, bahwa baik dalam damai maupun dalam perang, eksistensi serta kemandirian desa serta suku-suku bangsa selain mampu berdiri sendiri juga mampu menopang eksistensi dan kemandirian Negara Kesatuan Republik Indonesia,” tegas Pontjo.
Pontjo mengaku prihatin dengan adanya upaya sistematis untuk membubarkan komando territorial ini. Dahulu, menurut Pontjo, gerakan ini dipelopori dan digerakkan oleh Partai Komunis Indonesia ( PKI ) beserta jajarannya, dengan nama Tujuh Setan Desa dan Tujuh Setan Kota.
“Dalam bulan-bulan terakhir ini, gerakan tersebut terlihat nyata bangkit kembali. Tidaklah berkelebihan jika dikatakan bahwa jika komando territorial yang sangat berpengalaman itu dibubarkan, bukan saja seluruh pangkalan gerilya kita akan dikuasai oleh kaum neo-PKI beserta jajarannya, tetapi kita juga tidak akan kuat menghadapi Perang Generasi Keempat. Oleh karena itu gerakan kaum neo-PKI ini harus ditangkal secara tegas,” papr Pontjo.
Dalam kesempatan itu, Ferdiansyah, SE.,MM memaparkan, kearifan lokal merupakan salah satu modal dasar pembentukan jatidiri dan karakter bangsa. Namun dalam kurun waktu terakhir dapat dirasakan telah terjadi degradasi moralitas sosial di Indonesia dan pudarnya semangat kebangsaan.
“Keberagaman kebudayaan daerah dengan kearifan lokal yang terkandung di dalamnya, merupakan kekayaan dan identitas bangsa yang sangat diperlukan untuk memperkuat semangat kebangsaan di tengah dinamika perkembangan dunia,” jelasnya
Sebagai birokrat Gubernur NTB Dr. TGH. Muhammad Zainul Majdi, M.A memaparkan dirinya akan terus memperkuat semangat kebangsaan dengan mengoptimalkan segala potensi dengan menetapkan Visi yakni “Mewujudkan Masyarakat Nusa Tenggara Barat Yang Beriman, Berbudaya, Berdayasaing, dan Sejahtera”.
“Beriman artinya masyarakat yang taat beragama, berbudipekerti luhur dan saling menghargai satu sama lain dalam keberagaman sosial budaya. Berbudaya, artinya masyarakat yang mampu berpartisipasi dalam pembangunan dilandasi nilai-nilai budaya dan kearifan lokal. Berdayasaing, artinya masyarakat yang sehat, cerdas, produktif, inovatif, kreatif agar mampu bersaing secara global. Sejahtera artinya, masyarakat yang mampu memenuhi kebutuhan dasar secara ekonomi, sosial dan berkeadilan,” papar politisi dari Partai Demokrat ini.
Sejarah mencatat bahwa meskipun latar belakang budaya dan tradisi masyarakat Nusa Tenggara Barat cukup beragam, namun dapat hidup rukun dan aman, bahkan konflik sosial yang dilatarbelakangi perbedaan suku, agama, dan ras hampir tidak pernah terjadi.
Kekhasan budaya dan tradisi masyarakat NTB adalah suatu karunia tersendiri sebagai kearifan lokal yang mampu menciptakan kondusifitas kehidupan berbangsa dan bernegara. “Namun demikian, kemajuan teknologi informasi dan teknologi transportasi telah mendorong masyarakat NTB semakin dinamis sehingga perlu upaya membangun masyarakat NTB yang berkarakter melalui pendayagunaan nilai-nilai kearifan lokal dalam memperkuat semangat kebangsaan,” ujar Zainul Majdi.
Zainul Majdi buka kartu tentang jurus kebijakan yang dilakuannya untuk mengoptimalkan dan membangun semangat kebangsaan melalui aktualisasi nilai-nilai kearifan lokal di NTB. “Salah satunya dengan mengalokasikan anggaran yang memadai untuk mendukung program pemenuhan kebutuhan dasar, pendidikan kesehatan, dan pelestarian nilai-nilai budaya. Membangun rasa bangga sebagai warga NTB melalui beberapa program dan kegiatan yang mengaktualisasikan nilai-nilai kearifan lokal sehingga menunjukkan bahwa masyarakat NTB mampu bersaing dengan daerah lain,” ungkapnya.
Selain itu Zainul Majdi juga mengoptimalkan marwah pondok pesantren, peran Tuan Guru, Tokoh Agama, dan seluruh elemen masyarakat dalam meningkatkan rasa kebersamaan dalam menciptakan suasana aman dan tentram.
Sebagai penutup diskusi, Sjafri Sairin melontarkan pertanyaan, mampukah kearifan lokal dijadikan blue print bagi pembangunan karakter bangsa?
“Tentu saja tidak mudah untuk menjawab pertanyaan itu mengingat beragamnya kebudayaan masyarakat Indonesia dan masing-masing kelompok memiliki kearifan hidup sendiri-sendiri, yang sering pula relatif berbeda antara satu dengan lainnya,” jawabnya.
Menurut Sjafri Sairin, proses globalisasi yang telah meluncur dengan deras ke tengah jantung kehidupan bangsa telah menyebabkan muculnya berbagai Model Untuk baru yang berbeda dengan Model Dari yang masih hadir dalam sistem pengetahuan masyarakat.
Akan tetapi, pengalaman hidup bersama antaretnik dan kelompok telah menghasilkan hadirnya sejumlah kearifannasional yang dapat dijadikan landasan bagi pembangunan karakter bangsa. []