JAKARTA, WB – Konflik sengketa tanah di Telukjambe antara warga Karawang dengan pihak Agung Podomoro Land (APLN) kembali memanas setelah pihak APLN menyatakan jika tanah sengketa tersebut bakal dijadikan sentra industri dan bisnis.
Serikat Petani Karawang (Sepetak) sangat menyayangkan sikap pemerintah yang dinilai tidak berpihak terhadap masyarakat dan lebih membela pihak pengembang.
Pihak Agung Podomoro awal pernah menyatakan tanah milik petani di tiga desa di Margamulya, Mulyasari, Wanakerta akan dijadikan kawasan Industri Karawang Industrial Park. Bahkan pembangunannya akan segera dilakukan.
Untuk itu, Sepetak berharap agar pemerintah dan semua pihak terkait agar tetap memperhatikan, melindungi dan membela masyarakat yang menjadi korban perampasan haknya atas tanah yang dilakukan korporasi raksasa APLN, yang sebenarnya “melanjutkan” praktik kotor PT Sumber Air Mas Pratama (SAMP) yang puluhan tahun bersengketa dengan masyarakat lokal.
Apalagi, sejak SAMP diakuisisi APLN sejak 2012, para warga Karawang merasa tak berdaya menghadapi aparat Brimob yang melakukan eksekusi tanah seluas ± 350 Ha di tiga desa berdasarkan hasil putusan PK No. 160.PK/PDT/2011 yang dinilai cacat oleh pihak masyarakat dan para aktivis advokasi hak rakyat.
“Ada sekitar 7000 pasukan Brimob, belum termasuk Dalmas dan oknum TNI dengan beringas melakukan tindak kekerasan terhadap masyarakat yang melakukan aksi perlawanan, meski jumlah mereka tak berarti dibanding pasukan eksekutor,” kata Ketua Sepetak, Hilal Tamimi kepada wartawan di Jakarta, Jumat (20/2/2015).
Sepetak menilai, negara dalam hal ini Pemkab Karawang yang dipimpin Ade Swara (red-sekarang tahanan KPK) dan sekarang dipegang oleh Wabup Cellica Nurachadiana seharusnya secara total mendukung dan melindungi perjuangan masyarakat di tiga desa tersebut, bukan malah membela pihak APLN.
“Kami sesalkan, Cellica Nurachadiana yang menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Bupati Karawang tak jauh berbeda dengan pendahulunya Ade Swara yang selalu menutup mata terhadap dinamika konflik petani di Kabupaten karawang, khususnya Konfilk di tiga desa tersebut,” katanya.
Untuk itu, Sepetak akan terus bergerak bersama masyarakat petani dan akan terus melakukan perlawanan menentang pernyataan Agung Podomoro Land itu. Berbagai cara dan upaya akan terus digelar, baik berupa aksi-aksi massa terhadap pemerintah maupun aksi okupasi tanah sengketa. Apalagi selama ini, tanah sengketa tersebut merupakan tempat tingggal para warga, sekaligus dalam mencari nafkah mereka.
“Karena tanah adalah tempat hidup dan matinya kaum tani, maka perlawanan ini bukan hanya bicara hak atas tanah namun juga tanggung jawab sejarah akan perjuangan petani,” tegas Hilal.
Sepetak menegaskan, pihaknya mampu tunjukkan bukti asli kepemilikan hak atas tanah antara lain Letter (c), DHKP, SPPT dan STTS serta beberapa surat keterangan resmi yang dikeluarkan oleh desa agar publik mengetahui secara pasti dan terang-benderang posisi konflik ini.
“Namun, publik pun harus tahu bahwa hingga hari ini Agung Podomoro Land tidak bisa menunjukkan bukti asli surat tanah. APL hanya menggunakan PK 160 sebagai senjata pamungkasnya untuk mengklaim tanah warga. Padahal PK 160 tersebut dinilai cacat hukum karena dua alat bukti yang memenangkan perkara yaitu SPH dan Peta Bidang sudah lama berada dalam penyitaan Kejati Jakarta dan Penyidik Kepolisian,” jelas dia.[]