JAKARTA, WB – Ratusan Penyair memotret batin Indonesia dalam 34 buku puisi Esai. Tak hanya wartawan dan ilmuwan sosial, lebih dari 200 penyair, penulis, aktivis yang dapat memotret kearifan lokal Indonesia melalui reportase atau makalah ilmiah dalam balutan isu sosial di 34 Provinsi dalam 34 buku melalui puisi esai.
“Kini 34 buku puisi esai itu, satu buku mewakili satu provinsi, bisa diakses, dibaca bahkan diunduh oleh siapapun di Facebook bernama Perpustakaan Puisi Esai,” papar penggagas gerakan nasional puisi esai, Denny JA, lewat keterangan tertulisnya, Minggu (8/5/2018).
Budayawan sekaligus analis politik itu menambahkan, buku puisi essai tersebut bukan sekedar membuat buku puisi, tapi menjadi gerakan budaya dilihat dari banyak sisi.
Dari sisi isi puisi, kata Denny, masyarakat akan memahami aneka isu sosial dan kearifan lokal di setiap provinsi. Di Aceh sebagai misal, tergambar suasana batin dinamika individu yang pro NKRI dan pro Aceh Merdeka.
Di Papua, ada kisah seorang Ayah yang membawa anaknya berobat pada klinik kesehatan terdekat, tapi harus berjalan kaki berhari- hari.
Ada kisah di Jogjakarta mengenai konflik keluarga akibat kemungkinan pewaris tahta kerajaan seorang wanita. Ada kisah di Jawa Tengah tentang penduduk yang cemas karena tersingkir industri.
“Semua kisah adalah kisah nyata, dengan catatan kaki yang merujuk sumber informasi. Namun aneka kisah itu difiksikan agar lebih menyentuh. Dengan membaca 34 buku ini kita menyadari betapa kayanya kearifan lokal bumi nusantara,” lanjutnya.
“Jika dulu kita mengenal budaya Indonesia dari aneka buku ilmiah, kita kita bisa masuk ke batinnya melalui puisi esai,” lanjut Denny.
Dari sisi puisi, semua menuliskan dalam bentuk puisi esai. Sebanyak lebih dari 170 puisi esai dalam 34 buku adalah puisi panjang yang berbabak. Uniknya, ada catatan kaki yang melampirkan fakta dan data menunjang kisah yang difiksikan.
“Kita tak hanya mendapatkan drama tapi juga informasi tentang sejarah atau isu sosial.
Puisi esai diklaim sebagai genre baru puisi. Ia tak hanya berhenti sebagai klaim namun diwujudkan dalam ratusan puisi dan puluhan buku,” ulas Denny.
Ia melanjutkan, dari sisi program, ini gerakan nasional yang murni berasal dari gerakan masyarakat. Tak ada sepersen danapun berasal dari pemerintah atau lembaga asing atau pabrik rokok. Gerakan ini sepenuhnya dibiayai oleh kalangan komunitas puisi esai sendiri.
“Gerakan ini juga menunjukkan bahwa kita bisa mandiri mengerjakan program nasional tanpa harus membebani APBN atau APBD. Program ini juga dibantu oleh sepuluh editor nasional, tiga koordinator wilayah, dan team administrasi yang militan dan cinta berkarya,” ujarnya.
“Di era media sosial, saya mencari cara paling mudah agar seluasnya publik bisa mengakses, membaca bahkan mengunduh 34 buku puisi esai. Cara paling jitu dan ngetrend, 34 buku itu bisa diakses di Facebook Perpustakan Puisi Esai. Data menunjukkan sebanyak 100-150 juta populasi Indonesia punya akun facebook,” jelas Denny yang mengaku memakan waktu kurang lebih satu tahun pengerjaan program tersebut.
Dua hal yang akan ia dan komunitasnya upayakan ke depan, adalah pertama, team akan memilih 34 puisi esai yang mewakili 34 provinsi untuk dibuatkan film pendek kerjasama dengan TV nasional. Puisi esai akan mengawali betapa puisi dapat menjadi basis untuk divisualkan dalam film.
Kedua, karena begitu banyak ruang dalam puisi esai untuk diiisi oleh kisah moral, ia dan komunitasnya berikhtiar membawa puisi esai masuk ke sekolah. Saatnya karakter siswa ikut juga dibentuk melalui sastra.[]