WARTABUANA – Pembangunan Indonesia dihadapkan pada problem diskontinuitas dan diskonektivitas. Para pengambil keputusan politik terjebak pada kepentingan jangka pendek dan terfragmentasi menurut garis kepartaian dan kedaerahan.
Dengan kondisi seperti itu, pilihan-pilihan kebijakan sering bersifat tambal-sulam dan parsial; mengabaikan pilihan-pilihan strategis yang bersifat fundamental dan integral, yang memerlukan kesinambungan dan keterpaduan berjangka panjang.
Dengan realitas seperti itu, terdapat arus besar kesadaran publik yang menghendaki dihidupkannya kembali substansi haluan kebijakan negara dalam suatu Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Lewat empat kali amandemen Konstitusi, keberadan GBHN sebagai kebijakan dasar negara ditiadakan bersamaan dengan perubahan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari lembaga tertinggi menjadi lembaga tinggi negara. Dengan itu, pola hubungan MPR dan DPR yang semula bersifat atas-bawah berubah menjadi hubungan yang sejajar.
Akibatnya, kedudukan kedaulatan rakyat (locus of sovereignty) yang semula memusat di MPR dihapuskan. Para pelaku amandemen mengira bahwa sistem pemerintahan yang meletakkan kedaulatan di tiga tempat (Legislatif, eksekutif dan yudikatif) seperti di Amerika Serikat lebih demokratis ketimbang sistem pemerintahan yang memusatkan kedaulatannya di satu “lembaga tertinggi” seperti sistem Westminster di Inggris.
Menurut Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup periode 1983-1993 Emil Salim, Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) perlu dibangkitkan lagi agar arah perbaikan perekonomian Indonesia menjadi lebih jelas dan tegas.
“Arah pembangunan harus jelas, harus ada kontinuitas atau fungsi yang berkelanjutan pada setiap periode kepemimpinan. Ini penting sebagai pegangan,” kata Emil pada seminar Institute Peradaban, Jakarta, Rabu (16/9/2015).
Mantan Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini mengatakan setiap pembangunan harus bekelanjutan terutama menyangkut infrastruktur dalam skala nasional.
“Pemimpinan sebelumnya tidak fokus pada infrastruktur, tapi serius di hal lain, sekarang infrastruktur misi dari pemimpin, nanti mau bagaimana lagi kalau tidak dilanjutkan? kan perlu arah yang pasti,” katanya.
Kepada Wartabuana, dia menjelaskan jika untuk mencapai sasaran jangka panjang suatu negara, maka urutan kepentingan harus diprioritaskan.
“Jangan asal bangun, contohnya langsung bangun kereta ini itu, yang pertama di Indonesia jarak jauh dan waktu tempuh yang singkat, ini kurang bagus, bukan dengan ad hoc tapi harus sistematis, analoginya saya mau ke tujuan sana, untuk itu saya lakukan ini begitu seharusnya sistem,” tutur ekonom senior yang juga salah satu teknokrat terkenal ini.
GBHN memiliki fungsi penting dalam mewujudkan konsepsi negara kekeluargaan dan kesejahteraan. Selain memberikan prinsip-prinsip direktif yang memberikan haluan pembangunan nasional secara terencana, bertahap, terstruktur dan berkelanjutan, GBHN juga memiliki fungsi alokatif dalam pendistribusian sumberdaya ekonomi. Di dalam sistem kapitalisme, fungsi alokasi ekonomi diserahkan pada mekanisme pasar.
Dalam sistem etatisme, fungsi alokasi ekonomi diserahkan pada pusat komando diktatorial. Dalam sitem ekonomi Pancasila, alokasi ekonomi dilakukan melalui mekanisme permusyawaratan rakyat dalam MPR. Orde Reformasi tampaknya cenderung hendak meniru sistem Amerika Serikat tetapi “salah arah”, karena tidak mengadopsinya secara konsisten.
Setelah MPR dijatuhkan posisinya dari lembaga tertinggi, kewenangannya dalam menyusun Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) juga ditiadakan. Sebagai gantinya, muncul Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang ditetapkan dengan Undang- Undang.
RPJPN ini kemudian diturunkan ke dalam Rencana Pembanguan Jangka Menengah (RPJM) untuk periode lima tahunan, dengan memberi kesempatan kepada Presiden untuk menentukan platform politik pembangunannya tersendiri, sesuai dengan janji kampanye.
Dalam kesempatan terpisah, H. Pontjo Sutowo, salah satu cendikia yang tergabung Jaring Cendikia – Aliansi Kebangsaan adalah menyatakan, karena RPJP ini ditetapkan oleh undang-undang, maka Presiden ikut serta dalam merumuskan ketentuannya.
“Setelah itu, karena Presiden juga diberikan kewenangan untuk menetapkan platform pembangunan, maka Presiden juga yang menjalankan undang-undang itu dan menetapkan anggarannya,” tegasnya.
Dan akhirnya, karena tidak ada mekanisme pertanggungjawaban kepada MPR, maka Presiden juga yang mengawasi pelaksanannya. Alhasil, jika Presidennya tidak amanah, mudah sekali kebijakan pembangunan di negeri ini jatuh ke tangan kepentingan perseorangan, yang dapat merugikan kepentingan nasional.
Kehendak menghidupkan kembali GBHN tidaklah berarti bahwa bentuk dan kandungan GBHN itu harus sama dan sebangun dengan GBHN yang pernah dibuat di masa Orde Baru. Kandungan GBHN cukuplah berisi pedoman-pedoman dasar (guiding principles) atau arahan-arahan dasar (directive principles) yang dapat memandu para penyelenggara negara dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan pembangunan di segala bidang.
Oleh karena itu, kandungan GBHN tidak perlu terlalu mendetil sebagaimana kita temukan dalam GBHN pada masa Orde Baru. []