Oleh : J Kristiadi
BERBAGAI peristiwa politik mondial, regional, dan nasional, apabila dinarasikan, untuk menggambarkan keseluruhan kejadian tahun 2016 adalah tahun malapetaka politik (/annus horribilis/). Berbagai macam ungkapan satir dan kecemasan untuk mengekspresikan tragedi politik tahun lalu. Misalnya, kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden di Amerika Serikat, dilakukan dengan memelesetkan lagu sangat populer dari The Bee Gees tahun 1960-an bait pertama, ”/I started a joke, which started the whole world crying/” menjadi ”/Trump started a joke which started the whole world crying/” (Julia Suryakusuma, /The Jakarta Post/, 16 November 2016).
Sementara itu, pada tataran domestik, kegalauan politik Indonesia tak hanya dirasakan warga Indonesia. Kecemasan juga merambat ke tataran mondial sebagaimana diungkapkan dalam kolom Banyan, /The Politics ofTaking Offence/. Dalam menutup kolomnya, majalah bergengsi yang sudah terbit sejak 1843 itu mengkhawatirkan pemilihan gubernur DKI Jakarta mempunyai risiko konflik komunal berdarah, seperti terjadi dua decade sebelumnya. Maksudnya, peristiwa Mei 1998 (/The Economist/, 24 Desember2016).
Namun, di balik pekatnya langit politik Indonesia, sebenarnya memancarkan juga sinar terang yang tidak hanya mampu mengusir kegelapan, tetapi bahkan dapat menjadikan tahun 2017 sebagai /annus mirabilis/. Tahun yang penuh harapan, sukacita, dan berkah yang melimpah.
Mengapa? Karena, justru dalam kegelapan bangsa Indonesia dapat melihat dengan terang benderang rajutan silang-menyilang realitas politik yang menjadi tantangan untuk menyusun agenda prioritas menyongsong kejayaan bangsa. Kegelapan telah membongkar realitas politik yang mencerahkan.
Pencerahan paling penting adalah menyadarkan bangsa Indonesia tentang merebaknya fenomena neonasionalisme atau nasionalisme eksklusif yang mengancam proses demokrasi. Hal itu karena nasionalisme tersebut merupakan adonan berbagai macam unsur suku, agama, ras, sejarah, budaya, kepercayaan, mitos kedigdayaan nenek moyang, dan lain sebagainya.
Gejala tersebut perlu dicermati dinamikanya karena berdasarkan studi yang dilakukan Jack Snyder (/Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah: Demokratisasi dan Konflik Nasionalis/, 2003), nasionalisme eksklusif seperti itu dapat dijadikan senjata para elite politik yang terganggu kenyamanannya karena perkembangan demokrasi. Mereka yang terancam kepentingannya, mengatasnamakan rakyat, mengobarkan semangat nasionalisme sempit untuk menggalang kekuatan massa dan melumpuhkan kekuatan masyarakat sipil.
Keberhasilan mereka juga didukung oleh kekuatan modal yang dapat mendominasi media. Akibatnya, bursa gagasan sarat kepentingan elite karena hanya dipasok oleh kepentingan subyektif. Wacana publik yang tidak merawat kewarasan, diskursus publik justru akan melemahkan kekuatan masyarakat sipil (/civil society/).
Elite manfaatkan populisme
Para elite politik menggiring rakyat untuk loyal kepada institusi primordial yang mengakibatkan segregasi sosial, bukan kepada nilai-nilai dan lembaga politik yang inklusif yang menjanjikan kemakmuran, kesetaraan, serta keadilan bersama. Beberapa negara yang terancam proses demokrasinya karena mobilisasi nasionalisme eksklusif antara lain di negara-negara Balkan (Romania, Bulgaria, dan Albania), Kaukasus (Armenia, Georgia, dan Azerbaijan), serta Baltik (Estonia, Latvia, dan Lituania).
Dalam konteks kekinian, fenomena tersebut menjadi sangat signifikan pengaruhnya karena munculnya semangat populisme yang antara lain disebabkan merosotnya kepercayaan publik terhadap manfaat globalisasi serta pasar bebas. Lembaga-lembaga politik, terutama partai politik sebagai lembaga yang menghubungkan rakyat dengan negara, dianggap mubazir karena kebijakan negara dirasakan kurang menyentuh rakyat bawah dan pinggiran. Fenomena populisme menjadi semakin mudah dimanfaatkan oleh elite politik karena kecanggihan teknologi digital yang antara lain melahirkan media sosial.
Pencermatan tersebut tampaknya cocok untuk meneropong lanskap politik Indonesia 2016 serta proyeksi ke tahun berikutnya. Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla mengalami ujian berat menghadapi gerakan massa yang terkontaminasi oleh semangat neonasionalisme yang eksklusif. Bukan rahasia lagi konsistensi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla menerapkan prinsip- prinsip pengelolaan negara yang baik, terutama dalam memberantas korupsi, telah menggoyahkan kenyamanan dan kemapanan elite politik tertentu menikmati hasil korupsi. Mereka antara lain mengobarkan spirit eksklusif serta mempergunakan ”kartu komunalisme” untuk membangun basis massa guna mempertahankan imperium politiknya.
Namun, jurus tersebut tidak mempan. Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla didera berbagai isu bohong dan ujaran kebencian, tetapi survei yang dilakukan SMRC (22-28 November 2016) menegaskan bahwa persepsi public terhadap arah perkembangan bangsa telah benar. Presiden mempunyai tingkat legitimasi politik yang tinggi, kinerja positif, rakyat percaya dan menaruh harapan besar kepada pemerintahan sekarang ini. Karena itu, meski kinerjanya belum memuaskan, rakyat masih memberikan kepercayaan.
Maka, tahun 2017 harus dirayakan sebagai /annus mirabilis/, tahun penuh harapan. Karena, pemerintah akan terus bekerja keras, hukum ditegakkan, silaturahim antartokoh masyarakat, terutama dengan para ulama, harus dilanjutkan. Bangsa Indonesia harus percaya diri karena sekarang ini dipimpin oleh presiden dan wakil presiden yang otentik dan bekerja untuk rakyat, bukan sosok yang santun dan penuh basa-basi sekadar membungkus kepalsuan demi kekuasaan.[]
Pernah dipublikasikan di KOMPAS Selasa, 03-01-2017.