BEIJING – Krisis yang terjadi di Ukraina menyebabkan harga energi melonjak di kawasan Eropa, yang kemudian mendongkrak tingkat inflasi. Dampak ekonomi yang parah akibat krisis energi dirasakan di berbagai sektor ekonomi di Eropa.
TASSOS VAZAKAS, Pemilik toko roti di Yunani:
“Dalam satu tahun terakhir, semuanya berubah secara drastis. Semua bisnis yang sangat bergantung pada energi, baik gas alam maupun listrik, salah satunya sektor kami, mengalami masalah yang besar. Tagihan kami naik tiga kali lipat, padahal kami juga mendapat subsidi dari negara.”
MARGIT KISS, Warga negara Hongaria:
“Harga gas naik lebih dari enam kali lipat dari sebelumnya dan harga listrik naik lebih dari dua kali lipat. Saya hanya menggunakan gas untuk memanaskan air, selebihnya selalu saya matikan. Setiap kali harga energi naik, itu akan menyulitkan para pelanggan.”
ALES BAVDEK, Petani sayuran di Slovenia:
“Inflasi berdampak pada kami hingga membuat kami tidak mampu membeli apa pun karena kami menghabiskan semua sumber daya kami untuk (membayar) produk energi. Akibatnya, kami tidak dapat menabung uang tambahan. Kami mencoba untuk hidup normal.”
CELINE, Penduduk Paris:
“Sejak musim dingin lalu, saya berusaha untuk tidak menyalakan pemanas di atas 18 derajat Celsius, karena saya mengerti bahwa ini adalah batas konsumsi yang berlebihan. Bagi saya, tagihan saya sangat besar tahun lalu. Kami mencoba menghemat uang dengan cara ini. Karena jika tidak, tagihan Anda akan membengkak di akhir bulan.”
Negara-negara Eropa mengambil serangkaian tindakan guna menghadapi risiko jangka pendek akibat dampak terkait krisis energi.
Banyak negara Eropa memperkuat kapasitas penyimpanan gas alam dan memberikan bantuan ekonomi bagi keluarga berpenghasilan rendah serta bagi industri-industri padat energi.
Namun, para analis mengatakan bahwa efek dari langkah-langkah tersebut pasti akan tetap terbatas.
Koresponden Kantor Berita Xinhua melaporkan dari Beijing. (XHTV)