”Usulan itu menjerumuskan saya.”
(Akun resmi Presiden Joko Widodo di Twitter, @jokowi, Minggu (2/12/2019).
Sejak pandemi Covid-19 melanda dunia, banyak perdebatan berkisar tentang jenis sistem pemerintahan yang dianggap paling efektif menangani Covid-19. Negara yang otoriter atau setengah otoriter dianggap lebih berhasil dibandingkan dengan negara yang percaya pada demokrasi. Namun, konstatasi itu sejauh ini belum bisa dipertanggungjawabkan validitasnya mengingat pemeringkatan efektivitas menangani pandemi tak mudah.
Lazimnya, hal itu diukur dari pelonggaran penguncian, peraturan kontrol mobilitas penduduk, strategi pemulihan ekonomi, virulensi yang berubah-ubah, dan kematian. Kriteria terakhir tidak mudah karena negara-negara yang melaporkan kematian juga berbeda-beda. Belgia, misalnya, memasukkan kematian mereka yang diduga terkena virus korona, tetapi tidak dikonfirmasi dengan tes. Selain itu, cukup banyak negara yang tidak transparan melaporkan warganya yang meninggal akibat Covid-19.
Menurut think tank Australia, Lowy Institute, tak mungkin sistem pemerintahan tertentu menjadi juara permanen menangani pandemi Covid-19. Selain itu, tak terdapat teori yang meyakinkan mampu menjelaskan perbedaan efektivitas kemampuan negara meskipun satu negara membuktikan jauh lebih efektif dibandingkan negara lain. Lembaga itu juga menyebutkan, berdasarkan indeks kinerja Covid-19, model penguncian dan penutupan perbatasan yang diterapkan oleh negara-negara otoriter tidak memiliki ”keuntungan jangka panjang” menekan virus. Negara-negara demokratis lebih mempunyai stamina menangani pandemi dan juga lebih efektif (News.com.au, 28/1/2021).
Argumen Francis Fukuyama tentang efektivitas negara menangani pandemi lebih valid. Permasalahannya bukan pilihan dikotomi antara otoriter dan demokrasi. Isu sentral adalah kapasitas negara, kepercayaan sosial, birokrasi atau aparatur yang kompeten, dan kepemimpinan nasional yang efektif. Negara-negara yang institusi politik dan birokrasinya tak berfungsi dengan semestinya, masyarakat terfragmentasi, dan kepercayaan terhadap pemerintahan rendah sulit mengendalikan wabah korona. Jadi, isunya bukan tipe rezim (”The Pandemic and Political Order”, Foreign Affairs, edisi Juli/Agustus 2020).
Meskipun tidak terdapat korelasi positif antara pemerintahan otoriter dan efektivitas penanganan pandemi, elite di beberapa negara tergoda mengonsolidasikan kekuasaannya dan memperketat kontrol terhadap masyarakat sipil yang dapat mengarah kepada atau memperkuat sistem otoritarian.
Simtom godaan rekayasa negara otoriter pernah mampir di Indonesia. Gejalanya, gagasan agar Presiden Joko Widodo dapat dipilih kembali untuk ketiga kalinya. Embrionya dimulai dengan mengembangkan isu soal perlunya Indonesia memiliki lagi Garis-garis Besar Haluan Negara agar program pembangunan berkesinambungan. Skenarionya, amendemen UUD 1945, presiden dipilih kembali oleh MPR dan bertanggung jawab kepada MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Salah satu hasil reformasi yang sangat penting ingin diubah demi kekuasaan.
Bola isu tersebut di kalangan elite politik menggelinding cepat. Konon, sebagian besar fraksi di MPR setuju. Beberapa kalangan masyarakat sipil juga ikut mengampanyekan isu itu. Bahkan, hasil beberapa lembaga survei yang tak diumumkan, pada April-Mei 2021, mengindikasikan dukungan atas usulan Presiden Jokowi tiga periode cenderung naik. Hasil survei SMRC menyebut responden yang tak setuju Presiden Jokowi nyapres lagi 52,9 persen, 40,2 persen setuju, dan 6,9 persen menjawab tidak tahu.
Gelagat gagasan yang mengancam demokrasi dengan mengobrak-abrik konstitusi untuk melanggengkan nikmat kuasa para pemburu kekuasaan menyengat penciuman Presiden Jokowi. Ia menolak, bahkan menuduh para pengusul ingin menampar muka, cari muka, dan menjerumuskan. Ketentuan pembatasan jabatan presiden sangat penting mencegah kembalinya sistem otoriter yang lalim. Respons Presiden Jokowi amat mujarab sehingga isu itu padam. Bayangkan kalau reaksinya berupa kalimat bersayap, hampir dapat dipastikan ceritanya akan jadi lain. Lebih-lebih kalau presidennya mengidap megalomania.
Di Amerika Serikat, ”moyang”-nya demokrasi modern, pembatasan dua kali masa jabatan memerlukan sekitar 200 kali usulan mulai 1796 sampai 1940. Akhirnya tahun 1950-an amendemen ke-22 konstitusi membatasi jabatan presiden dua periode. Ini setelah Presiden Franklin D Roosevelt menjalani tiga masa jabatan dan memenangi pemilihan keempat. Namun, ia meninggal pada April 1945 sebelum menjalani masa jabatan keempat (www.history.com/news/fdr-four-term-president-22-amendment).
Meningkatnya eskalasi pandemi Covid-19 dan godaan gagasan Presiden Jokowi dipilih ketiga kalinya tak menyurutkan harapan publik agar Pilpres 2024 lebih berkualitas. Ekspektasi mulai mengembang dengan pemberitaan Kompas, 27 Juni 2021. Gubernur Jateng Ganjar Pranowo memberi contoh melawan pandemi laiknya pendekar yang berjibaku demi keselamatan rakyat. Gubernur Jabar Ridwan Kamil mengandalkan politik akal sehat dan politik tahu diri. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan lebih kurang melakukan hal yang sama.
Ketiga sosok itu berdasarkan hasil survei capres selalu ada di papan atas. Simtom awal yang menggembirakan karena ketiganya berniat berlomba memadamkan pandemi sebagai sarana persaingan pada 2024. Semoga niat awal ketiga politisi tersebut menjadi teladan bagi para kandidat lain.[]
Pernah dipublikasikan di KOMPAS pada 1 Juli 2021.