Oleh : J. Kristiadi
Renungan Idul Fitri K,H.Robikin Emhas, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Staf Khusus Wakil Presiden RI, laiknya malaekat yang meniupkan sangkakala suara kenabian. Mengingatkan seluruh umat beriman kembali keasal muasal sebagai makhluk Tuhan yang suci bagaikan bayi tidak mempunyai dosa. Tiupan dilakukan setelah laku asketis, mati raga sebulan penuh, memancarkan cahaya ilahiah yang mencerahkan supaya manusia lebih peka tidak hanya mampu membedakan perbuatan baik dan buruk; melainkan juga kapabel memilah perbuatan kurang buruk, agak buruk dan lebih buruk.
Gema bunyi serunai juga menyiratkan anjuran agar umat beriman terlibat atau mengamalkan agama dan kepercayaannya dalam kehidupan sehari-hari. Kesalehan sosial bagian tidak terpisahkan upaya mewujudkan niat luhur sesuai keyakinan masing-masing. Makna terdalamnya, tiada iman tanpa keterlibatan ikut belomba berbuat baik bagi sesamanya. Kewajiban yang memerdekakan karena dilakukan berdasarkan bisikan suara hati, bukan perintah dari siapapun.
Pesan spiritual K,H.Robikin Emhas memberikan pula isyarat semakin menguatnya fenomena keterbelahan sosial disertai kebencian sesama warga masyarakat. Polarisasi bernuansa politik identitas merupakan api dalam sekam yang mudah memantik sambaran api yang membakar hangus peradaban hidup bersama. Pesan ini harus diperhatikan pemerintah dan masyarakat sipil, terutama para elit politik agar dalam perburuan kekuasaan tidak menghalalkan segala cara.
Wanti-wanti bernada keprihatinan merawat fitrah, mengungkapkan pula agar merayakan kemenangan melawan nafsu kenikmatan badaniah, tetap harus waspada berbagai godaan, terutama nafsu kuasa. Latar belakang nasehat, demonstrasi mahasiswa di cemari kerusuhan dan penganiayaan jauh diluar batas kemanusiaan. Tanpa peradaban, manusia adalah serigala bagi sesamanya.
Dikutip: “ Rentetan pesan teks dan video yang masuk melalui aplikasi percakapan Whatsap pada petang 11 April 2022, datang bersamaan menjelang waktu berbuka puasa. Tragisnya, demonstrasi mahasiswa memantik kerusuhan dan penganiayaan brutal. Peristiwa itu ibarat push notification: api di dalam sekam masih membara! Pengeroyokan bukan peristiwa kriminal biasa. Tersirat motif kebencian di baliknya, yang riwayatnya dapat ditelusuri dengan cukup jelas bermuasal pada sejumlah momen perselisihan politik beberapa tahun sebelumnya”. (Kompas, 30/4/2022).
Kumandang suara kenabian bernada kekuatiran sangat penting diperhatikan dan di cerna, terutama semakin dekatnya kompetisi memperebutkan kekuasaan, Pemilu 2024. Kegamangan sangat valid karena pengalaman pilkada DKI 2017 merupakan kisah tragis mimbar mulia merayakan kedaulatan rakyat di koyak-koyak politik identitas yang mengobarkan kebencian. Tragedi sejenis berulang pada Pilpres 2019.
Banyak kalangan waswas Pemilu 2024, petaka sejenis terulang kembali. Terlebih ancaman populisme dan pasca kebenaran masih merejalela dan dijadikan senjata utama mereka yang lapar kuasa. Biasanya dua mashab terkutuk itu bersekutu dengan sentimen primordial memproduksi kehohongan yang mengggiring logika ke arah kebencian, sehingga masyarakat tercabik-cabik dan perkutuban semakin mengeras.
Para pemburu kekuasaan memanfaatkan rezim pasca kebenaran bukan sekedar membuat kebohongan diterima sebagai kebenaran, tetapi memperkeruh makna sehingga sulit membedakan antara kebenaran dan kepalsuan. Para petualang politik terus memuntahkan kebohongan dan setengah kebenaran.
Akibatnya,para pengikut menerima segala ucapan tokohnya sebagai kebenaran absolut. Ketika politik menjadi sangat terpolarisasi, sosok populis mendefinisikan perbedaan pendapat sebagai pembangkangan. Membiarkan bara libido kuasa membara, potensi kerusuhan sosial tidak mustahil menjadi kenyataan.
Tawuran politik sangat mudah meledak dan semakin menggerus demokrasi karena pola dan srtuktur kekuasaaan pasca reformasi disangga oleh kekuatan oligarki, pemilik modal, serta penetrasi berbagai jaringan mafia, mulai dari interes pribadi, kelompok sampai kepentingan ideologi. Meskipun konstitusi menegaskan kedaulatan rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi, tetapi dalil tersebut hanya sekedar macan kertas atau singa ompong.
Meredam bara kuasa bukan sekedar memilih pemimpin yang kuat. Resep tersebut hanya sementara dan menjebak negara dalam perangkap kedaruratan permanen. Menyeleksi pemimpin perlu cermat menelisik rekam jejak karakter dan kompetensi, bukan jejak rekam pencitraan serta akrobat kalimat yang di sulam dan jejalkan ke publik lewat medos. Demokrasi yang sehat, kelemahan negara bukan hanya dibebankan pemerintah; masyarakat sipil harus memberdayakan diri dan meningkatkan konsolidasi agar menjadi “teman berlatih” (sparring partners) negara, sehingga relasi mereka saling menguatkan. []
