JAKARTA, WB – Berani, tegas, kritis dan blak-blakan itu lah gambaran dari sosok mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD yang sempat jadi komandan tim pemenangan Prabowo – Hatta. Dia menerima kekalahan kubunya, karena baginya politik itu tidak kasat mata.
Kiprahnya dalam dunia pemerintahan terbilang sukses ia adalah figur akademisi yang tercatat pernah menduduki posisi sebagai Menteri Pertahanan di era Presiden Abdurrahman Wahid, dan Menteri Hukum dan HAM di era pemerintahan Megawati Soekarnoputri.
Pria kelahiran Sampang, Madura, 13 Mei 1957 ini memang sudah dikenal sebagai seorang akademisi, pakar hukum dan juga politisi. Kariernya dalam dunia akademisi juga cemerlang. Ia pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) pada tahun 1984.
Tahun 1986-1988, Mahfud dipercaya memangku jabatan Sekretaris Jurusan HukumTata Negara FH UII, dan berlanjut dilantik menjadi Pembantu Dekan II Fakultas Hukum UII dari 1998-1990.
Berikutnya, Mahfud juga pernah menjabat sebagai Direktur Karyasiswa UII dari tahun 1991-1993. Pada 1994 UUI kemudian memilihnya lagi untuk menjadi Pembantu Rektor I untuk masa jabatan1994-1998. Mahfud juga sempat menjabat sebagai Direktur Pascasarjana UII pada 1998-2001. Puncaknya dalam dunia akademisi Mahfud dikukuhkan menjadi Guru Besar atau Profesor dalam bidang politik dan hukum tahun 2000.
Dalam hal politik, dan pemerintahan Mahfud adalah orang yang tersukses yang pernah menduduki trias politik di Indonesia yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. Di eksekutif Mahfud pernah menjabat sebagai seorang menteri di era pemerintahan Gus Dur dan Megawati. Di Legelatif, Mahfud terpilih menjadi anggota DPR RI periode 2004-2008 dan bertugas di Komisi III yang membidangi persoalan hukum dari Partai PKB. Namun, sejak 2008 Mahfud sempat dipindah ke Komisi I.
Disamping menjadi anggota legislatif, mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini juga pernah menjadi Anggota Tim Konsultan Ahli pada Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkumham). Terakhir di Yudikatif, Mahfud terpilih menjadi hakim konstitusi pada tahun 2008, melalui serangkaian proses uji kelayakan di Komisi III DPR.
Selanjutnya, pada pemilihan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) 19 Agustus 2008, Mahfud terpilih menjadi Ketua MK melalui sidang pleno yang dihadiri oleh sembilan hakim MK. Ia menggantikan ketua sebelumnya Jimly Asshiddiqie. Jabatan sebagai Ketua MK menjadi puncak ketenaran Mahfud. Namanya terus melambung tinggi saat dirinya mampu menyelesaikan kasus Cicak lawan Buaya (KPK Vs Polri).
Bahkan dengan karakternya yang blak-blakan, di masanya sebagai sebagai Ketua MK, Mahfud telah membuka pintu lebar-lebar kepada rakyat untuk memperkarakan produk hukum masa lalu yang dianggap tidak berpihak kepada masyarakat. Maka sejak itu lah sosok Mahfud lebih dikenal lagi oleh publik. Ia lalu masuk menjadi salah satu tokoh yang punya elektabilitas tinggi untuk dicalonkan sebagai presiden 2014.
Berani dan Bersih
Sebagai seorang politisi dan pakar hukum, Mahfud punya pandangan lain dalam hal kepemimpinan. Menurutnya, kepemimpinan nasional masih banyak yang terikat dengan budaya kepemimpinan Orde Baru. Sehingga proses reformasi, konsolidasi dari otoriter ke demokrasi berjalan terlalu lama.
“Teori umumnya perubahan dari otoriterisme ke demokrasi itu biasanya memerlukan paling lama dua kali pemilu. Nah, kita ini sudah empat kali Pemilu,” katanya.
Oleh sebab itu, kata Mahfud, faktor kepemimpinan sangat mempengaruhi menciptakan sebuah tatanan demokrasi yang pas untuk diterapkan di Indonesia. Yakni dengan berani menegakkan aturan-aturan agar sistem bisa berjalan.
“Sehingga dia bisa melakukan tindakan-tindakan, dan memastikan semua hukum bisa berjalan tanpa pandang bulu,” seraya sambil mengatakan, bahwa seorang pemimpin diberi kewenangan dan hak oleh konstitusi untuk melakukan hal itu.
Namun, lanjut Mahfud, berani saja tidak cukup seorang pemimpin harus berani tampil dengan bebas tekanan. Artinya selain harus jujur dan berani pemimpin juga harus bersih dari penyanderaan baik dari Parpol, kelompok maupun golongan. “Karena kalau orang tidak bersih, tidak mungkin dia punya keberanian atau kalau dia berani tapi tidak bersih itu tandanya nekat dan akan hancur dengan sendirinya,”
Gaya kepemimpinan Mahfud memang sudah kelihatan sejak menjadi Ketua MK, dimana dia ingin menunjukan dirinya sebagai pemimpin yang tidak mau didikte atau disandera oleh kekuasaan sekalipun itu presiden, menteri maupun anggota DPR. Ia selalu berbicara apa adanya. Ia tidak takut mengkritik sikap dan tindakan pejabat tinggi negara yang juga koleganya.
Sikap itu, diakui Mahfud didapatkan dari ajaran gurunya Gus Dur. “Saya selalu diajari oleh Gus Dur, kalau anda ingin berani, anda harus takut pada ketakutan. Artinya, jangan takut sama siapapun karena sebenarnya yang paling menakutkan dalam hidupmu adalah takut melawan ketakutanmu sendiri,” ujarnya.
“Kalau kamu nanya ko Mahfud sering bicara blak-blakan kritik sana kritik sini. Jawabnya, saya ingin merubah kebudayaan lama para pejabat. Jaman dulu seorang pejabat dibiasakan tidak boleh mengkritik atau mengomentari kesalahan pejabat lain. Kalau sekarang budaya seperti itu mestinya dihilangkan, karena akan menjadi api dalam sekam. Misalnya sekarang ada pejabat korupsi kita semua diam-diam kan nggak baik. Oleh sebab itu, saya katakan buang jauh-jauh sikap kita yang rikuh untuk mengkritik para pejabat,” jelasnya.
Ia sendiri, merasa terbuka untuk dikritik asalkan kritik yang dilemparkan sifatnya membangun bukan untuk mencaci, mengejek apa lagi memfitnah. “Silahkan, saya dikritik juga silahkan. Saya gak pernah marah, saya senang tidak pernah ada hati yang luka, yang penting tujuannya untuk membangun bangsa dan negara,” terangnya.
Menanggapi kekalahannya dalam pemilu presiden 2014. Mahfud menyadari bahwa itu adalah kenyataan politik yang harus ia hadapi dimana dalam akhir pertarungan pasti ada yang kalah dan yang menang. Ia merasa tidak menyesal Berseberangan dengan partainya PKB untuk mendukung pasangan Prabowo Subianto – Hatta Rajasa.
Bagi Mahfud, seorang politisi harus berani mengambil keputusan. Dan setiap keputusan yang diambil pasti ada yang mendukung ada juga yang tidak mendukung atau tidak senang. ”Ya itu lah politik kadang kebenarannya tidak bisa diliat secara kasat mata tidak seperti hukum, hasilnya harus kita terima,” katanya.
Kini saat pesta demokrasi lima tahunan sudah selesai. Mahfud tetap ingin kembali menjadi seorang pengajar. Ia sudah terbiasa dengan dunia akademisi. Sebab dari awal karier, Mahfud memang berkeinginan menjadi pengajar, jiwa yang dimilikinya adalah jiwa pengajar hal itu sudah terlihat sejak Mahfud kecil. Ia bercita-cita ingin menjadi guru ngaji. Setelah kuliah ingin menjadi dosen karena ia senang dengan dosen yang kreatif, suka berdebat dan memiliki wawasan yang tinggi.
Filosofi hidupnya, ia ingin menjadi air yang mengalir tapi tidak ingin menjadi buihnya. “Karena buih tidak punya kemandirian, dia hanya diombang-ambingkan oleh air yang mengalir sehingga kalau dia berbelok dia terlempar, ya kalau dia beloknya pelan, tapi kalau beloknya curam buih tetap terlempar. Jadi nikmati saja hidup ini seperti air yang mengalir,”tuturnya. []