WARTABUANA – Penyataan Ketua Umum Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) Ahmadi Noor Supit di acara HUT ke-61 di Jakarta pada Kamis (20 Mei 2021) lalu, yang menyebut ormas yang dipimpinnya merupakan ormas independen telah salah ditafsirkan oleh Ketua DPP Golkar Bidang Kerjasama Ormas Sabil Rachman seolah-olah SOKSI akan tidak mau lagi berada di barisan pendukung Partai Golkar.
Anggota Dewan Pembina SOKSI Robinson Napitupulu sangat menyayangkan apa yang telah dilakukan Sabil. “Sebagai Ketua DPP Golkar Bidang Kerjasama Ormas, tentunya kenal baik dengan pimpinan SOKSI, dia tak boleh mengeluarkan statement demikian tanpa diawali dengan konfirmasi kepada Pak Supit. Jangan langsung main simpulkan dong. Ini namanya memperkeruh suasana,” ujar Robinson.
Sabil seharusnya tidak memperkeruh hubungan SOKSI dengan Golkar, karena mengingat Golkar telah ditinggalkan oleh Prabowo, Wiranto, Suryo Paloh, dengan mendirikan partai GERINDRA. HANURA dan NASDEM.
Lebih lanjut, Robinson mengatakan, jika begini caranya, saya menduga keterangannya bisa menyesatkan dan membingungkan kader Golkar dan SOKSI, terutama di daerah-daerah yang tidak sempat mengkonfirmasi ke Dewan Pimpinan Nasional (Depinas) SOKSI.
Hubungan kesejarahan antara SOKSI dan Partai Golkar seperti ibu dan anak, menurut Robinson tidak bisa dihapuskan. “Siapapun tidak boleh merubah sejarah itu, termasuk presiden sekalipun, tidak bisa. Itu sejarah. Waktu itu kita berjuang menyelamatkan negara ini dari bahaya komunis yang ketika itu mengancam eksistensi PANCASILA,”, paparnya.
Robinson mengajak semua pihak agar persoalan pribadi antara tokoh-tokoh yang berada di Partai Golkar maupun di SOKSI jangan dibawa ke ranah organisasi. Itu tidak bagus dan tidak mendidik. Apalagi jika Partai Golkar ingin menang di Pemilu 2024 nanti. Kemenangan Partai Golkar berarti kesuksesan Airlangga.
“Why Not?, jika menang Airlangga bisa jadi Presiden sesuai dengan keputusan partai. PG besar dan Menang adalah kebesaran dan kemenangan Ormas Pendiri termasuk SOKSI – SUHARDIMAN. Sebaliknya SOKSI besar adalah kebesaran Partai Golkar. Dalam pada itu marilah kita, mau mengakui kebenaran sejarah bahwa Partai Golkar dan SOKSI tidak bisa dipisahkan,” paparnya.

Menurut Robinson, semua orang sudah tahu, Partai Golkar itu anaknya SOKSI, KOSGORO dan MKGR yang dikenal dengan sebutan TRIKARYA, sehingga tidak ada maksud Ketua Umum SOKSI menyatakan bahwa SOKSI akan berpisah dengan Partai Golkar.
“Dia (Ahmadi Noor Supit) hanya mengacu kepada Undang-undang keormasan yang menyebut bahwa setiap ormas itu bebas independen. Tetapi dalam prakteknya ada hubungan historis. Contohnya Muhammadiyah dan NU, keduanya adalah ormas independen. Tapi NU tidak bisa lepas dari PKB, karena yang mendirikan PKB itu adalah tokoh-tokoh NU. PAN tidak bisa lepas dari Muhammadiyah. Demikian halnya di Golkar, kader partai pasti tahulah dan Ingat dengan istilah 3 O, yaitu ; Pertama Organisasi yang mendirikan SEKBER GOLKAR, yakni HASTA KARYA yang kini tinggal hanya trikarya, KOSGORO, SOKSI, MKGR, yang didirikan MAS ISMAN, SUHARDIMAN, SUGANDHI. Kedua Organisasi yang didirikan GOLKAR, yakni ; AMPI, HWK, AMPG, MDI dan lainya. Serta ketiga Organisasi yang menyalurkan aspirasi politiknya ke GOLKAR ketika itu, misalnya FKPPI, KORPRI, SPSI, HKTI, PWI, PP dan lainya. Para kader senior Partai Golkar pasti tahu itu kecuali orang baru atau kader kutu loncat. Nah, di sini dibutuhkan kedewasaan berpolitik. Dewasa dong, jangan kayak anak-anak,” jelas Robinson.
Di sisi lain, Sekretaris Dewan Pembina SOKSI Razian Agus Toniman tidak menganggap polemik ini sesuatu yang istimewa. “Saya sudah ikuti dinamika yang ada setelah pernyataan Pak Supit, Ketum Depinas SOKSI tentang independensi itu. Gak ada yang istimewa tuh,” ujarnya.
Justru yang bisa menjadi bahasan yang hangat adalah karena sekarang ini di Partai Golkar ada dua SOKSI. “Yang satu SOKSI yang didirikan SUHARDIMAN tahun 1960 yang sesuai AD/ART Partai Golkar diakui sebagai salah satu organisasi pendiri Partai Golkar, sedang satunya lagi organisasi bernama sama SOKSI yang didirikan sesuai aturan hukum pada tahun 2017, tetapi kepengen dianggap juga sebagai SOKSI yang mendirikan Golkar pada tahun 1964. Itu tidak benar,” jelas mantan Anggota DPR RI (1997 – 1999).
Toniman menjabarkan, sifat hubungan SOKSI dan Partai Golkar adalah historis aspiratif. Historis karena SOKSI merupakan salah satu pendiri Partai Golkar. Demikian pula aspirasi SOKSI sejak kelahirannya dan saat turut mendirikan Partai Golkar dan hingga sekarang masih sama.
“Doktrin Karya dan Kekaryaan GOLKAR adalah implementasi dari doktrin Karyawanisme SOKSI. Itulah maka saluran aspirasi politik SOKSI secara kelembagaan senantiasa ada di Partai Golkar karena selaku Ormas SOKSI tidak pernah berubah menjadi organisasi politik pèserta Pemilu. Independensi SOKSI itu artinya bukan onderbouw partai. Yang onderbouw partai itu mungkin terjadi pada organisasi yang didirikan partai itu pula maka di struktur Partai Golkar ada organ yang membidangi Hubungan dengan Ormas,” papar Toniman.
Soal hubungan SOKSI dan Partai Golkar menurut Toniman memiliki kisah panjang dan penuh dinamika serta aksentuasi sesuai masanya. Pada masa Orde Baru, pola hubungan itu didasari kaidah “top down” dan berjalan normal dan lancar.

“Apa kata Ketua Dewan Pembina pasti jadi dan dipatuhi, maka setiap rencana DPP pasti terwujud. Setelah reformasi, situasi dan suasananya berubah. Posisi dan fungsi Ketua Dewan Pembina secara perlahan tapi konstan berubah. Bahkan Golongan Karya yang semula nama diri, juga berubah jadi Partai Golkar. Sebagai konsekuensi reformasi tentunya dimana kendali atas iklim politik jadi longgar,” ujar Toniman.
Lebih jauh Toniman menjelaskan, dalam perjalanan mulai terjadi proses kristalisasi, dari banyak jadi satu, organisasi berubah menjadi pluralisasi, satu organisasi tunggal jadi dua, jadi tiga organisasi sejenis.
“Di Partai Golkar juga akhirnya terkena dampak. Sudah ada AMPI, ada lagi AMPG misalnya. Demikian juga diorganisasi pendiri GOLKAR masing masing sudah tidak satu lagi walau masih sejenis dalam predikat. Pertanyaan awam tentunya apakah “duplikasi” ini bagian dari reformasi alamiah sesuai zaman atau dikonstruksikan untuk tujuan tertentu, atau karena kebutuhan politik karena reformasi tidak bisa menjawab semua syarat reformasi iklim politik yang dicita-citakan. Inilah yang terjadi sekarang,” kata Toniman.
Toniman tidak ingin menduga-duga apa motif Sabil “menyerang” Ketua Umum SOKSI. “Saya tidak punya pendapat, tapi pernyataan terbuka beliau yang sekarang di DPP Partai Golkar ketua yang membidangi kerjasama dengan ormas ini perlu diluruskan. Jangan hanya karena ada omongan Soksi independen, dia berasumsi bahwa SOKSI telah mengingkari hubungan kesejarahan dengan Partai Golkar, itu adalah keliru besar. Apalagi sikap Mas Bobby (Bobby Suhardiman, Ketua Dewan Pembina SOKSI) sudah jelas menegaskan dari dulu SOKSI dan para Tokoh SOKSI tetap ada di Partai Golkar. Dalam hal loyalitas terhadap Partai Golkar, SOKSI tidak dan belum pernah berubah,” tegasnya.[]