WARTABUANA – Sejarah mencatat, etnis Tionghoa memiliki peran dalam penyelenggaraan Kongres Sumpah Pemuda 1928. Kongres tersebut digelar di rumah Sie Kong Liong, Jalan Kramat No 106, Jakarta Pusat pada 28 Oktober 1928.
Menurut pegiat Budaya Tionghoa asal Cirebon, Jeremy Huang, Sumpah Pemuda 1928 identik dengan sejarah etnis Tionghoa. “Bagaimana tidak, jika tempat penyelenggaraan Kongres Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 diadakan di rumah Sie Kong Liong, yang jelas jelas orang Tionghoa,” kata Jeremy.
Jeremy menjelaskan, dalam kongres tersebut juga hadir 5 pemuda Tionghoa yaitu Kwee Thiam Hong, Oey Kay Sing, John Liau Tjoan Hok, Tjio Djin Kwie, dan Johan Muhammad Tjia. Walaupun kehadiran mereka tidak membawa nama Jong Tionghoa tetapi mereka melebur dalam organisasi kepanduan yang ada.
“Sejak dulu kedatangan warga Tionghoa ke nusantara melebur menjadi satu dengan warga masyarakat lainnya. Membaur menjadi satu dengan warga lainnya,” tambah Jeremy.
Dukungan terhadap Kongres Sumpah Pemuda diperoleh dari berbagai kalangan di Indonesia, termasuk dari keturunan Tionghoa. Rumah Sie Kong Liong itulah salah satu saksinya.
“Di rumah itu lah pertama kalinya para pemuda mengikrarkan diri untuk bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, Indonesia,” kata tambahnya.
Dijelaskannya, pada awalnya rumah yang dijadikan lokasi pembacaan ikrar Sumpah Pemuda 1928 awalnya adalah tempat kos-kosan. Sejak 1927, rumah tersebut digunakan oleh berbagai organisasi pergerakan pemuda untuk melakukan kegiatan pergerakan.
Para pemuda dan mahasiswa yang pernah tinggal di sana antara lain ialah Muhammad Yamin, Amir Sjarifoedin, Soerjadi (Surabaya), Soerjadi (Jakarta), Assaat, Abu Hanifah, Abas, Hidajat, Ferdinand Lumban Tobing, Soenarko, Koentjoro Poerbopranoto, Mohammad Amir, Roesmali, Mohammad Tamzil, Soemanang, Samboedjo Arif, Mokoginta, Hassan, dan Katjasungkana.
“Saat mengizinkan rumah indekosnya digunakan sebagai tempat pembacaan ikrar Sumpah Pemuda, Sie Kong Liong secara tak langsung menanggung risiko bakal dipenjara sebab kongres tersebut berbau politis,” ucapnya.
Pendiri Museum Pustaka Peranakan Tionghoa, Azmi Abu Bakar menambahkan selain Sie Kong Liong, keturunan Tionghoa yang juga memiliki andil dalam peristiwa Sumpah Pemuda 1928 ialah Yo Kim Tjan. Ia adalah orang pertama yang merekam lagu ‘Indonesia Raya’ yang pertama kali diperdengarkan WR Soepratman dalam Kongres Sumpah Pemuda.
Yo Kim Tjan merupakan seorang pengusaha dan importir piringan hitam di Jakarta. Usai WR Soepratman memperdengarkan lagu ‘Indonesa Raya’ pada 28 Oktober 1928 di hadapan kongres, ia pun langsung mendatangi Yo Kim Tjan.
“Maksud kedatangannya itu tak lain untuk meminta bantuan pengusaha Tionghoa tersebut untuk membantu proses perekaman lagu ‘Indonesa Raya’ yang diciptakannya,” kata Azmi.
Namun, upaya mereka berdua merekam lagu ‘Indonesa Raya’ di perusahaan perekaman asing menemui jalan buntu. Yo Kim Tjan harus melakukan perjalanan keliling Eropa untuk merekam lagu ‘Indonesa Raya’ ke dalam bentuk piringan hitam.
Karena tak mendapati perusahaan yang berkenan merekam, dalam perjalanannya ke Eropa, Yo Kim Tjan pun membeli alat perekaman yang juga akan ia gunakan untuk perusahaannya di Indonesia.
Proses perekaman lagu ‘Indonesa Raya’ pun dimulai setelah Yo Kim Tjan membeli alat tersebut. Dalam perjalanannya, proses perekaman pun tak berjalan mulus lantaran harus menghadapi berbagai rintangan dari pemerintah kolonial Belanda.
Kendati demikian, akhirnya proses perekaman ke dalam bentuk piringan hitam itu bisa selesai. Lagu ‘Indonesa Raya’ yang direkam waktu itu merupakan lagu instrumental tanpa syair yang dibawakan oleh orkestra yang dipimpin langsung WR Soepratman.
“Kemudian yang tak kalah pentingnya lagu Indonesia Raya juga dimuat pertama kalinya di Sin Po, media besar milik orang Tionghoa pada 10 November 1928. Sebelumnya WR Supratman telah menawarkan kebeberapa media agar dimuat pada beberapa media lain, tetapi hanya Sin Po yang berani dan mau memuatnya pada 10 November 1928,” kata Azmi. [rc]