WARTABUANA – Prancis, Jerman, dan Inggris pada Jumat (12/2) mendesak Iran untuk menghentikan produksi logam uranium yang melanggar kesepakatan nuklir 2015, menurut sebuah pernyataan yang dirilis oleh Kementerian Luar Negeri Prancis.
Ketiga negara Eropa tersebut mengungkapkan “kekhawatiran yang besar” terhadap isi laporan Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy Agency/IAEA) yang mengonfirmasi bahwa Iran memproduksi logam uranium yang melanggar kesepakatan nuklir itu, secara resmi dikenal dengan Rencana Aksi Komprehensif Bersama (Joint Comprehensive Plan of Action/JCPoA).
Iran pada awal Januari lalu menyampaikan bahwa pihaknya mulai memproduksi uranium yang diperkaya 20 persen, sebagai bagian dari Rencana Aksi Strategis untuk Melawan Sanksi yang disetujui oleh parlemen negara itu pada Desember 2020.
Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif berpendapat tindakan itu “sepenuhnya sejalan” dengan JCPoA, seraya menegaskan bahwa langkah tersebut “dapat dibatalkan jika semua pihak sepenuhnya mematuhi (JCPoA).”
“Kami menegaskan kembali bahwa Iran tidak memiliki justifikasi sipil yang kredibel terhadap aktivitas-aktivitas ini, yang menjadi langkah kunci bagi pengembangan senjata nuklir,” kata pernyataan itu, seraya menambahkan bahwa Iran, di bawah JCPoA, “berkomitmen untuk tidak terlibat dalam kegiatan memproduksi atau memperoleh logam uranium atau untuk melakukan penelitian dan pengembangan metalurgi uranium selama 15 tahun.”
“Kami secara tegas mendesak Iran untuk menghentikan aktivitas-aktivitas ini tanpa penundaan dan tidak mengambil langkah penolakan baru terkait program nuklirnya. Terkait sikap penolakannya yang meningkat, Iran melemahkan peluang untuk mencapai diplomasi baru guna sepenuhnya mewujudkan tujuan JCPoA,” demikian penekanan dari ketiga negara tersebut.
Kesepakatan JCPOA dicapai pada 2015 antara Iran dan P5+1 (lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB, yaitu AS, Inggris, Rusia, Prancis, China, plus Jerman) dan Uni Eropa. Berdasarkan kesepakatan itu, Teheran setuju untuk membatalkan sejumlah bagian program senjata nuklirnya dengan imbalan pengurangan sanksi ekonomi.
Pada Mei 2018, mantan presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menarik keluar negaranya dari JCPoA, dan menerapkan kembali sanksi yang keras terhadap Iran. Sebagai tanggapannya, Teheran secara bertahap mencabut sebagian komitmennya dalam JCPoA sejak Mei 2019.
Pemerintahan baru AS yang dipimpin oleh Presiden Joe Biden baru-baru ini menyatakan bahwa Washington tidak akan mencabut sanksi terhadap Iran kecuali Teheran berhenti melakukan pengayaan uranium. [Xinhua]