GAZA – Mohammed Shaaban, seorang bocah Palestina dari Desa Beit Lahia di Jalur Gaza, dahulu sering bermain dengan saudara dan temannya selama berjam-jam dalam sehari.
Namun, bocah laki-laki berusia 8 tahun itu telah kehilangan semangat untuk bermain setelah menjadi seorang disabilitas dan membutuhkan bantuan bahkan ketika melakukan aktivitas paling mendasar, termasuk saat harus ke kamar mandi.
Bentrokan antara Israel dan gerakan Hamas Gaza selama 11 hari pada Mei lalu menjadi bentrokan paling sengit sejak 2014 yang menewaskan lebih dari 250 warga Palestina dan 13 warga Israel.
Shaaban terluka di hari pertama bentrokan terjadi ketika jet tempur Israel menyerang seorang pria yang sedang mengendarai sepeda motor di Jabalia, sebelah utara daerah kantong pesisir tersebut. Saat itu, Shaaban dan ibunya sedang berjalan kaki pulang setelah selesai berbelanja keperluan Idul Fitri, untuk jamuan buka puasa terakhir di bulan Ramadan.
Mengenang hari nahas tersebut, ibu Shaaban mengatakan putranya sedang bergembira mendapatkan sepatu baru, namun kebahagiaan itu tidak bertahan lama karena sang putra terluka akibat ledakan hebat yang meluluhlantakkan area itu.
“Satu-satunya hal yang saya ingat adalah saya membawa tas kecil berisi sepatu baru. Saya berjalan pulang bersama ibu, tetapi tiba-tiba saya mendengar ledakan hebat yang melempar saya ke udara,” kenang Shaaban. Lalu, semuanya menjadi gelap, dan Shaaban pun buta.
Talia Sakallah, seorang bocah lainnya dari Gaza City, lebih beruntung dibandingkan Shaaban karena dia tidak terluka setelah jet tempur Israel menyerang Menara Hanadi, sebuah bangunan permukiman utama di Gaza.
Sakallah dan keluarganya mengungsi dari rumah mereka setelah seorang tentara Israel memanggil mereka, menyuruh mereka untuk meninggalkan tempat itu sebelum meledak.
“Ketika saya mendengar ledakan terdahsyat dalam hidup saya, saya mengira kami semua (saya dan keluarga saya) akan mati karena banyak keluarga Palestina yang kehilangan nyawa mereka,” tutur bocah perempuan berusia 12 tahun itu kepada Xinhua.
Sakallah mengatakan bahwa dirinya tidak tahu bagaimana mereka bisa tetap hidup. Pada 21 Mei, Mesir menjadi mediator gencatan senjata antara kedua belah pihak, yang mengakhiri bentrokan antara Palestina dan Israel.
Walaupun bentrokan itu telah berakhir empat bulan yang lalu, anak-anak di Gaza maupun Israel masih menderita konsekuensi psikologis.
Menurut ibu Shaaban maupun ibu Sakallah, anak-anak menjadi lebih tertutup dan enggan untuk bermain bersama teman-teman mereka.
“Mohammed menjadi lebih keras kepala dan tidak menerima perspektif apa pun dari orang lain, bahkan dari ayahnya,” tutur Sumaia Shaaban, ibunda Shaaban, kepada Xinhua.
“Dia memilih untuk tetap tinggal di rumah dan tidak mau bermain dengan anak-anak lain, termasuk saudara-saudaranya,” tutur wanita berusia 36 tahun itu. Dia menambahkan bahwa putranya menjadi takut saat mendengar suara bising di sekitarnya.
Sakallah juga mengalami masalah yang sama, ujar Fateyah, sang ibu. “Selain itu, putri bungsu saya diam sepanjang waktu terutama saat dikelilingi oleh orang asing,” tutur wanita berusia 36 tahun yang memiliki empat orang anak itu.
Kedua ibu tersebut mengatakan bahwa anak-anak mereka maupun mereka sendiri tidak merasa aman atau memiliki asa karena Gaza masih berada dalam ancaman konfrontasi lain.
Fadel Abu Hein, seorang psikolog yang tinggal di Gaza, meyakini bahwa anak-anak adalah korban utama dari semua ketegangan militer.
Abu Hein mengatakan kepada Xinhua bahwa perang menimbulkan dampak yang sangat merusak terhadap kejiwaan anak-anak. Mereka mengalami kepanikan, teror, kehilangan kepercayaan diri atau rasa aman dalam hidup mereka, yang membuat mereka lebih tertutup atau lebih agresif terhadap orang lain.
Abu Hein mengimbuhkan bahwa terdapat program pengobatan psikologis bagi para korban maupun orang-orang di sekeliling mereka.
Sementara itu, Komite Palang Merah Internasional (International Committee of the Red Cross/ICRC) mengatakan bahwa anak-anak di Gaza hidup “di bawah teror yang terus-menerus.” Organisasi tersebut juga memperingatkan bahwa anak-anak akan menderita dampak psikologis dari bentrokan yang terjadi baru-baru ini selama bertahun-tahun ke depan. [Xinhua]
Diproduksi oleh Xinhua Global Service [XHTV]