WARTABUANA – Irfan Idham, penasihat hukum mantan Bupati Tanah Bumbu, Kalimatan Selatan, Mardani H Maming memastikan tidak ada fakta persidangan yang menunjukkan bahwa kliennya menerima suap dalam penerbitan surat keputusan pengalihan izin tambang pada 2011.
“Jelas, selama proses persidangan, terdakwa bekas Kepala Dinas Pertambangan dan Energi menyatakan Pak Mardani tidak menerima sepeser pun dari dugaan suap 27,6 miliar rupiah yang diterima Kepada Dinas,” kata Irfan dalam pernyataannya di Jakarta, Kamis 16 Juni 2022.
Pernyataan tersebut merespons proses persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banjarmasin dengan terdakwa Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Tanah Bumbu, Dwidjono Putrohadi Sutopo.
Dwidjono didakwa menerima suap 27,6 miliar dari Direktur Utama PT Prolindo Cipta Nusantara (PT PCN), Henry Soetio (almarhum). Suap berhubungan dengan pengalihan izin tambang dari PT Bangun Karya Pratama Lestari (PT BKPL) kepada PT PCN pada Mei 2011 melalui surat keputusan bupati yang diteken Mardani.
Persidangan di Tipikor Banjarmasin yang dimulai sejak Januari 2022 telah memasuki nota pembelaan terdakwa dan diperkirakan akan diputus oleh majelis hakim pada akhir Juni 2022. Mardani sendiri telah bersaksi di persidangan. “Pak Mardani sudah pas menjadi saksi karena memang tidak ada bukti yang menunjukkan dia menerima suap atau gratifikasi,” kata Irfan.
Selama persidangan, tim penasihat hukum Dwidjono terus berupaya menyeret nama Mardani ke dalam pusaran perkara suap ini meskipun kesaksian Dwidjono membantah ada aliran uang suap ke Mardani.
Dalam persidangan pada 13 Mei 2022, saksi meringankan bagi Dwidjono, Christian Soetio (adik Henry Soetio yang menggantikan posisi kakaknya sebagai Direktur Utama PT PCN) mengatakan dia mengetahui secara tidak langsung adanya aliran dana dari PT PCN kepada Mardani melalui PT Permata Abadi Raya (PT PAR) dan PT Trans Surya Perkasa (PT TSP) selama periode 2014 hingga 2020 sebesar 89 miliar rupiah.
Irfan mengatakan kesaksian Christian sama sekali tidak membuktikan bahwa kliennya menerima suap atau gratifikasi dari PT PCN. Mardani, menurutnya, bukan pemegang saham dan pengurus PT PAR dan PT TSP meskipun kedua perusahaan tersebut terafiliasi dengan usaha keluarga Bendahara Umum PBNU itu di Tanah Bumbu.
Lebih daripada itu, transfer 89 miliar rupiah itu justru merupakan pembayaran utang PT PCN kepada PT PAR dan PT TSP terkait hubungan bisnis perusahaan-perusahaan itu dalam pengelolaan pelabuhan batubara di Tanah Bumbu. Bahkan, PT PCN hingga kini belum melunasi seluruh utangnya kepada PT PAR dan PT TSP hingga PT PCN memohon Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada akhir 2021.
“Mana mungkin pihak yang dituduh menerima suap atau gratifikasi terang-terangan meminta pembayaran semua itu dalam perkara PKPU di pengadilan,” ujar Irfan. “Jadi, urusan PT PCN dengan PT PAR dan PT TSP sepenuhnya bisnis yang tidak terkait dengan kedudukan Pak Mardani sebagai bupati saat itu,” ungkap Irfan.
Belakangan, pihak Dwidjono kini menuding Mardani menerima 51,3 miliar rupiah dari perusahaan tambang barubara milik Dwidjono sendiri, PT Borneo Mandiri Prima Energy (PT BMPE). Dalam nota pembelaan yang dia sampaikan di persidangan pada 13 Juni 2022, Dwidjono menyebut lima perusahaan yang terafiliasi dengan usaha keluarga Mardani menerima share total 170.000 metrik ton dari total produksi barubara PT BMPE atau senilai 51,3 miliar rupiah.
Irfan sekali lagi menegaskan semua itu urusan bisnis di antara perusahaan-perusahaan itu. “Tuduhan terdakwa kepada Pak Mardani makin tidak jelas dan berubah-ubah, seperti dicari-cari” katanya.
Menurut Irfan, posisi Mardani dalam kasus korupsi terkait penerbitan surat keputusan pengalihan izin tambang dengan terdakwa Dwidjono sangat jelas.
“Klien saya tidak menerima suap dan gratifikasi dalam bentuk apa pun. Lalu dia menandatangani surat keputusan setelah mengecek rekomendasi kepala dinas, paraf sekretaris daerah, paraf kepala bagian hukum, paraf dua asisten, dan surat keputusan itu pun telah mendapatkan clear and clean dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral,” papar Irfan.
Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Airlangga, Surabaya, Nur Basuki Minarno berpendapat sepanjang tidak ditemukan adanya fakta bahwa Mardani telah menerima uang dari Henry Soetio, PT PCN, atau Dwidjono, maka Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) itu tidak bisa dijerat dengan pasal korupsi.
“Turut serta melakukan perbuatan melawan hukum mensyaratkan adanya persamaan niat dari masing-masing pelaku, sehingga untuk dapat menentukan apakah Bupati Tanah Bumbu telah turut serta melakukan korupsi dalam proses pengalihan izin tambang atau tidak, dapat dilihat dari ada tidaknya penerimaan uang oleh Bupati,” katanya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai ikut menyelidiki kasus yang sama setelah menerima laporan dari tim penasihat hukum Dwidjono. Pada 2 Juni 2022, Mardani memenuhi panggilan KPK sebagai saksi. “Sebagai warga negara saya menghadiri pemeriksaan KPK sebagai saksi, tapi permasalahan di sini adalah antara saya dengan Syamsudin Arsyad atau Haji Isam,” kata Mardani yang berjanji akan mengungkap lebih jauh pernyataan itu. []