JAKARTA, WB – Sastrawan dan kritikus sastra tanah air, Narudin Pituin, mempunyai catatan khusus terkait dunia puisi tanah air ditahun 2017 lalu. Menurut sastrawan kelahiran Subang tersebut, Ditahun 2017, dunia puisi ditandai event penting.
Puisi kembali menggeliat ke tengah gelanggang, bukan saja ditandai oleh pembaruan dunia bisnis dengan datangnya peradaban online, namun puisi juga mengalami pembaharuan.
“Puisi kembali menggeliat ke tengah gelanggang, tulis Narudin Pituin dalam catatan awal tahun 2018 soal sastra.
Dikatakan bangkit dan menggeliat, kata Nurdin, berkaca pada watu itu dimana Panglima TNI, Gatot Nurmantyo, membacakan puisi Denny JA, yang berjudul `Bukan Kami Punya`. Tak nanggung, puisi itu dibacakan dalam tiga peristiwa politik nasional penting. Salah satunya Rapimnas Partai Golkar, Mei 2017, di Balik Papan.
Sosok Denny JA, kata Nurdin, dengan aneka kontroversinya, bukan saja membawa penulisan puisi baru yang disebut puisi esai. Denny JA membawa masuk entrepreneurship, marketing, dan leadership dalam komunitas puisi yang sebelumnya sepi berita.
Narudin memasukkan Denny JA dalam jajaran sosok pembaharu sastra sejak zaman Pujangga Baru. Di samping pembaharuan yang dibawa oleh Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri dan Sapardi Djoko Damono, Denny JA membawa pembaruan yang belum dilakukan generasi sebelumnya.
“Dalam puisi esai, Denny JA mengawinkan fakta dan fiksi, puisi dan esai. Catatan kaki yang sentral dalam puisi esai, tak hanya hadir sebagai renda-renda. Ia bagian utama yang menghadirkan fakta sosial ke dalam puisi,” kata Nurdin.
Ia menambahkan, melalui puisi esai pula, aneka topik kontroversial yang selama ini tak pernah muncul dalam puisi, dimunculkan. Mulai dengan isu diskriminasi sampai isu kontrovesial LGBT, saham, dan media sosial, menjadi tema puisi esai.
“Sebagian menyatakan, melalui puisi esai, Denny JA mengorbankan estetika. Saya berbeda pandangan,” ujar Narudin.
Estetika puisi esai, menurut Narudin, ada ditahap yang beda. Keindahan puisi esai ada pada gagasan dan substansi puisi yang merupakan sebuah drama atau fiksi dari isu sosial.
“Dan fiksionalisasi isu sosial itu bisa dinikmati dalam bahasa yang mudah. Estetika dalam puisi esai memang harus dilihat dari kerangka berpikir (school of tought) yang berbeda,” tandasnya.[]