Oleh : *Wina Armada Sukardi
Sebuah kiriman bunga indah datang ke rumah saya. Pengirimannya: Redaksi Suara Karya dan Hardo Sukoyo, redaktur budaya harian tersebut. Sebuah karangan bunga yang cantik.
Malam sebelumnya saya baru saja dinyatakan sebagai “kritikus film” terbaik dan memperoleh Piala Mitra di Festival Film Indonesia. Itulah Piala pertama saya di ajang FFI.
Atas bantuan Hardo Sukoyo tulisan saya dimuat di harian Suara Karya. Itulah sebabnya redaksi Suara Karya bersuka cita dan mengirim bunga kepada saya. Tentu semua itu atas inisiatif Hardo.
Selalu Membantu Teman
Dari peristiwa itu saya ingin menggarisbawahi, Hardo adalah seorang wartawan yang selalu membantu temannya dan memberikan apresiasi kepada prestasi temannya. Bunga itu salah satu buktinya.
Saya menjadi wartawan di alkir-akhir kuliah saya di Fakultas Hukum UI. Kala itu saya baru mulai pula terjun ke bidang perfilman belum lama berkawan dengan Hardo. Sekitar tiga tahunan. Saya, antara lain, sudah bekerja di majalah berita mingguan FOKUS.
Waktu itu untuk opini pribadi, saya diperbolehlan menulis di media manapun. Makanya, kendati saya bekerja di majalah FOKUS, saya menulis opini di hampir semua media di Jakarta, mulai dari Kompas, Sinar Harapan, Majalah Gadis dan sebagainya, termasuk di harian Suara Karya.
Sejak itu saya terus bersahabat dengan Hardo. Sebagai kawan, Hardo senantiasa memberikan kesempatan kepada saya jika ada peluang untuk menambah pengetahuan atau pengalaman. Dia, misalnya, selalu mengajak saya untuk ikut pelatihan buat wartawan film.
Bung Hardo, demikian saya memanggilnya, memang lebih tua beberapa tahun dari saya, dan lebih dahulu menjadi pengurus Sie Film, Seni dan Budaya di PWI Jaya. Waktu itu PWI masih menjadi satu-satunya organisasi wartawan, sehingga sangat powerfull.
Kala itulah PWI Sie film mengadakan perbagai pendidikan dan pelatihan buat wartawan termasuk wartawan film, musik dan seni lain. Disinilah Hardo mendorong saya untuk mengikuti semua pendidikan.
Sebagai sahabat yang lebih senior, Hardo tetap rendah hati. Setidaknya kepada saya. Hardo tidak pernah merasa harus malu untuk bertanya dan belajar mengenai soal ilmu-ilmu sosial dan teori sosiologi film dari saya. Dia tahu sebagai lulusan fakultas hukum UI, saya mendalam mempelajari sosiologi. Kemudian ditambah juga dengan sosiologi film.
“Wina kan anak sekolahan,” ujar Hardo setengah “meledek “ saya sekaligus memberi pujian dan menunjukkan saya layak sebagai sumber rujukan dirinya.
Tak Malu Bertanya
Sedemikian semangatnya dia mau belajar dari saya, sampai Hardo sering bertanya sedemikian detail.
Hardo juga tak segan meminta saya menerangkan beberapa kalimat dalam tulisan saya. Tak sampai itu, jika dia pandang perlu, Hardo pun meminta kalimat itu dapat dia kutip dalam tulisannya. Saya tentu saja dengan senang hati mengizinkannya.
Kritikus Film Dokumenter
Berkat ketekunannya belajar, akhirnya Hardo dua kali meraih kritikus terbaik FFI khusus untuk film dokumenter. Terakhir dia ikut pada lomba kritik film yang diselenggarakan oleh Pusat Pengembangan (Pusbang) Perfilman Kemendikbud, empat tahun silam dengan ketua panitia saya.
Sebagai salah satu “embahnya” wartawan film, dia tidak merasa malu dan rendah diri ikut lomba kritik film yang peserta sebagian besar anak muda. Padahal jurinya “maut-maut.” Ada sutradara akademisi Nurman Hakim. Ada budayawan hebat, Remy Sylado dan sebagainya. Ternyata Hardo keluar sebagai pemenang.
Saya pun beberapa kali menjadi Juri di FFI bersama Hardo. Sebagai anggota Juri dia selalu bersikap fleksibel, dalam arti mempunyai argumentasi sendiri yang tegas, tetapi tetap mau mendengar pendapat orang lain. Hardo pun bersedia mengadopsi pendapat juri lain jika setelah melalui musyawarah Dewan Juri mufakat untuk menyetujui pendapat yang berlainan dengannya.
Pencetus AFI
Di dunia wartawan perfilman, Hardo dikenal memiliki beberapa gagasan cemerlang. Salah itunya dialah yang mencetuskan AFI atau Apresiasi Film Indonesia. Gagasan ini muncul setelah FFI dianggap sebagain ajang kompetensi murni. AFI dicetuskan sebagai alternatif dari FFI.
Dalam AFI penghargaan diberikan lebih kepada pendekatan apresiasi, bukan kompetisi murni. AFI pun beberapa kali diselenggarakan. Namun kemudian karena dirasa ada yang ganda dan bersinggungan dengan FFI, AFI pun dihentikan.
Belakangan AFI ingin dihidupkan kembali. Namun beberapa kalangan film berkeberatan. Dimotori oleh Gunawan Pagaru, yang waktu itu belum menjadi ketua BPI, dalam berbagai diskusi soal ini, mereka menilai tidak boleh ada perbedaan seperti itu antara AFI dengan FFI.
Pagaru bersikeras AFI tidak kayak dihidupkan kembali. Saya yang membantu Hardo soal ini, tak mau Pusbang Film menghadapi dilema. Maka gagasan mereborn kembali AFI pun tak jadi.
Ciri Khas Vespa
Hardo muda terkenal ganteng di antara para wartawan. Naik kendaraan Vespa kemana-mana, kala itu Hardo nampak menonjol secara fisik. Banyak kaum hawa yang jatuh hati padanya. Maklumlah tubuhnya tinggi besar dengan wajah yang saat itu menarik.
Kendati sangat senior, tapi Hardo tak pernah jumawa. Dia mau bergaul dengan siapa saja secara setara.
Sewaktu saya menjadi anggota Dewan Pers dan menggagas berlakunya Standar Konpetensi Wartawan (SKW) salah satu aturannya: wartawan yang sudah punya reputasi (nasional atau internasional) dan sudah berusia 50 tahun ke atas, untuk priode tertentu, dapat diberikan langsung jenjang kompetensi wartawan utama. Contohnya Fikri Jufri, Jacob Otama, Sabam Siagian dan sebagainya.
Seharusnya Hardo Sukoyo termasuk dalam kelompok ini. Namun saya khilaf melupakan namanya. Kekhawatiran saya melakukan KKN dalam menunjuk wartawan senior yang dapat langsung memperoleh kompetensi utama, membuat saya khilaf terhadap nama Hardo. Sesuatu yang saya sesalkan.
Walhasil, Hardo luput memegang kompetensi wartawan utama. Ketika dia mau memangku jabatan pemimpin redaksi sebuah penerbitan milik Rudy Sanyoto, Hardo diminta mengurus kompetensi itu.
Hardo menghubungi saya. Saya langsung menghubungi ketua umum PWI yang saat itu dijabat oleh Atal Depari. Kebetulan dulu Atal junior Hardo di harin Suara Karya. Rupanya usul PWI untuk menetapkan Hardo Sukoyo menjadi pemegang kartu wartawan utama melalui jalur khusus mengalami kendala.
Saya cek di lapangan, dari pihak PWI menerangkan ada problem di Dewan Pers. Sedangkan dari pihak Dewan Pers mengaku, ada syarat-syarat yang belum dipenuhi PWI.
Belum jelas soal ini, Hardo sudah keburu sakit parah. Seminggu kemudian wartawan senior yang rendah hati ini meninggal dunia.
Hardo lahir di Jogjakarta 5 November 1947. Dia menghembuskan nafas terakhir Jumat, 17 November 2023 di RS Duren Sawit pukul 10.45.
Selamat menghadap Sang Khalik sahabatku Hardo….*
*Penulis adalah wartawan senior film, seni dan budaya