HONG KONG – Seperti hari normal lainnya bagi Nikmatul Rosidah (42), dia turun dari kereta bawah tanah sembari mendorong kereta belanja berwarna biru dan langsung menuju toko kelontong Indonesia di Pasar Tai Wai di Hong Kong.
“Apakah Anda Rosidah?” “Apakah Anda YouTuber itu?” Beberapa orang Indonesia di pasar mengenali Rosidah, berbicara dengan antusias dengannya dalam bahasa Indonesia.
Kisahnya bermula pada 2014, ketika video berdurasi dua menit yang menampilkan putri Rosidah mencoba meniup lilin ulang tahun menjadi viral di media sosial. Rosidah yang datang ke Hong Kong, China, sebagai asisten rumah tangga 20 tahun silam, tidak pernah membayangkan hidupnya berubah seperti ini.
Dengan membagikan kehidupan keluarganya, makanan buatan sendiri, dan beragam budaya yang disajikan dengan latar belakang Hong Kong, Rosidah menjadi salah satu dari sedikit influencer terkenal di platform berbagi video daring YouTube, yang berhasil menemukan suasana kekeluargaan dan rumah di Hong Kong, tempat yang menanamkan energi dan rasa ke kanalnya.
“Ini untuk bersenang-senang dan saya menikmatinya. Jika tidak ada yang menonton, saya bisa menontonnya sendiri di masa depan,” ujar Rosidah, yang kini berpenghasilan sekitar 35.000 dolar Hong Kong (1 dolar Hong Kong = Rp1.840) per bulan dan memiliki 1,47 juta pengikut (subscriber) di kanalnya, kepada Xinhua.
Dalam tujuh tahun terakhir, dia telah mengunggah sebanyak lebih dari 1.500 video yang semuanya diedit di ponselnya.
Rosidah merekam video untuk mendokumentasikan momen kenangan keluarganya dan mengunggahnya ke internet untuk menghemat ruang penyimpanan di ponselnya. Dia tidak mengira dia akan menjadi terkenal bahkan di Malaysia, Indonesia, dan Singapura.
“Awalnya, dia datang ke Hong Kong sebagai asisten rumah tangga dan muncul dari Hong Kong sebagai YouTuber,” kata suami Rosidah, Paul Dobson (55), yang berasal dari Kanada.
Rosidah bertemu suaminya saat sedang menaiki eskalator di stasiun Kowloon Tong pada Tahun Baru Imlek 2004. Mereka menikah dan memiliki tiga anak di Hong Kong.
Dia merupakan satu dari sedikit asisten rumah tangga yang memilih menetap di sana.
Mengenang masa-masa saat dirinya bekerja sebagai asisten rumah tangga, Rosidah mengatakan bahwa dia beradaptasi dengan Hong Kong dengan meniru orang-orang mengucapkan “zou-san,” atau “selamat pagi” dalam bahasa Kanton, di pasar basah. “Saya merasa disambut di Hong Kong,” katanya.
Dua puluh tahun kemudian, semua teman Rosidah yang ditemuinya di pusat pelatihan asisten rumah tangga telah pulang ke Indonesia. Kamera menjadi cara dirinya untuk tetap berhubungan dengan “teman-temannya” dalam bahasa Indonesia di tengah kesibukannya sebagai ibu rumah tangga.
“Dia di rumah bersama anak-anak, jadi terkadang dia menyiapkan kamera,” ujar Dobson. “Sepertinya dia sedang berbicara dengan teman-temannya yang tidak ada di sini.”
Terlepas dari perbedaan bahasa dan budaya, resep-resep Rosidah yang diunggah di kanal YouTube miliknya telah diteruskan ke banyak keluarga Hong Kong melalui asisten rumah tangga Indonesia, menghubungkan orang-orang dari latar belakang yang berbeda.
“Ketika dia mulai membuat roti, asisten-asisten rumah tangga lain mulai memanggang roti karena mereka bisa mengerti bahasanya. Majikan mereka menjadi sangat senang karena beberapa petani mau memberi begitu banyak sayuran kepada asisten rumah tangga mereka untuk dibawa ke rumah kami sepanjang waktu,” kata Dobson.
Sebagai pusat keuangan internasional China, Hong Kong menerima asisten rumah tangga asing sejak awal 1970-an, diikuti oleh kekurangan tenaga kerja yang berkepanjangan setelah bertahun-tahun mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat, dan perubahan kebutuhan layanan rumah tangga setempat dalam masyarakat yang menua, menurut Kantor Riset Sekretariat Dewan Legislatif Daerah Administratif Khusus (Special Administrative Region/SAR) Hong Kong.
Dengan mayoritas dari mereka adalah perempuan dari Filipina dan Indonesia, kelompok tersebut semakin berkembang di Hong Kong, dengan rasio asisten rumah tangga asing terhadap keseluruhan tenaga kerja tercatat hampir dua kali lipat dari 5,3 persen menjadi 9,3 persen sejak 1996 hingga 2016, menurut data statistik yang dihimpun oleh Departemen Sensus dan Statistik pemerintah SAR Hong Kong.
Hong Kong, sebagai latar belakang kanal YouTube Rosidah, menjadi perekat bagi orang-orang yang mengejar mimpi atau kenangan.
Seperti kebanyakan orang, kesan pertama Rosidah tentang Hong Kong dipengaruhi oleh film-film Jackie Chan atau Andy Lau, sedangkan kanalnya merupakan versi lain dari Hong Kong bagi mereka yang belum pernah ke sana. Bagi mereka yang pernah berkunjung, video-video itu seperti mesin waktu yang bisa membawa mereka kembali ke masa lalu.
“Saya bisa melihat Hong Kong tanpa pergi ke Hong Kong”; “Saya sangat merindukan suasana Hong Kong, mulai dari masakan hingga semuanya”; “Saya telah tinggal di Hong Kong selama 10 tahun, dan video ini dapat memuaskan kerinduan saya terhadap suasana di sana,” komentar orang-orang di video Rosidah.
“Hong Kong benar-benar menjadi daya tarik untuk kanalnya. Hal itu memberi orang-orang tujuan yang ingin diraih,” tambah suami Rosidah, sembari mengatakan bahwa Hong Kong, sebagai tempat yang sangat terkenal di China, memberikan lebih banyak peluang dan harapan kepada orang-orang untuk kehidupan yang lebih baik.
Berbicara mengenai masa depannya, Rosidah berharap memiliki dapur yang lebih besar berwarna putih dan tempat memasak terpisah untuk makanan pedas. “Tidak harus terlalu besar. Ukuran (dapur) Hong Kong juga boleh,” ujarnya sambil tersenyum
Keduanya telah menghabiskan hampir setengah dari hidup mereka di Hong Kong. Pasangan itu mengatakan mereka akan merindukan rumah saat melakukan perjalanan jauh, tetapi segera merasa sembuh begitu menginjakkan kaki di bandara Hong Kong.
Selama wawancara dengan Xinhua, aroma kue tar telur merebak dari dapur keluarga Dobson, sebuah ruang mini yang hanya berjarak tiga langkah dari pintu ke sisi terjauh ruangan. Keluarga beranggotakan lima orang itu duduk bersama, makan, dan bercengkerama, dengan kamera terpasang di sampingnya, di rumah desa mereka yang dikelilingi pepohonan di Distrik Sha Tin, Hong Kong.
Setelah 20 tahun, Rosidah masih dapat mengingat momen kali pertama dirinya datang ke Hong Kong seorang diri, di saat dia tidak bisa berbicara sepatah kata pun dalam bahasa Kanton. Saat ini, sebagai ibu dari tiga anak dan istri tercinta suaminya yang berdarah Kanada, dia menjadi bagian dari warga Hong Kong, kota internasional yang terkenal dengan roti nanas, telur ikan, dan Siu Mai, sekaligus sebuah tempat yang dia sebut sebagai rumah. [Xinhua]