JAKARTA, WB – Keputusan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) untuk memvonis mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dengan hukuman seumur hidup telah menciptakan sejarah baru bagi Pengadilan Tipikor dan juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Hal itu disampaikan oleh Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho. Menurutnya, semenjak lembaga hukum KPK dan Pengadilan Tipikor berdiri, belum ada terdakwa kasus korupsi yang dihukum dengan vonis seumur hidup. Sehingga ia dianggap awal sejarah yang bagus.
“Ini sejarah baru buat KPK, sepertinya ini kita masih punya harapan besar kepada KPK untuk melakukan hal yang sama terhadap koruptor lain,” ujarnya melalui pesan singkat, Selasa (30/7/2014).
Menurutnya, keputusan yang diambil oleh majlis hakim sudah tepat dengan memberikan hukuman seumur hidup kepada mantan anggota DPR itu. Hal itu juga sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum KPK, yang meminta kepada hakim untuk menjatuhkan hukuman yang berat yakni hukuman seumur hidup.
Emerson melihat, sosok Akil yang pernah menjabat sebagai Ketua MK, mempunyai jabatan yang tinggi di lembaga peradilan. Kekuasaan yang ia miliki bahkan bisa melebihi seorang Presiden, sehingga ia menanggap pantas jika hakim menjatuhkan hukuman seumur hidup.
“Kejahatannya luar biasa, hukumnya juga harus luar biasa,” katanya.
Diketahui, Akil dijatuhi vonis semur hidup oleh majlis hakim Tipikor Senin (30/6/2014). Hakim menilai Akil terbukti secara sah dan meyakinkan telah menerima suap, hadiah atau janji terkait kasus penanganan sengketa Pilkada yang ditangani MK, dan juga kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Dalam kasus ini Akil terbukti menerima suap atau hadiah dari beberapa kasus Pilkada yang ia tangani di MK, diantaranya yakni Pilkada Kabupaten Gunung Mas (Rp 3 miliar), Kalimantan Tengah (Rp 3 miliar), Pilkada Lebak, Banten (Rp 1 miliar), Pilkada Empat Lawang (Rp 10 miliar dan 500.000 dollar AS), dan Pilkada Kota Palembang (sekitar Rp 3 miliar).
Untuk Pilkada Kota Palembang, hakim menyatakan orang dekat Akil Muhtar Ependy terbukti menerima Rp 19,8 miliar dari Wali Kota Palembang Romi Herton dan istrinya Masyito. Baik Romi maupun Masyito juga sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, karena diduga menerima suap dan memberikan keterangan palsu.
Kemudian, selain itu mantan anggota DPR itu juga dinyatakan terbukti menerima suap terkait Pilkada Kabupaten Buton (Rp 1 miliar), Kabupaten Pulau Morotai (Rp 2,989 miliar), Kabupaten Tapanuli Tengah (Rp 1,8 miliar), dan menerima janji pemberian terkait keberatan hasil Pilkada Provinsi Jawa Timur (Rp 10 miliar). Sebagaimana yang tercantum dalam dakwaan kedua.
Bahkan dalam dakwaan ketiga, hakim menyebut Akil terbukti menerima Rp 125 juta dari Wakil Gubernur Papua periode tahun 2006-2011 Alex Hesegem. Pemberian uang itu terkait sengketa Pilkada Kabupaten Merauke, Kabupaten Asmat, Kabupaten Boven Digoel, Kota Jayapura, dan Kabupaten Nduga. Hakim juga menyatakan Akil terbukti menerima uang dari adik Gubernur Banten Atut Chosiyah, Tubagus Chaeri Wardana sebesar Rp 7,5 miliar sebagaimana dakwaan keempat.
“Terungkap terdakwa menerima uang Rp 7,5 miliar ke rekening CV Ratu Samagat yang berhubungan dengan jabatannya,” kata hakim. Suwidya saat membacakan surat putusan.
Dalam kasus ini, Akil hanya dinyatakan tidak terbukti menerima suap dalam Pilkada Lampung Selatan sebesar Rp 500 juta. sebagaimana Pasal 12 huruf c Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Menurut hakim, berdasarkan fakta persidangan, uang yang diterima Akil tersebut tidak bertujuan untuk mempengaruhi putusan sengketa Pilkada Lampung Selatan. Ketua Majelis Hakim Suwidya menyatakan perbuatan Akil menerima Rp 500 juta merupakan gratifikasi. []