Oleh : J Kristiadi
HAMPIR semua jajak pendapat menunjukkan koalisi Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla adalah pasangan yang paling unggul. Bahkan, pasangan ini kemungkinan besar dapat menang hanya dalam satu kali putaran.
Namun, ironisnya, justru semakin dekat dengan batas waktu mulainya pendaftaran calon presiden, awal Mei 2009, koalisi SBY-JK semakin kedodoran.
Gejala retaknya koalisi sudah mulai dirasakan pada kampanye pemilu legislatif. Misalnya pernyataan salah seorang petinggi Partai Demokrat yang menyatakan kalau perolehan Partai Golkar hanya 2,5 persen, merapatnya Jusuf Kalla ke beberapa parpol, tema kampanye yang menyengat: lebih cepat lebih baik; dan sebagainya.
Namun, mungkin karena kubu SBY belum memperoleh kemenangan yang meyakinkan, mereka mencoba menahan diri untuk tidak membuat respons yang agresif.
Setelah kemenangan Demokrat sangat meyakinkan, dan bahkan berbagai survei menyatakan SBY dipasangkan dengan siapa saja akan menang, kubu SBY mulai melancarkan pernyataan-pernyataan yang merelatifir koalisi SBY-JK. Misalnya, salah satu anggota Tim Sembilan menyatakan calon wakil presiden yang mendampingi SBY bukan dari ketua umum parpol. Tokoh lain menyatakan sebaiknya Golkar tidak hanya mengajukan calon wakil presiden tunggal agar SBY mempunyai pilihan. Pesannya sangat jelas, kalaupun kubu SBY menginginkan calon wakil presiden dari Partai Golkar, Jusuf Kalla bukan satu-satunya pilihan.
Kemenangan Demokrat yang meyakinkan justru telah memisahkan persenyawaan kimiawi SBY-JK yang selama ini dicoba untuk dipertahankan. Hal ini dipertegas lagi dengan lima kriteria yang disampaikan SBY, meskipun bersifat umum, tetapi dapat mengeliminasi Jusuf Kalla.
Peran Diperkecil
Tampaknya, kubu SBY akan menempatkanwakil presiden 2009-2014 tidak sebesar peran wakil presiden 2004-2009. Alasannya, pada Pemilu 2004, perolehan suara Demokrat hanya sekitar 7 persen, jauh di bawah perolehan Partai Golkar yang mencapai lebih dari 20 persen. Sebaliknya, pada Pemilu 2009, perolehan Partai Demokrat 20 persen, sementara Partai Golkar hanya sekitar 14 persen.
SBY tentunya merasa mempunyai hak moral untuk lebih menentukan peran apa yang akan diberikan kepada calon wakil presiden. Jalan pikiran SBY mungkin juga berkaitan dengan upaya membentuk pemerintahan yang efektif, selain didukung oleh parlemen yang kuat, juga tidak ada matahari kembar dalam tubuh pemerintah.
Dinamika kompetisi politik telah menempatkan Partai Golkar di persimpangan jalan: tetap berkoalisi dengan Demokrat dengan posisi tawar yang lebih rendah atau berkoalisi dengan parpol lain (PDI-P) misalnya, mengusung Jusuf Kalla menjadi calon presiden.
Namun, jalan apa pun yang ditempuh, Partai Golkar harus menjaga martabatnya. Golkar boleh kehilangan jumlah suara, elektabilitas ketua umumnya rendah, dana semakin terbatas, tetapi harga diri tidak boleh dikorbankan.
Oleh sebab itu, sebelum rapimnas khusus yang akan digelar tanggal 23 April 2009, Partai Golkar harus menentukan satu dari dua pilihan sebagai berikut. Pertama, koalisi SBY-JK berlanjut apabila didasarkan pada kesepakatan untuk membangun pemerintahan yang efektif serta platform politik yang jelas, yang intinya upaya keras meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Proses koalisi perlu dijaga agar tidak menimbulkan persepsi bahwa Partai Golkar terlalu mengalah dan mengorbankan martabatnya, terutama menerima tekanan yang berkaitan dengan kampanye pemilu legislatif yang mungkin menyinggung perasaan para petinggi Demokrat, khususnya SBY.
Kedua, Golkar harus mengusung Jusuf Kalla menjadi calon presiden kalau tuntutan kubu SBY dianggap telah melampaui batas kepatutan. Koalisi dilakukan dengan PDI-P dengan asumsi PDI-P tidak mengajukan calon presiden mengingat perolehannya jauh di bawah target yang mereka tentukan. Memaksakan Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden merupakan pilihan yang kurang bijak, sebab kemenangan belum terjamin. Kekalahan dua kali akan sangat memalukan.
Oleh karena itu, pilih tokoh pilihan PDI-P yang dapat mendampingi Jusuf Kalla. Koalisi Golkar dan PDI-P belum tentu menang, tetapi alternatif ini adalah pilihan yang bermartabat. Kalaupun kalah, koalisi ini dapat menjadi oposisi yang konstruktif. Perlu dicatat, oposisi bukan berarti pecundang dan tidak kalah terhormatnya dengan pemerintah.
Sementara itu, sebaiknya kubu SBY jangan terlalu percaya diri. Pengalaman menarik yang patut dijadikan pelajaran adalah sebagai berikut. Pemilu Legislatif 1999 dimenangi PDI-P, tetapi presiden bukan Megawati. Pemilu 2004 dimenangi Partai Golkar, tetapi presiden bukan dari Golkar. PKS memenangi Pemilu Legislatif 2004 di DKI, tetapi gubernurnya bukan dari PKS.
Siapa yang dapat memastikan kemenangan Partai Demokrat dalam Pemilu Legislatif 2009 akan menjamin pula SBY menang dalam pemilu presiden? Hanya Tuhan yang maha-menentukan. Semua dapat berubah karena kehendak-Nya.[]
Pernah dipublikasikan di KOMPAS, 21 April 2009.