JAKARTA, WB – Kuasa hukum anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) Asfinawati meminta kepada penyidik dan Kabareskrim untuk segera mengeluarkan ketiga korban dari tahanan demi hukum. Ia berpendapat penahanan dan penentuan sebagai tersangka merupakan kriminalisasi terhadap kebebasan beragama berkeyakinan.
“Kepada Kapolri untuk menjalankan wewenangnya sebagai pimpinan tertinggi Polri mengawasi penyidikan terhadap ketiga orang di atas dan memerintahkan dikeluarkannya korban dari tahanan demi hukum. Kepada Presiden sebagai pimpinan Kapolri untuk mengawasi jalannya penyidikan termasuk penahanan ini,” kata Asfinawati lewat keterangannya, Jakarta, Jumat (27/5).
Kepada Kapolri pinta dia untuk menjalankan wewenangnya sebagai pimpinan tertinggi Polri mengawasi penyidikan terhadap ketiga orang di atas dan memerintahkan dikeluarkannya korban dari tahanan demi hukum. “Kepada Presiden sebagai pimpinan Kapolri untuk mengawasi jalannya penyidikan termasuk penahanan ini,” imbuhnya.
Pada Rabu malam (25/5) dua orang eks anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) ditahan di Mabes Polri setelah menjalani pemeriksaan pertama kalinya sebagai tersangka. Sebelumnya Mahful Muis Tumanurung dan Andri Cahya serta Ahmad Mosaddeq telah menjalani pemeriksaan sebagai saksi.
“Penahaanan terhadap mereka bertiga seharusnya sungguh tidak perlu dan tindakan yang berlebihan, karena tidak ada satupun alasan sehingga mereka perlu untuk ditahan” ujar Asfinawati. Lebih lanjut, Asfinawati juga menyatakan dirinya dan tim advokasi meminta kepada Kapolri agar memperhatikan kasus ini dan segera melepaskan ketiga kliennya, karena penahanan yang terjadi justru akan membuat publik memiliki persepsi bahwa kasus ini lebih bermuatan politik ketimbang pertimbangan hukum.
“Karena ketiganya selama ini sangat kooperatif dalam keperluan penyidikan untuk datang menghadiri panggilan kepolisian”, tambah Asfinawati
Menurut Asfinawati tida ada alasan mengapa ketiganya harus ditahan dan tidak ada bukti ketiganya akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
Pasal 21 (1) KUHAP menyatakan, “Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana”.
Pasal 20 KUHAP menyatakan, “Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang melakukan penahanan”. Oleh karenanya penahanan adalah untuk kepentingan penyidikan bukan hal lainnya. Karena setiap mendapat panggilan ketiganya selalu kooperatif maka tujuan penahanan ini tidak ada.
Penahanan harus berdasarkan bukti yang cukup. Putusan MK dalam perkara nomor 21/PUU-XII/2014 dinyatakan frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” yang tertuang dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP. Pertanyaan tentang 2 alat bukti apa yang telah dimiliki penyidik tidak dapat dijelaskan kepada kuasa hukum.
Apa yang dituduhkan kepada ketiganya terkait dengan keyakinan yang bersangkutan yang telah diuraikan mereka dalam berita acara pemeriksaan masing-masing. Sesuai Konstitusi, Indonesia adalah negara hukum yang demokratis dan memiliki UU terkait HAM, maka keyakinan beragama atau berkeyakinan dijamin. []