Oleh : J Kristiadi
MENURUT beberapa hasil survei, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono- Jusuf Kalla setidak-tidaknya setahun terakhir ini lebih unggul dibandingkan dengan pasangan lainnya. Namun, karena tidak diikat dengan komitmen serta dukungan institusi partai, koalisi tersebut menjadi rapuh.
Lebih-lebih, landasan aliansi hanya didasarkan pada suasana batin dengan saling menjaga perasaan, saling menenggang, saling berempati, yang semuanya itu mengandalkan radar sensitivitas. Meskipun tidak dapat dimungkiri kadang-kadang tampak juga mereka saling membaca gelagat dan gerak-gerik untuk saling menduga apakah tidak ada dusta di antara mereka. Misalnya acara kunjungan daerah, perjalanan ke luar negeri, ataupun aksi menonton film bersama, sering kali sekuensnya susul-menyusul. Yang satu tak mau ketinggalan dari yang lain.
Praktik politik semacam itu dalam perspektif budaya politik disebut kultur politik “kejawen”. Intinya, kedua pihak diharapkan saling tanggap ing sasmita, lantip ing panggraita. Artinya, pandai dalam membaca isyarat, cerdas dalam memaknai gelagat.
Komunikasi politik semacam itu jelas tidak mudah karena anggukan kepala yang dilakukan dalam kultur Jawa belum tentu isyarat setuju, tetapi hanya menghormati lawan bicara. Pesan menjadi tersamar, masing- masing diharapkan dapat mengerti isi hati pihak lain dan memberikan tanggapan sebagaimana yang diharapkan.
Koalisi dalam suasana kejawen semakin marak karena sikap JK yang, meskipun seorang bangsawan Bugis, mengidap kesantunan Jawa, seperti sikap ewuh pakewuh, legawa, lebih baik mengalah daripada ribut.
Oleh karena itu, kalau SBY menginginkan JK tetap sebagai wapres dalam Pemilu Presiden 2009, ia tidak menunjukkan perlawanan, bahkan memberikan kesan ikhlas menerima posisi itu, meskipun ia adalah ketua umum partai yang perolehan suaranya jauh lebih besar dibandingkan dengan Partai Demokrat pada Pemilu 2004.
Namun, tidak mustahil pula sikap JK itu disertai latar belakangnya sebagai pelaku bisnis. Strateginya, lebih baik memasang target tidak terlalu tinggi, tetapi dapat diraih daripada mempunyai sasaran selangit, tetapi mustahil dicapai. Selain itu, JK masih percaya bahwa untuk sementara capres harus dari kelompok etnis Jawa, dan sekadar mengerti kultur Jawa belum menjamin kesuksesan.
Resistensi
Koalisi kebatinan SBY-JK semakin lemah karena sikap resistensi kader-kader utama partai masing-masing yang menganggap melanjutkan pasangan SBY-JK belum memberikan jaminan kemenangan. Kader-kader Partai Golkar secara terbuka mendesak mempunyai calon presiden sendiri. Pertimbangannya sangat rasional. Dukungan terhadap Partai Golkar yang kini mencapai 20 persen pada Pemilu 2009 tidak mustahil akan meningkat, atau minimal sama besarnya. Oleh sebab itu, tidak rasional kalau tidak mempunyai calon presiden.
Sikap mengalah JK dianggap cermin rasa kurang percaya diri yang dapat melemahkan semangat para kader Partai Golkar di daerah. Sebagian memperhitungkan, jika JK bersedia dicalonkan sebagai presiden, diharapkan Golkar akan mempunyai daya tawar yang lebih tinggi serta mendorong semangat internal partai.
Suasana di kalangan Partai Demokrat tidak berbeda. Mereka mempertanyakan mengapa SBY harus dipasangkan dengan JK yang kepemimpinannya diragukan secara internal. Bahkan sering kali ia mendapatkan resistensi secara terbuka oleh kader-kader Partai Golkar sendiri.
Di samping itu, kunjungan JK ke sejumlah negara akhir-akhir ini oleh para kader Partai Demokrat dianggap sebagai upaya JK ingin menunjukkan dan menegaskan bahwa ia diterima di kalangan internasional. Padahal, selama ini ranah politik internasional adalah porsi utama Presiden sehingga tidak mengherankan muncul anggapan JK telah luntur kesetiaannya kepada SBY.
Pernyataan Achmad Mubarok mengenai kemungkinan Partai Golkar memperoleh 2,5 persen suara dalam pemilu legislatif, dan isyarat SBY mencari alternatif wapres lain, merupakan manifestasi rasa ketidakkepercayaan, kapasitas dan kontribusi JK. Penjelasan dan penyesalan SBY yang habis-habisan, bahkan disertai dengan kata- kata “demi Allah”, belum dapat mengobati rasa sakit kati kader-kader Partai Golkar.
Kultur Harus Diubah
Oleh sebab itu, kultur kejawen dalam perpolitikan harus diubah menjadi politik yang terang dan jelas. Bukan berarti budaya kejawen tidak adiluhung (luhur), tetapi dalam komunikasi politik dituntut rasionalitas dan kejelasan pesan.
Kelangsungan koalisi SBY-JK akan sangat bergantung pada dua hal. Pertama, kemampuan mereka mengendalikan dinamika partai masing-masing serta menegaskan duet SBY-JK sebagai capres dan cawapres Pemilu Presiden 2009.
Kedua, apabila perolehan Partai Golkar dalam pemilu legislatif lebih besar daripada Partai Demokrat, kewenangan JK harus lebih besar daripada periode 2004-2009, termasuk jumlah menteri ditambah proposional sesuai dengan perolehan kursi di DPR. Analisis spekulatif dapat saja mereka-reka pasangan yang paling cocok, tetapi pasangan SBY- JK berdasarkan berapa survei terahir cukup meyakinkan untuk menang.
Oleh sebab itu, kalkulasi rasional dapat memberikan argumentasi SBY-JK tetap menjadi pasangan dalam Pemilu Presiden 2009. Namun, hal itu harus mendapatkan dukungan partai, dirumuskan dengan jelas dan rinci, bukan kesepakatan kejawen yang mudah disalahtafsirkan.
Apabila pasangan SBY-JK dapat dikukuhkan sebelum pemilu legislatif, akan lebih andal. Kajian empiris menunjukkan koalisi sebelum pemilu cenderung lebih solid dibandingkan dengan setelah pemilu yang bisanya hanya didasari kepentingan pragmatis.[]
Pernah dipublikasikan di KOMPAS, 17 Februari 2009.