Oleh : Christianto wibisono
HARI Sabtu, 12 Juni adalah hari lahir putri kedua saya Astrid Wardhani Wibisono, yang lahir waktu PDBI didirikan 1980, berbeda 8 tahun dari kakaknya Jasmine 23 Mei 1972 sekitar kelahiran majalah Tempo 6 Maret 1971. Siang ini medsos masih asyik polemik tentang kumatnya pungli di Priok dan heboh tagih ulang BLBI dan pajak sembako serta gelar Professor Doctor Unhan. Bung Karno muncul di Pool side Kempinski lantai 11 roof top dengan -pemandangan Jakarta yang magnificent.
Bung Karno (BK): Bung Christ, saya membaca anti memoirs Anda Kencan dengan Karma, kadang-kadang saya takjub kok yang dibilang Algorithma Big Data, angka dan data bisa saling terkait dalam hukum karma dan saling mengingatkan agar tidak mengulangi sejarah masa lalu seperti keledai gurun pasir.
Christianto Wibisono (CW): Wah, kita ini intelektual masak harus percaya otak atik gatuk,Pak?
BK: Rumah Jasmine salah satu dari 80 rumah di Pantai Indah Kapuk yang dibakar 13 Mei 1998 dan Anda tetap bertahan di Indonesia. Baru pada 10 Juni 1998 ketika Anda menerima surat “kaleng’ memuakkan dari orang Bernama Ponijan yang antara lain berbunyi: “masih syukur baru rumah anak anda yang dibakar lain kali kepala anda yang saya penggal,” sambil memaki-maki rasis. Surat itu sudah Anda laporkan ke Presiden Gus Dur dan Jaksa Agung Marzuki Darusman untuk diusut agar mengetahui siapa dalang kerusuhan Mei, tapi sampai detik ini tidak ada kemajuan dalam penyidikan tragedi Mei 1998.
CW: Ya sudah Pak, kita move on saja,toh, semua pelaku kerusuhan itu barangkali sudah almarhum dan sudah bertobat meski tidak ketahuan sejauh mana hukum karma berlaku untuk mereka dari aktor intelektual sampai preman pemerkosa dan penjarah Mei 1998 sudah terhukum oleh keadilan Tuhan Yang Maha Kuasa.
BK: Saya percaya Tuhan Maha Adil. Setelah PDBI mengumumkan Anatomi 1688 Debitur BPPN 1 Juni 1998, baru muncul surat ancaman Ponijan 10 Juni 1998, dan Anda karena muak dengan situasi mengecilkan diri ke sahabat Anda Dubes RI ke-14 untuk Amerika Serikat, Prof Dr Dorodjatun Kuntjoro Jakti.
Saya di Nirwana asyik membaca Dokumen otentik kasus BLBI BPPN itu, dibedah oleh PDBI yang memang ahli dengan data profil dan anatom siapa dan siapa memiliki apa dalam dunia korporasi bisnis dan sistem ekonomi Indonesia.
Pada 5 Juni 1999 Pemerintah mengumumkan 1689 nama Obligor berikut nilai utangnya dan bank data PDBI segera menelusuri apa dan siapa perusahaan atau pribadi yang tersebut di dalam daftar itu. Pada 19 November 1999 PDBI mengumumkan rekap jumlah obligor berkurang 21 nama karena terdaftar dua kali sehingga jumlah obligor menjadi 1668.
Berdasarkan struktur kepemilikan dan pemegang saham yang terpantau oleh PDBI ternyata ada 53 BUMN atau quasi BUMN dan 30 group konglomerat dengan total utang Rp83,6 triliun dari 352 perusahan dengan utang diatas Rp1 triliun. Kelompok BUMN menanggung beban Rp10 triliun, sedang kroni KKN Cendana Rp 21 triliun, belum termasuk obligasi rekap BCA Salim Group Rp54 triliun sebelum dilelang dan dibeli Jarum Group.
Kelompok PMA 46 unit rencana investasi 10 juta dolar AS tapi kredit macet Rp7 triliun. Kelompok PMDN rencana investasi Rp72 triliun kredit macet Rp68,7 triliun. Kelompok non PMA/non PMDN 1.171 unit macet Rp80 triliun. Sektor keuangan non bank 99 unit macet Rp99 triliun.
Kajian PDBI Anatomi 1668 Debtor BPPN dibahas oleh Presiden Gus Dur dan PDBI setelah Presiden bertemu Presiden Clinton 1999. Penelusuran PDBI memperlihatkan bahwa 30 top konglomerat swasta termasuk kroni dan kerabat penguasa negara sudah mencakup 2/3 total kredit seluruh debtor Rp155 triliun dengan 21 unit macet di atas Rp1 trilliun sekitar Rp43,4 triliun atau 27,9 persen dari total.
Pemerintah Presiden Jokowi tinggal mencocokkan data BPPN 1999 itu dengan nota tagihan yang sedang dibuat sekarang. PDBI siap membantu para pihak yang bernegosiasi secara profesional dengan data historis empiris bank data PDBI, yang otentik saat pengumuman BPPN dilakukan di era Presiden Gus Dur 1999, tapi penyelesaian dituntaskan oleh Presiden Megawati dengan Inpres No 8 tertanggal 30 Desember 2002.
CW: Apa pesan konkret Bapak terhadap elite kita soal gaduh BLBI pajak sembako dan gelar doctor Megawati.
BK: Ya ini, saya subyektif sebagai ayahanda Megawati dan saya sendiri tersinggung soal gelar doctor dihebohkan kayak pandemik Covid. Sebetulnya dengan Langkah konkret menyelesaikan BLBI tuntas itu Mega layak dapat gelar Doktor Ekonomi dari diktatur KKN Orba menuju ekonomi reformasi yang dinikmati Indonesia sekarang ini. Saya malah mau menggugat rezm Orba kenapa sewenang wenang menskors mas Tok dan mbak Adis dari kuliah di ITB dan Unpad.
Orde Baru itu lebih sadis dari kolonial. Belanda saja membiarkan saya lolos lulus ujian insinyur THS cikal bakal ITB dan diwisuda 3 Juli 1926. Lha, kok ini pemerintah nasional sesama bangsa malah tega dan sadis melarang anak-anak saya kuliah di ITB dan Unpad. Gara-gara drop itu terus terang merupakan akar gosip Mega drop out kuliah kok jadi professor doctor. Saya tegas memprotes disini bahwa sejarah Orde Baru terutama menskors mahasiswa tidak boleh kuliah itu adalah cermin totaliter Nazi oleh Jendral Soeharto. Tapi sudahlah, kita kan sudah rekonsiliasi forgive the pass don’t forget supaya tidak mengulangi blunder masa lalu.
CW: OK, Pak. Jadi, soal ekonomi perlu dana sampai harus mengutak atik putusan presiden ke-5 oleh presiden ke-7 ini mesti bagaimana?
BK: Ya sudah, kamu kan sudah tulis ke menteri terkait dan juga ring 1 istana soal riwayat BLBI BPPN ini sejak Gus Dur sampai kamu dipanggil jadi Menko 10 Juni 2001 tepat 20 tahun lalu, tapi kamu sudah mencium bau Gus Dur dilengserkan dalam 41 hari 23 Juli Megawati jadi Presiden ke-5. Ya, biar elite itu belajar sejarahlah. Kita kan sudah capek membahas bertahun-tahun soal resep agar Indonesia jadi no 4 sedunia dalam kualitas tapi mereka elite oligarki cuma asyik main “suksesi”. Saya hanya bisa berdoa supaya masih banyak elite dan masyarakat yang prihatin dan peduli dengan Indonesia yang berpikir jernih seperti yang kita bedah sejak wawancara imajiner kita 1977.
CW: Terima kasih atas dukungan doa dan semangat untuk tetap menulis sebagai hobby mencerahkan dan melipur kejenuhan masyarakat.[]
Penulis adalah seorang analis bisnis terkemuka di Indonesia, pendiri Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) dan anggota Komite Ekonomi Nasional era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2007-2010). Menulis kajian Menuju Presiden Ke-7 dan Anatomi Presiden Ke-7.