Oleh : Christianto Wibisono
HARI ini Selasa 7 April saya menerima kabar wafatnya Kemal Surianegara, lahir 7 Juli 1956 di Paris, putra ex Dubes Ilen Surianegara dan ipar Bung Eros DJarot dengan kegiatan publik cemerlang meski tidak masuk kabinet.
Pada kesempatan unik ini saya ingin mengucapkan selamat jalan kepada Bung Kemal dan Mas Daniel Dhakidae serta penyair Umbu Landu Paranggi yang berturut wafat dalam minggu Paskah merangkap Qeng Meng kalender Imlek 4 April 2021.
Saya juga ingin menyampaikan selamat menikah pada mempelai keluarga politisi Krisdayanti yang di polemik-kan karena “oposisi” ada yang subyektif menilai acara itu adalah acara private yang di go public kan.
Kehadiran Negara, dihebohkan kenapa Negara hadir dalam acara private Kris Dayanti, Atta Halilintar dan mempelainya. Tidak tanggung tangung yang hadir presiden dan ibu negara, Ketua MPR dan Menhan.
Saya hari ini menyampaikan terima kasih atas perkenan Mas Jaya Suprana, pendiri MURI yang memberikan penghargaan kepada PDBI dan saya pribadi untuk serial karangan Wawancara Imajiner dengan Bung Karno sejak buku pertama saya dibreidel yang terbit 1977.
Secara telepati dan tepat timing, memang saya berulang tahun ke 76 tanggal 10 April, lebih senior 129 hari dari NKRI.
Saya bersyukur Pak Jaya Suprana mengapresiasi WIBK begitu antusias bahkan menghadirkan salah satu top intelektual Indonesia, Bung Yudi Latief, mantan Kepala BPIP untuk membedah buku saya Kencan Dinasti Menteng (KDM).
Cetakan pertama buku ini 2000 exp telah habis terjual pada Januari 2021 dan mulai minggu ini cetakan kedua beredar dan sudah terpesan 2000 exp.Memang tidak dijual di mal toko buku menghindari kerumuan antrian pembeli.
Dengan kejadian dan peristiwa elementer kelahiran, pernikahan, dan kewafatan orang private menjadi perhatian dan polemik publik saya merasa urgensi untuk mengakui “kelemahan dan kekurangan” buku KDM.
Karena PDBI dan saya secara “prioritas” memang hanya mengidentifikasi menteri anggota kabinet sebagai anggao Dinasti Menteng yang “berhak” memperoleh NIM (Nomor Induk Menteri) dari Bung Karno sebagai Presiden pertama NIM 001 hingga Jendral Listyo Sigit Pramono NIM 749.
Tapi NIM dan Dinasti Menteng itu hanya dibatasi orang Indonesia yang pernah diangkat jadi menteri kabinet. Namun dialam demokrasi dan pasca feodalisme maka kriteria jabatan menteri sebagai satu satunya “syarat” masuk elite suatu nation state jadi “sempit”.
Sebab ternyata banyak orang dengan kaliber ketokohan non “menteri kabinet” juga bisa melejit bahkan menjadi tokoh panutan teladan dengan kinerja dan pencapaian luarbiasa yang melebihi “ratusan” menteri kabinet yang hanya “masuk” kabinet karena “berdarah biru” berkerabat dengan sesama menteri kabinet.
Memang ditemukan hanya 87 orang yang ber-kekrabatan dari 31 keluarga memperoleh NIM Dinasti Menteng. Itu 11,62% dari total 749 menteri kabinet. Suprana memicu PDBI dan saya untuk memperluas kriteria Dinasti Menteng, bukan hanya menteri kabinet tapi juga intelektual non birokrat, tokoh LSM dan profesi awam, Tapi ini tentu melipatgandakan populasi elite yang layak masuk kriteria Dinasti Menteng Non Kabinet. Tentu juga akan menambah polemikc tentang Negara Predator vs Negara Protokol.
Di zaman Orde Baru, Presiden Soeharto melembagakan secara “nasional”prinsip jotakan secara konsisten dan konsekuan. Saking “bencinya” kepada Petisi 50 (AH Nasution – Ali Sadikin dkk) maka paspampres mengeluarkan SOP (Standard Operating Procedure) bahwa Presiden tidak akan menghadiri suatu acara dari 3 acara mutlak terpenting dalam hidup manusia yaitu lahir, nikah dan wafat.
Negara menjadi predator yang membunuh secara perdata lawan politik Petisi 50. Itu adalah puncak absurditas Orde Baru yang syukur sudah dikoreksi mediasi Habibie mendamaikan Soeharto – Nasution – Sadikin. Sekarang dialam demokrasi, Presiden Jokowi ingin akrab dengan semua kalangan secara non diskriminatif.
Tapi memang perubahan Negara Predator menjadi Negara Promotor dengan adanya force majeur pandemic Covid memberlakukan protokel ketat. Bahwa Negara tetap hadir pada pernikahan seorang you tuber kondang cukup “bermakna publik” apalagi karena ibunda mempelai adalah eselon 1 partai penguasa de fakto.
Dengan polemik Negara Hadir dalam pernikah elite non kabinet, maka kriteria elite oligarki Indonesia harus diperluas dari sekedar elite menteri kabinet, menjadi elite pimpinan legislatif, korps duta besar RI, cendekiawan, pakar, professional, atlet, selebritis.
Dalam kaitan ini saya melakukan pendekatan “efisiensi nasional’ mengintegrasikan ultah saya (yang private) dalam rangkaian acara “public” yang urgent dan bermanfaat bagi masyarakat Indonesia.
Tahun 2021 ini adalah unik karena lahirnya 3 lembaga : Majalah Tempo, CSIS Jakarta dan WEF Davos yang survive melampaui setengah abad. Buku KDM yang dibedah hari Jumat 9 April akan diperluas kriterinya dengan masuknya tokoh sekelas keluarga Ilen Surianegara untuk KDM edisi ke-3 tahun depan.
Mungkin dibatasi dulu hanya untuk dutabesar, gubernur dan pimpinan Lembaga negara. Sedang untuk selebrities pasti memerlukan kriteria lebih peka subyektivitas karena belum ada Nobel Indonesia.
Terima kasih kepada Menteri Kabinet, CEO korporate dan sahabat yang telah membaca buku KDM. Setiap komentar dan kritik untuk menyempurnakan isi edisi berikutnya tentu akan memperkaya informasi publik tentang elite Indonesia. Terutama agar tidak melaukan blunder “gol bunuh diri” pada injury time penganugerahan hadiah Nobel seperti diuraikan di buku KDM. Selamat mendalami sejarah dengan suka cita.
Buku KDM ini merupakan upaya pembelajaran sejarah yang Educating, Enchanting dan Enllightenig 3in1 simultan dan bermanfaat bagi publik lintas generasi. []
Penulis adalah adalah seorang analis bisnis terkemuka di Indonesia. Ia adalah pendiri Pusat Data Bisnis Indonesia 1980. Awal kariernya adalah menjadi penulis di suratkabar yang diterbitkan oleh Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia bernama Harian KAMI yang terbit perdana 18 Juni 1966.
Penulis juga sebagai anggota Dewan Pakar SOKSI. Karya terbarunya adalah buku Kencan Dinasti Menteng (KDM. Cetakan kedua diluncurkan Jumat 9 April 2021.