JAKARTA, WB – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) terus mengalami pelemahan sejak dua tahun terakhir. USD sendiri kini diperdagangkan di kisaran Rp 13.900, nyaris menyentuh level psikologis Rp 14.000.
Melihat hal itu, pengamat Ekonomi Keuangan, Industri, Teknologi dan Lingkungan Hidup, Handi Risza meminta kepada Bank Indonesia agar menjaga batas psikologis supaya pelemahan rupiah terhadap USD tidak terjun bebas seperti yang dikhawatirkan.
“Bank Indonesia harus menjaga batas psikologis agar kepercayaan pasar tidak memudar,” kata Handi Risza melalui siaran persnya, Selasa (24/4/2018).
Handi melihat pelemahan rupiah selain terpengaruh oleh kebijakan Bank Sentral Amerika (Federal Reserve-The Fed) yang akan menaikkan suku bunga Federal Fund beberapa kali lagi dalam tahun ini.
Selain itu, kebijakan reformasi perpajakan yang digulirkan pemerintah AS, berhasil memangkas pajak bagi dunia usaha dari 35 persen menjadi 21 persen. Kebijakan tersebut mendorong perusahaan-perusahaan AS bisa bersaing dan menang di dunia.
Ia menjabarkan kebijakan perpajakan di AS tersebut membuat banyak investor AS yang selama ini menanamkan modalnya di luar negeri kemungkinan bakal mengembalikan modalnya ke AS.
Kebijakan reformasi perpajakan tersebut, kata dia, membuat negara-negara termasuk Indonesia perlu mengantisipasi, karena kalau seandainya terjadi capital reversal (pembalikan modal), akan sangat berpengaruh bagi perekonomian sebuah negara.
Capital reversal yang terjadi di AS, menyebabkan terjadinya tren kenaikan imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) karena SUN juga menjadi salah satu instrumen penggerak rupiah.
“Melemahnya rupiah tidak bisa dilepaskan dari fundamental ekonomi makro yang kurang kuat, pertembuham ekonomi stagnan di angka 5 persen. Neraca perdagangan yang tidak kunjung membaik. Inilah yang ikut membuat rupiah tertekan,” katanya.
Untuk menguatkan rupiah agar tidak melemah semakin dalam, lanjutnya, Bank Indonesia diharapkan melakukan intervensi stabilisasi rupiah sehingga mengurangi cadangan devisa (cadev). Bank Indonesia sendiri telah merilis posisi cadangan devisa Indonesia akhir Februari 2018 sebesar 128,06 miliar dolar AS, turun 3,92 miliar dolar AS dibandingkan dengan posisi akhir Januari 2018 yang sebesar 131,98 miliar dolar AS.
“BI harus terus memonitor dan mewaspadai risiko berlanjutnya tren pelemahan nilai tukar rupiah. Baik yang dipicu oleh gejolak global maupun yang bersumber dari kenaikan permintaan valas oleh korporasi domestik,” ungkapnya.
Tekanan terhadap rupiah tersebut, dinilainya, harus menjadi warning bagi pemerintah untuk memperkuat kembali fundamental ekonomi nasional. Kebijakan ekonomi harus di dorong untuk memperkuat daya saing dan ekspor nasional. Ini menjadi antisipasi bagi pemerintah untuk mempersiapkan perang dagang antara US dan China.
“Dampaknya akan berimbas kepada negara negara yang selama ini menjadi mitra dagang utama AS dan China, salah satunya Indonesia,” ungkapnya.[]