Terpilihnya Prabowo Subianto sebagai Presiden Indonesia untuk periode 2024-2029 merupakan tantangan dan peluang baru bagi negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai garis pantai mencapai 81.290 Km dan menempatkan Indonesia pada posisi kedua sebagai negara yang memiliki garis Pantai terpanjang di dunia, setelah Kanada. Duet Prabowo-Gibran kini dihadapkan pada tugas berat untuk mewujudkan visi-misinya di tengah dinamika global yang kian kompleks dengan membentuk Zaken Kabinet (kabinet ahli).
Salah satu isu utama yang harus dihadapi pemerintahan Prabowo-Gibran adalah di bidang ekonomi. Kedepan kabinet yang akan disusunnya akan menghadapi tantangan berat dalam memulihkan dan memperkuat perekonomian Indonesia di tengah ketidak-pastian global. Selain tantangan fiskal berupa +/- 39% APBN 2025 merupakan proyeksi ratio pembayaran bunga pinjaman luar negeri Indonesia kepada kreditor (+/- 800 Triliun) di tahun 2025, juga untuk mengatasi tingkat pengangguran terbuka di Indonesia, yang menurut IMF, tertinggi di ASEAN, yakni mencapai 5,2 % dari 279,96 juta penduduk atau 14,557 juta penduduk Indonesia. Pasca Pandemi Covid-19 perekonomian Indonesia menunjukkan betapa rentannya Indonesia kedepan terhadap guncangan eksternal.
Beberapa isu utama yang akan dihadapi pemerintahan Prabowo ke depan adalah ketegangan geopolitik yang terus meningkat antara Rusia – Ukraina, konflik Timur-Tengah yang eskalasinya kian meningkat, flash point di selat Taiwan (antara RRT dan Taiwan) dan semenanjung Korea, serta persaingan antara Amerika Serikat dan RRT/China di kawasan Indo-Pasifik telah menempatkan negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dalam posisi yang kian kompleks. Selain tantangan global lainnya seperti perubahan iklim dan transisi energi. Sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Zaken Kabinet di era Demokrasi Liberal (1950 – 1959)
Rencana pembentukan Zaken Kabinet (Kabinet Ahli) pemerintahan Prabowo-Gibran menjadi sangat relevan dan diperlukan, mengingat tantangan kedepan yang kian kompleks dan saling keterkaitan antara satu dengan yang lain. Zaken Kabinet pertama kali diperkenalkan pada masa Demokrasi Liberal dengan dibentuknya Kabinet Natsir (Mohammad Natsir) pada masa awal pemerintahan Soekarno (6 September 1950 – 21 Maret 1951). Kabinet Natsir hanya berusia 6 bulan lebih sedikit dan hanya beranggotakan 16 Menteri yang umumnya merupakan pakar di bidangnya masing-masing. Terjadinya beberapa pemberontskan di berbagai wilayah Indonesia dan permasalahan keamanan di dalam negeri, seperti Gerakan DI/TII, Peristiwa Andi Azis, Pemberontakan APRA (angkatan perang ratu adil) serta separatis RMS (Republik Maluku Selatan) serta buntunya negosiasi terhadap Irian Barat merupakan hal-hal yang mempercepat jatuhnya Kabinet Natsir.
Kabinet Wilopo yang terbentuk pada 3 April 1952 hingga 3 Juni 1953, dipimpin oleh Wilopo dan Wakil Perdana Menteri Prawoto mangkusasmito merupakan Kabinet Zaken kedua karena kabinetnya juga diisi oleh para tokoh yang ahli di dalam bidangnya masing-masing dan bukan merupakan representasi dari orang-orang partai Politik an-sich. Salah satu penyebab utama jatuhnya Kabinet Wilopo antara lain karena peristiwa 17 Oktober 1952 berupa kesalahan atas penyelesaian persoalan tanah perkebunan (modal asing) di Tanjung Morawa (Sumut). Kebijakan lainnya adalah kebijakan Kabinet Wilopo yang saat itu ingin menyederhanakan satuan Angkatan Perang (kini TNI) serta melakukan mutasi para panglima yang dianggap oleh kalangan militer sebagai campur tangan terhadap ranah militer. Posisi Jenderal AH Nasution sebagai KSAD saat itu diganti oleh Kolonel Bambang Sugeng sehingga beberapa pejabat di Kementerian pertahanan juga ikut mengundurkan diri. Ditambah perpecahan didalam Parlemen antara PNI (Partai Nasional Indonesia) dan Masyumi dengan PSI (Partai Sosialis Indonesia) juga menjadi salah satu yang membuat Wilopo meletakkan jabatannya.
Kemudian Kabinet Ir. Djuanda Kartawidjaja yang terbentuk tanggal 9 April 1957 – 10 Juli 1959. Kabinet Djuanda merupakan Zaken Kabinet terakhir dari sistem parlementer di Indonesia. Kabinet Djuanda disebut sebagai Zaken Kabinet atau kabinet “extra-parlementer” karena anggota kabinet (Menteri) yang diangkat tanpa melihat jumlah kursi di parlemen secara proporsional. Atau kabinet dalam pemerintahan yang jajaran menterinya berasal dari kalangan ahli (profesional) dan bukan merupakan representasi dari partai politik tertentu.
Kabinet Djuanda terbentuk setelah Kabinet Ali Sastroamidjojo II jatuh pada tanggal 14 Maret 1957. Kabinet Ali Sastroamidjojo II jatuh karena tidak mampu memperbaiki masalah-masalah ekonomi yang menimbulkan demonstrasi buruh di mana-mana. Selain karena masalah korupsi dan lesunya kinerja aparat pemerintah saat itu. Serta terjadinya pergolakan besar-besaran dari Aceh, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Sumatera Barat (Dewan Banteng 20 Desember 1956), Sumatera Utara (Dewan Gajah 22 Desember 1956), Sumatera Selatan (Dewan Garuda Jan-Feb 1957) dan pergerakan PERMESTA (Perjuangan Semesta) di Makassar tanggal 2 Maret 1957 yang meliputi daerah Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara. Gerakan-gerakan kedaerahan tersebut umumnya tidak puas dengan kebijakan Pemerintah Pusat yang mengabaikan Daerah.
Pada masa Demokrasi Parlementer/Liberal (1950 – 1959) terjadi banyak pergantian kabinet. Tercatat ada tujuh kabinet pada masa ini. Kabinet jatuh-bangun antara lain karena munculnya mosi tidak percaya dari lawan partai politik. Selain sering terjadi perdebatan dalam Konstituante yang menimbulkan konflik berkepanjangan.
Era Demokrasi Terpimpin (1959 – 1966)
Periode demokrasi terpimpin di Indonesia berlangsung sejak dikeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno hingga berkahirnya masa bhakti Kabinet Dwi Kora III pada 25 Juli 1966. Pada mulanya, ide demokrasi terpimpin adalah demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Pada era Demokrasi Terpimpin semua kekuasaan terpusat di tangan Presiden Sukarno. Hal ini memberi Sukarno kekuasaan yang amat besar dan kuat. Disebut Demokrasi Terpimpin karena demokrasi di Indonesia saat itu mengandalkan pada kepemimpinan Presiden Sukarno. Terpimpin maksudnya adalah kepemimpinan pada satu tangan saja yaitu Presiden Sukarno. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 merupakan peristiwa bersejarah dalam ketatanegaraan Indonesia. Dekrit ini memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai konstitusi dan membentuk dasar bagi penerapan Demokrasi Terpimpin. Meski nampak kontroversial, Dekrit Presiden berhasil menyelamatkan negara dari perpecahan dan memberikan landasan bagi pembangunan Bangsa.
Dengan berlakunya UUD 1945 sebagai konstitusi negara yang mengatur sistem kepresidenan yang lebih kuat dengan tendensi lebih otoriter karena Presiden adalah pemegang kekuasaan satu-satunya yang membawahi eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dengan cara ini Soekarno mempunyai lebih banyak kekuasaan untuk melaksanakan rencana-rencananya. Soekarno membubarkan parlemen dan menggantinya dengan Parlemen Baru yang sebagaian besar anggotanya ditunjuk langsung oleh Soekarno. Beberapa pihak, terutama kalangan militer tidak senang dengan kebijakan tersebut karena mendapat peran yang kecil di bidang politik, sehingga mereka tidak atau kurang mendukung perubahan orientasi tersebut.
Era Orde Baru (1966 – 1998)
Pada masa Orde Baru Kabinet Pembangunan I hingga Kabinet Pembangunan VII merupakan Kabinet Ahli (Zaken Kabinet), dikombinasikan dengan kalangan militer yang terdidik dan telah berpengalaman di berbagai bidang pengabdian/tugas kepada masyarakat. Hal ini sesuai dengan Doktrin Dwi-Fungsi ABRI dan skala prioritas Pembangunan saat itu yang bertumpu pada 3 (tiga) hal, yakni: pertumbuhan ekonomi, pemerataan Pembangunan dan hasil-hasilnya serta stabilitas politik. Sementara anggota kabinet saat itu terdiri dari tokoh-tokoh Partai Politik umumnya berasal dari Golongan karya (Golkar) dan hanya 1 – 2 orang tokoh dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai persatuan Pembangunan (PPP) serta segelintir dari Utusan Daerah yang juga duduk dalam Kabinet Pembangunan I hingga Kabinet Pembangunan VII. Jumlah Menteri pun bervariasi antara 24 menteri pada Kabinet Pembangunan I dan II, terbanyak 44 menteri pada Kabinet Pembangunan V (1988-1993).
Oleh : Nasaruddin Siradz
penulis adalah Sekjen Gabungan Studio Film Indonesia (GASFI)/Pemerhati masalah sosial-politik,
tinggal di Jakarta.