J. Kristiadi
Derajat kemuliaan suara rakyat di junjung tinggi setara kuasa ilahiah. Japa mantranya, suara rakyat adalah suara Tuhan, (VoxPopuli, Vox Dei). Suara rakyat yang di sunggi sedemikian tinggi dipercayakan kepada para wakil rakyat dan para penguasa negara lainnya. Rakyat mengganjar mereka martabat, kehormatan dan otoritas politik, agar kekuasaan di kelola guna mewujudkan kesejahteraan bersama. Rakyat mempertaruhkan nasib dan masa depannya kepada mereka. Pertanyaanya, mengapa martabat derajat daulat rakyat nyaris menyentuh surga, praktek demokrasi di Indonesia semakin rapuh?
Beberapa bulan terakhir ini eskalasi kritik terhadap praktek demokrasi semakin melengking. Pemantiknya polemik penghapusan mural bergambar mirip Presiden Joko Widodo (Jokowi) bertuliskan 404: Not Found (Kompas, 18/8/2021). Sebelumnya, kritik juga datang dari the economist, (21/8/2021),demokrasi semakin melemah di era Jokowi. Penilaian panjang lebar disampaikan LP3ES dalam buku peringatan HUT 50 berjudul “Nestapa Demokrasi di Masa Pandemi. Suara senada, Democratic Deconsolidation in Southeast Asia, (Marcus Mietzner, 2021)
Suara miring masyarakat domestik dan internasional terhadap praktek daulat rakyat sangat absah karena virtue yang melekat dalam demokrasi, rakyat adalah pemegang kedaulatan, berhak mengoreksi praktek demokrasi yang melenceng dari cita-cita mulia. Nilai luhur tersebut yang menjadikan demokrasi digandrungi banyak negara; rakyat leluasa memperbaiki kesalahannya sendiri, antara lain melalui kebebasan bersuara, berpendapat serta melakukan perdebatan terbuka guna membangun opini untuk menekan pengelola negara yang menyalah gunakan kekuasaan. Usia kritik lahir bersama kehadiran demokrasi itu sendiri.
Jawaban klasik pertanyaan diatas, melaksanakan daulat rakyat sangat memerlukan pengelola kekuasaan yang mempunyai kualitas kompetesi moral, kepemimpinan, pengetahuan serta kemampuanmanajerial yang prima. Persyaratan tersebut sangat diperlukan karena, pertama, kekuasaan inheren dengan kenikmatan ragawi yang menjadi kecenderungan dan impian setiap manusia. Kedua, demokrasi adalah medan pertarungan kepentingan kekuasaan, proses pemilihan calon penguasa sangat rumit; memerlukan kegigihan, keuletan serta stamina untuk memenuhi persyaratan mendapatkan pemimpin yang mengabdi rakyat.
Oleh sebab itu daulat rakyat tidak akan terwujud hanya karena ungkapan romantik-retorik semata. Kelengahan rakyat memilih pengelola kekuasaan negara akan berakibat rakyat menuai derita dan sengsara. Bahkan dualat rakyat dapat di nista penguasa.
Sementara itu, para penguasa juga amat pintar mencumbu rakyat dengan kata-kata muluk guna membius, merenggut dan memagut daulat rakyat. Misalnya, salus populi suprema lex, (keselamatan rakyat, hukum tertinggi), oleh penguasa ditambah kata-kata princeps legibus solutus est (tetapi raja tidak terikat kepada undang-undang).Jampi-jampi keselamatan rakyat dengan mudah ditaklukkan sabda penguasa. Aforisme lainnya, manunggaling kawula – gusti, bersatunya rakyat dengan raja. Tetapi raja, karena ia merasa lebih hebat dan bermartabat dibandingkan rakyat; ungkapan adiluhung tersebut di plesetkan dengan menambah anak kalimat : “tetapi rajalah yang tahu, apa itu kehendak rakyat”. Melalui silat kata, penguasa membegal kedaulatan rakyat. Aturan hanya berlaku bagi para kawulo, bukan penguasa. Para petualang politik semakin leluasa mengobrak abrik tatanan kekuasaan yang memuliakan manusia.
Praktek demokrasi kumuh dengan limbah yang di produksi oleh elit politik yang kemaruk kekuasaan; sehingga politik uang dan politik dinasti semakin merajalela, politisasi birokrasi menjadi-jadi, korupsi mewabah nyaris di setiap intitusi politik, negara dan pemerintahan. Praktek distruktif dirasakan sebagai ihwal yang biasa karena para pelaku sudah mati rasa.
Menyelamatkan Daulat rakyat
Dalilnya, soko guru demokrasi universal adalah kesetaraan, partisipasi dan representasi, ketiganya merupakan elemen konstitutif; kehadiran dan pengejawantahnnya absolut. Demokrasi juga memutlakkan penguatan lembaga-lembaga penyelenggara Pemilu. Mengingat masing-masing negara mempunyai keunikan sendiri, praktek demokrasi wajib menyesuaikan diri dengan konteks sosial, adat istiadat serta budaya setempat. Namun ketiga prinsip tersebut tidak boleh di kompromikan, apa lagi di salah gunakan melalui sistem pemilu yang tidak “ Jurdil” serta amburadul.
Kritik demokrasi yang membuncah harus di jadikan momentum menata ulang tatanan politik secara fundamental agar sesuai dengan azas-azas daulat rakyat. Penyelamatan demokrasi di mulai dari intitusi yang paling rendah kadar tingkat kredibilitasnya di mata publik.
Parpol selalu menjadi pelanggan setia juara kelas kambing dalam pemeringkatan tingkat kepercayaan, berlawanan secara diametral dengan gengsinya sebagai pilar demokrasi. Maka, prioritas menyelamatkan demokrasi adalah mendorong Parpol agar terus menerus menemukan identitas jati dirinya sebagai penjaga gawang demokrasi yang tangguh, bukan sekedar perabot para pemilik modal dan bandar politik membangun imperium kekuasaan.
Masyarakat sipil juga harus merawat dan memperkuat stamina agar mempunyai daya tahan prima, karena perjuangan merawat daulat sangat Panjang dan melelahkan. Dalam pertarungan kepentingan kekuasaan, suara rakyat pasti menang karena suara Tuhan selalu berjaya melawan kuasa durhaka. Rakyat Indonesia dilarang putus asa dan wajib terus gigih berjuang memperkuat institusi demokrasi sebagai sarana terwujudnya kesejahteraan rakyat.
Jakarta, 1 September 2021