Oleh: Nasaruddin Siradz*
Pekerja Migran Indonesia (PMI), baik sektor formal maupun informal, di Taiwan memiliki berbagai keuntungan dalam bekerja di negara tersebut. Meski menghadapi berbagai tantangan dan kesulitan, akan tetapi mereka memiliki kesempatan meraih penghasilan lebih tinggi dan pengalaman berharga bekerja di luar negeri.
Keuntungan utama bagi PMI di Taiwan antara lain tingkat upah lebih tinggi. Dikutip dari Kemnaker.go.id, rata-rata upah PMI di Taiwan sekitar NT$20.000 – NT$25.000 per bulan, sekitar Rp 9,6 juta hingga Rp12 juta. Jauh lebih tinggi dari upah yang diterima oleh para pekerja yang berprofesi sama, sebagai asisten rumah tangga (ART), di negara lain. Sementara gaji ART di Singapura, Malaysia dan Hongkong berturut-turut sebagai berikut: Rp. 7,5 juta (Sin $ 650) di Singapura, Rp. 4 juta (RM 1200) di Malaysia dan Rp. 9 juta (HK $ 4730) di Hongkong.
Selain memperoleh pengalaman bekerja di luar negeri, keuntungan lain bagi PMI di Taiwan antara lain dapat belajar dan mengembangkan keterampilan baru, seperti memperoleh sertifikasi perawatan anak (child care), sertifikasi perawatan orang tua (aged care), dan sertifikasi pelayanan rumah tangga. Hal ini menjadi nilai tambah ketika kelak ia mencari pekerjaan di Indonesia. Selanjutnya, PMI di Taiwan juga berkesempatan menghemat uang yang diperolehnya lebih tinggi dengan mengirimkan sebagian besar penghasilannya kepada keluarga di Indonesia.
Wiwin (31 tahun), demikian ia sering disapa, PMI yang berprofesi sebagai ART asal Subang-Jawa Barat, yang pernah bekerja di Taiwan pada tahun 2014 – 2016. Kini ia baru saja berangkat untuk kedua kalinya ke Taiwan melalui PJTKI/P3MI PT Hasratanda Sejahtera di bilangan Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Wiwin mulanya hanya memperoleh gaji sebesar NT$ 16 ribu pada tujuh bulan pertama (2014), seiring waktu, majikan merasa puas dengan hasil pekerjaannya, ia kemudian mendapatkan gaji NT 20 ribu (2015-2016) sekira Rp. 9,6 juta (dengan kurs 1 NT=Rp.483), ditambah tip/uang lembur sebesar NT 2000 setiap bulannya. Sehingga penghasilan sebulan mencapai Rp. 10 juta lebih.
Menurut penuturannya, Wiwin mulanya merawat Akong (kakek) yang berusia cukup lanjut dan dalam keadaan lumpuh total. Selama sekitar dua tahun ia merawat Akong mulai dari memberi makan melalui selang, membasuh/membersihkan muka, mencukur jenggot, membalikkan badan hingga membantu bila sang kakek ingin BAB. Sebelum kontrak kerjanya selesai ternyata Akong telah meninggal dunia di Taiwan. Tidak lama kemudian,Wiwin pun harus kembali ke Tanah Air karena kontrak kerja telah selesai.
Setelah sekitar dua minggu tiba di Tanah Air, Wiwin memperoleh Rp 100 juta sebagai ”hadiah” dari hasil pengabdiannya merawat Akong selama 2 Tahun. Jumlah total yang dapat dibawa pulang ke Indonesia pada saat itu (2016) sebesar Rp. 250 juta. Uang tersebut ia peruntukkan “menebus” sawah yang sebelumnya digadaikan untuk biaya hidup dan persiapan keberangkatan ke Taiwan.
Sawah tersebut kini telah menghasilkan, sebagian untuk perbaikan (renovasi) rumah dan sebagian lagi untuk “bekal” hidup di kampung. “Saya sangat beruntung karena punya majikan (anak Akong) yang sangat perhatian, sehingga keperluan sehari-hari saya seperti; sabun mandi, shampoo, pasta/sikat gigi hingga keperluan lainnya seperti baju dan sepatu ditanggung majikan,” ungkap Wiwin.
Wiwin mengungkapkan, bahwa ia beruntung karena majikannya memberi keleluasaan untuk dapat menghubungi keluarga di atas jam sembilan malam. Sehingga melalui WA atau WA Call komunikasi dengan keluarga di kampung dapat terlaksana. Menarik bahwa ketika ayahnya sakit keras dan kemudian meninggal dunia di tahun 2015, ia memperoleh ”Uang Duka” ketika itu jika di kurs ke Rupiah berjumlah Rp 10 juta.
Setelah Kembali di Tanah Air (2016), Wiwin menekuni kesehariannya sebagai ibu rumah tangga hingga melahirkan anak kedua. Untuk menambah penghasilan keluarga ia mencoba bekerja di Pabrik sekitar tempat tinggalnya dengan gaji Rp. 3 juta per bulan yang bisa dikatakan jauh dari cukup.
Setelah 7 tahun di kampung, tanpa terasa anak sulungnya mau melanjutkan sekolahnya masuk SMA/SMK sehingga memerlukan biaya yang tidak sedikit bagi kelanjutan pendidikannya. Karena itu ia memutuskan untuk kembali bekerja ke luar negeri demi kelanjutan pendidikan anak-anaknya.
Meski awalnya dihantui perasaan ragu, setelah 7 tahun tidak lagi berkomunikasi menggunakan bahasa Mandarin, banyak kosa-kata yang lupa. Faktor usia yang juga kian bertambah, kemudian sikap anak sulung yang cenderung ”melarang” ibunya kembali bekerja ke luar negeri, campur-aduk menjadi satu. Namun berkat kinerja baik yang dulu pernah diperlihatkan kepada majikannya, membuat majikan lamanya dengan mudah memutuskan untuk menerima Wiwin kembali bekerja guna merawat Ama (nenek) yang sudah lama ia kenal dan kini kian sepuh.
Bagi PMI yang mau bekerja di Taiwan. Salah satu indikasi majikan baik atau tidak, biasanya dapat dilihat saat pertama kali menginjakkan kaki di rumahnya. Majikan yang baik biasanya mempersilahkan pekerjanya untuk beristirahat saat pertama kali menginjakkan kaki dirumah mereka. Jika hal kebalikan yang terjadi, maka dapat dipastikan kalian akan bertemu dengan majikan yang kurang baik.
Kesan positif selama bekerja di Taiwan, ia mengamati nampak bahwa kantor-kantor perwakilan di luar negeri seperti KADIN Taiwan seharusnya dapat lebih cepat tanggap dalam menerima pengaduan PMI yang memerlukan bantuan ketika mendapat perlakuan tidak layak dari majikannya. Ia mencontohkan bahwa Kantor Perwakilan the Philippines di Taiwan sangat cepat dalam memberikan tanggapan jika ada masalah atau aduan dari warga negaranya, sehingga warga negara Pilipina yang berada di Taiwan merasa terlindungi.
Meski berbagai keuntungan bagi PMI di Taiwan, mereka harus tetap berhati-hati dan waspada untuk memastikan hak-hak mereka dilindungi. Mereka harus memahami kontrak kerja mereka dan memastikan bahwa hak-hak mereka diakui dan dilindungi oleh pihak majikan atau pemberi kerja.[]
*Penulis adalah pemerhati masalah ketenagakerjaan, tinggal di Jakarta.