J. Kristiadi
TRADISI perobahan tahun, selalu dirayakan dengan suasana gembira karena tahun baru menebar aura harapan hidup lebih baik di masa datang. Biasanya ekspektasi disertai resolusi, janji serius terhadap diri sendiri, tentang agenda penting tahun depan sesuai dengan estimasi tantangan yang akan di hadapi.
Dalam perspektif kehidupan berbangsa dan bernegara, salah satu agenda penting didepan mata tahun 2022 adalah Pemilu akbar 2024; agar festival demokrasi semakin mengukuhkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara. Target tersebut cukup berat, pertama, Pemilu 2024 diselenggarakan ditengah semakin merosotnya kredibilitas demokrasi. Banyak kajian mengenai isyu tersebut, khususnya prahara pandemic mengakibatkan sekat primordial masyarakat semakin menebal.
Kedua, regulasi Pemilu 2024 banyak mendapat kritikan masyarakat sipil karena disusun tanpa melibatkan komponen-komponen masyarakat secara intensif, sehingga regulasi melenceng dari pemikiran mendasar tentang makna Pemilu konkuren. Ketiga, semakin merebaknya politik uang yang bersumber penyalahgunaan kekuasaan politik menguras kekayaan negara. Korupsi sebagai kajahatan luar biasa telah menjadi bagian sitemik proses politik di Indonesia.
Pertanda zaman yang mengancam daulat rakyat adalah semakin merejalanya korupsi. Isyarat tersebut disuarakan tajuk Kompas 7 Desember 2021, berjudul “ Sinyal Keras Bahaya Korupsi”. Intinya, hasil survey Kompas dan Indikator Politik masyarakat menganggap korupsi semakin parah. Angka kuantitatifnya, 9 dari 10 orang kuatir tingkat percepatan eskalasi korupsi semakin sulit di kendalikan. Ironinya, penilaian masyarakat terhadap pemberantasan korupsi yang menyatakan baik atau buruk hampir sama proporsinya. Publik terbelah dua kategori menanggapi isu tersebut.
Makna terpenting, mereka yang menganggap pemberantasan korupsi sudah baik, rupanya mempunyai persepsi perilaku durhaka tersebut sebagai perbuatan normal. Anggapan tersebut merupakan resonansi persepsi sesat para elit politik yang menganggap korupsi perilaku patriotik, sejauh digunakan untuk kepenting politik kelompoknya. Mereka tega mengabaikan daya hancur korupsi yang berkarakter degenerative, mengakibatkan membusuknya lembaga negara, politik, dan pemerintahan; serta memporak perandakan rajutan moral kehidupan bersama.
Hasil jajak pendapat bukan hanya dicerna sekedar informasi statistik angka mati, karena di balik angka tersembunyi pertanda zaman yang berpengaruh perjalanan bangsa ke depan. Para elit politik diharapkan menyelami ruang batin masyarakat agar lebih peka terhadap pratanda zaman. Ilustrasi tumpulnya rasa mencecap tanda zaman adalah pemilu sebagai proses demokrasi dan membangun peradapan politik, tesesat menjadi sekedar ritual rutin yang menyesatkan. Pada hal dana yang dikeluarkan dari APBN cukup besar, bahkan kadang-kadang menelan korban jiwa yang jumlah signifikan,namun hasilnya oligarki semakin menguat.
Praktek demokrasi prosedural sekedar cangkang kekuasaan, mengakibatkan runtuhnya demokrasi. Fenomena tersebut tersebar mulai dari kawasan Amerika Latin, Eropa Timur, Asia dan lain sebagainya. Gejala tersebut membuktikan pergantian rejim demokrasi menjadi otoritarian tidak memerlukan moncong senjata, cukup melalui mekanisme prosedur demokrasi. Cara membunuh demokrasi dengan kekuatan militer sudah usang, demokrasi dewasa ini bergelimpangan bukan karena kudeta militer, melainkan dengan cara yang lemah lembut, tetapi akibatnya mengancurkan tatanan peradaban politik.
Gejala lain yang harus diperhatikan adalah dinamika geo-politik yang semakin memanas, terutama akibat persaingan antara AS dan Cina. Sialnya, kompetisi dua negara adidaya tersebut merembet negara-negara lain dan semakin dekat Indonesia. Kewaspadaan perlu ditingkatkan mengingat penggulingan kekuasaan tidak perlu kudeta militer, melainkan dengan memanfaatkan skema cangkang demokrasi prosedural. Buku Covert Regime Change, karya Lindsey O’Rourke, terbitan Cornell University yang disarikan oleh Kompas, 9/12/2021.
Buku tersebut mengkompilasi sejumlah negara yang digulingkan oleh AS dan sekutunya karena dianggap pengancam kepentingan nasionalnya, termasuk Indonesia. Dokumen CIA menyebutkan operasi mendukung PRRI/Permesta, sekitar tahun 1950-an adalah bagian operasi intelijen AS dan kawan-kawannya. Dana,antara lain,di salurkan melalui National Endowment for Democracy (NED). Misalnya, kucuran sekitar 60 juta dollar AS untuk promosi demokrasi di China dan Rusia eriode 2016-2019. Indonesia juga pernah menikmati dana sejenis,(Kompas, 9 Desmber 2021).
Alarm tersebut dapat menjadi isyarat pertanda zaman melakukan refleksi akhir tahun untuk meperbaruhi tekat semua komponen bangsa, terutama para elit politik agar lebih peka membaca tanda-tanda zaman, terutama petanda yang memberikan isyarat bagi kelangsungan bangsa dan negara. []