Oleh : J.Kristiadi
Awalnya adalah niat melakukan purifikasi professionalisme serta mengembalikan jati diri Polri dan TNI sebagai bagian integral reformasi politik. Kedua lembaga perlu diluruskan agar sejalan dengan elan transformasi yang berhasil menjungkir balikan rejim tiran menjadi daulat rakyat. Polri berfungsi penegakan hukum,merawat ketertiban sosial serta menjaga kemanan dalam negeri. TNI garda terdepan menjaga kedaulatan dan keutuhan negara dari ancaman eksternal. Kedua lembaga tersebut perlu dibebaskan dari pertarungan politik kekuasaan.
Namun perjuangan tidak mudah mengingat kedua institusi tersebut telah beberapa dasa warsa di salah gunakan rejim tirani sebagai perkakas politik melestarikan kekuasaan. Selama itu pula Polri dibelenggu sebagai bagian dari Angkatan Perang karena di integrasikan dalam Angkatan Bersejata Republik Indonesia (ABRI); sehingga institusi sipil tersebut semakin lama semakin berkarakter militeristik karena tunduk kepada garis komando militer.
Ekses Euphoria reformasi serta tingkat akselerasi tranformasi politik sangat cepat, mengakibatkan pemisahan TNI dan Polri tidak disertai pemikiran yang mendalam dan komprehensif. Idealnya program tersebut merupakan bagian integral agenda reformasi Keamanan Nasional (National Security) atau Kamnas. Tujuan utamanya mengamanakan kepentingan nasional dari berbagai ancaman. Mulai dari ancaman militer asing, berbagai konflik di dalam negeri, bencana alam, sampai dengan ancaman rasa aman warga negara dan lain-lan. Mengingat tantangan Kamnas sangat kompleks kerjasama antar sektor adalah keniscyaaan.
Pendekatan parsial mengakibatkan kecelakaan sejarah yang fatal. Sumbernya, amandemen konstitusi UUD 1945. Judul Bab XII pasal 30, semula (naskah asli) formulasinya “Pertahanan”; pasca amandemen menjadi “Pertahanan dan Keamanan Negara”. Ketentuan tersebut mengakibatkan kerancuan karena mencampuradukkan fungsi pertahanan (menegakkan kedaulatan) dan keamanan negara (merawat ketertiban masyarakat dan menjaga kemanan dalam negeri). Persoalan semakin ruwet karena terminologi keamanan dapat tafsirkan sebagai keamanan nasional.
Konstitusi yang rancu dan multi tafsir mengakibatkan produk tururannya, Ketetapan MPR, semakin runyam. Singkatnya, TAP MPR VI/MPR/2000 menegaskan TNI dan Polri terpisah sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing, namun bila terdapat keterkaitan kegiatan pertahanan dan kegiatan keamanan, TNI dan Polri harus bekerja sama dan saling membantu.
Tap VII MPR/2000 substansinya nyaris sama. Ringkasnya, TNI sebagai komponen utama dalam sistem pertahanan Negara. Namun TNI memberikan bantuan kepada Polri dalam rangka tugas keamanan atas permintaan yang diatur dalam undang-undang. Kedua TAP tersebut dalam pelaksanannya rentan konflik kewenangan antar sektor karena tidak disertai aturan keterlibatan (rule of engagement) yang jelas dan rinci.
Potensi konflik antar lembaga, khususnya antara Polri dan TNI diperkirakan mudah terjadi. Penyulutnya, antara lain UU Polri pasal 5 (ayat)1 yang menegaskan Polri berperan memelihara ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, pelindung dan pengayom masyarakat guna terpeliharanya keamanan dalam negeri. Tetapi pasal 14 ayat (1) huruf i memuat ketentuan yang sangat luas, lebih tepat masuk UU Kamnas. Bunyinya: Polri melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; pasal 15 ayat (1) huruf d: mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Ketentuan yang seharunya menjadi ranah Kamnas.
Pasca terbitnya UU Polri dan TNI, masyarakat sipil sangat aktif berambisi menyusun UU Kamnas. Namun karena isyu tersebut semakin sensitive, gagasan publik tersebut menguap diterpa badai kepentingan sektoral. Setiap kali muncul ide tentang UU Kamnas beberapa kalangan Polri kelihatan gerah. Namun tidak sedikit yang berpendapat UU tersebut penting, terutama mereka yang sedang menempuh pendidikan kedinasan atau studi program doktor di ST-PTIK ( Sekolah Tinggi- PTIK).
Harapannya, UU ini merupakan langkah awal Polri meniti dan menemukan kembali marwah serta jati dirinya. Agenda ini memerlukan waktu panjang dan niat politik negara ekstra kuat. Diawali dengan mengamandemen Bab XII, pasal 30 UUD 1945. Kasus tembak menembak sesama anggota Polri yang membikin geger jagad politik harus di jadikan momentum menyusun UU Kamnas yang dilakukan dengan kajian yang mendalam serta komprehensif. []