WARTABUANA – Beberapa bulan terakhir serangan terorisme terus menjadi headline media. Setelah serangan teror sensasional di Paris di mana 129 tewas, disusul dengan pemboman di bandara dan stasiun kereta api di Brussel, Belgia kemudian terjadi pemboman sebuah pasar di Lahore, Pakistan. Kini Indonesia menjadi sasaran aksi teror berupa pembajakan dua kapal dan disanderanya 10 awak kapal berbendera Indonesia di perairan Filipina.
Dua kapal yang dibajak adalah kapal tunda Brahma 12 dan kapal tongkang Anand 12 yang membawa 7.000 ton batu bara dari Banjarmasin ke Filipina. Secara teori, aksi teror dilatarbelakangi dengan motif ideologi atau kriminal. Serangan teror di Paris dilakukan oleh jaringan ISIS pada 13 November 2016 berlatar belakang ideologi.
Bom Brussel pada Selasa (22/3/2016) juga serangan dengan latar belakang ideologi, pelaku melaksanakan aksi teror sebagai instrumen penghukuman/ balas dendam, di mana situs daring Aamaq (media ISIS) menyatakan serangan ke Belgia itu dilakukan karena negara itu terlibat dalam koalisi melawan kelompok ISIS.
Serangan kemudian terjadi pada Minggu (27/3/2016), berupa bom bunuh diri yang mengguncang taman publik di Lahore, korban tewas mencapai 72 jiwa, sebagian besar wanita dan anak-anak. Kelompok faksi Taliban, Jamaat-ul-Ahrar adalah pendukung ISIS, mengklaim bertanggung jawab atas serangan bom bunuh diri itu.
”Target itu warga Kristen,” kata juru bicara faksi, Ehsanullah Ehsan. ”Kami ingin mengirim pesan ini kepada Perdana Menteri Nawaz Sharif bahwa kita telah memasuki Lahore,” katanya melalui Twitter..
Kasus pembajakan kapal berbendera Indonesia pada Sabtu (26/3/2016) itu dilakukan milisi Abu Sayyaf Filipina yang diketahui juga sudah menjadi bagian ISIS. Sebanyak 10 awak kapal dan seluruh muatan batu bara dibawa penyandera ke tempat persembunyian mereka di salah satu pulau di sekitar Kepulauan Sulu.
Para pembajak mengajukan tuntutan kepada pemilik kapal uang tebusan sebesar 50 juta Pesos (sekitar Rp14,3 miliar).
Karakter Kelompok Teror
Dalam menangani sebuah serangan teror, penindak (counter terrorism) sebaiknya memahami karakter dari sebuah kelompok teror. Dari karakter tersebut, langkah-langkah penindakan dan pelibatan siapa yang menangani akan lebih sukses dibandingkandengandilakukan serangan tanpa pemahaman siapa yang dihadapi.
Karakter dari kelompok teror secara umum di antaranya terorisme extraordinary crime, mendasarkan tindakan pada motivasi ideologis atau bisa juga kriminal. Terorisme bisa memilih sasaran sipil maupun sasaran nonsipil, ditujukan untuk mengintimidasi atau memengaruhi kebijakan pemerintahan dan menciptakan perasaan tidak aman dan merupakan tekanan psikologis untuk masyarakat ataupun dalam rangka meninggalkan pesan. Terorisme tidak menghormati hukum internasional atau etika internasional.
Tujuan jangka pendeknya adalah menarik perhatian media massa dan juga untuk menarik perhatian publik. Karakter kelompok teroris di satu daerah atau negara jelas dan bisa berbeda satu sama lain walau secara umum sama. Dari karakter secara umum, tim penindak/negosiator perlu dibekali dengan pengetahuan dasar (basic descriptive intelligence) kelompok tersebut. Nah, dari data-data the past, apabila digabungkan dengan data masa kini, analis bisa membuat perkiraan apa yang akan mereka lakukan selanjutnya dan bagaimana langkah antisipasinya.
Kelompok Abu Sayyaf
Kelompok penyandera adalah Abu Sayyaf yang merupakan kelompok muslim di Filipina. Kondisi saat ini warga penganut muslim hanya menjadi mayoritas di kawasan otonomi The Autonomous Region in Muslim Mindanao (ARMM). ARMM di bawah kepemimpinan Misuari mencakup wilayah Maguindanao, Lanao del Sur, Sulu, dan Tawi-Tawi.
ARMM dibentuk oleh Pemerintah Filipina pada 1989 sebagai daerah otonomi di Filipina Selatan, sebagai hasil kesepakatan damai antara MNLF dan pemerintah pusat Filipina. Ketika itu penduduk boleh menyatakan pilihannya untuk bergabung dalam wilayah otonomi muslim dan hasilnya empat wilayah tersebut memilih untuk bergabung.
Kesepakatan itu ternyata tidak memuaskan sebagian dari pejuang-pejuang muslim sehingga muncullah Moro Islamic Liberation Front (MILF) dan kelompokAbuSayyaf. Kelompok ini bersumpah untuk menentang dan memboikot ARMM dan tetap memperjuangkan kemerdekaannya sendiri.
Dalam perkembangannya, MILF kemudian bersedia menerima otonomi dengan syarat wilayah otonomi ARMM diperluas dengan ditambahkan beberapa provinsi lagi. Sementara kelompok Abu Sayyaf yang disebut juga Grupong Abu Sayyaf tetap menolak.
Kelompok ini menguasai basis di dan sekitar Jolo serta Pulau Basilan (bagian barat daya Filipina). Laporan intelijen menyampaikan pada 2012 kelompok itu diperkirakan memiliki kekuatan di antara 200 hingga 400 anggota, di mana pada 2000 jumlahnya 1.250 orang.
Abu Sayyaf didirikan dan dipimpin oleh Abdurajik Abubakar Janjalani. Setelah tewas pada 1998, ia digantikan oleh adiknya, Khadaffy Janjalani, yang juga tewas pada 2007. Pada 23 Juli 2014 Abu Sayyaf dipimpin oleh Isnilon Hapilon Totoni yang telah menyatakan bersumpah kesetiaan (berbaiat) kepada pimpinan ISIS Abu Bakr al-Baghdadi.
Kemampuan tempur Abu Sayyaf sebagian besar terlihat dari improvisasi penyerangan berupa serangan dengan perangkat peledak, senjata mortir, dan senapan serbu otomatis. Selama lebih dari empat dekade, kelompok ini dianggap sangat kejam, bertanggung jawab atas serangan teror kejam seperti pemboman super-ferry pada 2004, yang menewaskan 116 orang.
Sejak awal 1991 kelompok ini telah melakukan pemboman, pembunuhan, dan pemerasan dalam apa yang mereka gambarkan sebagai perjuangan mereka untuk provinsi Islam di Filipina. Mereka menerapkan aksi teror walaupun tujuannya adalah insurgency, kemampuan lainnya adalah perang gerilya.
Di bawah kepemimpinan Hapilon Totoni, sejak September 2014, Abu Sayyaf mulai melakukan penculikan orang untuk menuntut uang tebusan dengan mengatasnamakan ISIS. Sejak September 2014 Abu Sayyaf mulai aktif melakukan penculikan orang untuk mendapatkan uang tebusan dengan mengatasnamakan ISIS. Kelompok ini telah ditetapkan sebagai kelompok teroris oleh PBB, Amerika Serikat, Australia, Kanada, Indonesia, Malaysia, Filipina, Uni Emirat Arab, dan Inggris. Awalnya kelompok Abu Sayyaf terkenal karena melakukan pemboman.
Kini kelompok ini menjadi lebih terkenal karena melakukan penculikan dan meminta uang tebusan. Menculik adalah modus operandi mereka dengan tujuan sederhana, mendanai perjuangan bagi provinsi Islam independen. Beberapa kasus penculikan, sandera akhirnya dilepaskan setelah uang tebusan dibayar.
Beberapa kasus sandera ditahan lama hingga 15 bulan, di mana ada sandera yang dieksekusi karena tuntutan tidak dipenuhi. Tuntutan mereka umumnya tinggi, tetapi dapat dinegosiasikan pada batas bawah.
Intelijen sebagai Negosiator
Dari fakta-fakta di atas, khusus dalam penanganan kasus penyanderaan 10 WNI yang kini ditahan Abu Sayyaf, menurut penulis, lebih tepat apabila ditangani melalui jalur negosiasi aparat intelijen. Intelijen memahami karakter kelompok teror seperti Abu Sayyaf.
Dari basic descriptive intelligence terlihat bahwa kelompok ini labil dan mudah terpengaruh. Karena modus mereka menculik untuk mendapatkan uang, negosiasi diarahkan kepada pembicaraan uang tebusan.
Opsi diplomatik jelas akan sangat membantu agen intelijen dalam pulbaket lebih lanjut, terlebih bahwa Pemerintah Filipina jelas menolak bila TNI akan membantu melakukan opsi militer, Amerika Serikat sebagai sekutu lama juga mereka tolak dalam melakukan operasi tempur.
Selain itu, pada wilayah rantai kekuasaan Abu Sayyaf di Basilan, Jolo, dan Tawi-Tawi, menurut Profesor Mark Turner dari University of NSW, Canberra, di wilayah tersebut terdapat cukup banyak kelompok (faksi) dari Abu Sayyaf dan banyak dilengkapi senjata. Karena itu, opsi pengerahan kekuatan militer dinilai akan menjumpai banyak hambatan dan tantangan.
Informasi intelijen bahkan menyebutkan mereka mampu membuat sniper dengan kaliber 12,7. Kesimpulan; negosiasi sebaiknya dilakukan oleh aparat intelijen, dan apabila militer Filipina tidak berhasil melepaskan sandera, perusahaan kapal yang disandera memberi mandat kepada agen untuk melakukan negosiasi bawah.
Yang terpenting, jangan sampai pemerintah yang membayar uang tebusan, tetapi dibayarkan oleh pemilik kapal atau perusahaan asuransi (bila dijamin). Kemungkinan besar mereka akan menerima setengah dari tuntutan tersebut.
Pemerintah sebaiknya mengutamakan lepasnya para sandera. Tidak perlu mengutamakan gengsi, kasus ini terjadi di wilayah Filipina, di mana Pemerintah AS sejak 2002 saja tidak berhasil meyakinkan Filipina untuk menyerang habis Abu Sayyaf. Jelas kasus ini berbeda dengan penyanderaan kapal Sinar Kudus di perairan internasional Somalia yang sukses diserbu pasukan khusus TNI.
Apabila kasus Abu Sayyaf ini terjadi di perairan internasional, opsi militer bisa menjadi alternatif pertama. Sebuah catatan, apabila para sandera telah bebas, untuk menghindari terjadi pembajakan dan penyanderaan lebih lanjut, Pemerintah Indonesia mengeluarkan peringatan waspada (red notice) bagi kapal-kapal Indonesia untuk menghindari wilayah Jolo, Tawi-Tawi, dan Basilan. Semoga bermanfaat.
Penulis : Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan,analis intelijen www.ramalanintelijen.net