JAKARTA, WB – Enam fraksi politisi di Senayan yang berupaya (kembali) melakukan Revisi terhadap Undang-Undang tentang KPK (Revisi UU KPK) menuai pro dan kontra. Dalam Pasal 5 dan Pasal 73 Revisi UU KPK menyebutkan umur KPK dibatasi hanya 12 tahun.
Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA) Ray Rangkuti mempertanyakan apa dasar kalkulasinya hingga hanya diberi waktu 12 tahun setelah revisi dilakukan. “Apakah DPR sudah dapat menjamin bahwa dalam masa itu praktek korupsi kita sudah di bawah minus,” ujar Ray dengan herannya kepada Wartabuana.com, Jakarta, Kamis (8/10/2015).
Menurutnya revisi UU KPK yang menuju pada pelemahan KPK harus ditolak. Lantaran ada lima pasal yang tidak masuk akal.
“Sekian banyak lembaga negara yang bersifat ad hoc tak ada satu pun lembaga tersebut dinyatakan masa berlakunya. Semua lembaga bersifat ad hoc itu dibuat dengan tidak ditetapkan masa berlakunya. Maka menjadi aneh mengapa untuk KPK seolah-olah dibutuhkan masa berlakunya,” kata dia.
Dalam konteks yang sama dia mengatakan DPR seperti tidak berminat menyiapkan lembaga penegak hukum lain seperti kepolisian dan kejaksaan untuk lebh siap dan lihai dalam menangani kasua korupsi. Bahkan, revisi UU Kepolisian sama sekali tidak dilirik oleh DPR.
“Padahal tanpa revisi UU Kepolisian yang sekarang sudah dapat dibayangkan polisi akan kesulitan menangani kasus-kasus korupsi baik dalam skala kecil maupun skala besar. Kerja polisi yang masih menangani misalnya penerbitan STNK, SIM dan sejenisnya memperlihatkan masa depan kepolisian yang sulit jauh dari urusan-urusan pemasukan dana,” beber dia.
“Maka aneh DPR membuat masa berlaku KPK pada saat dimana mereak tidak menyiapkan perangkat lain pemberantasan korupsi. Selain terkait poin ini, poin kasus yang berhak ditangani oleh KPK juga masalah,” tuturnya lagi.
Selain itu, hal yang perlu dikritisi kata Ray dalam revisi tersebut dimana lembaga antirasuah tersebut hanya bisa menangani perkara korupsi dengan kerugian negara Rp50 Miliar ke atas. Menurutnya batasan angka 50 M itu juga tidak memiliki basis argumentasi yang jelas. Dengan batasan itu, justru potensial melahirkan koruptor-koruptor baru yang berhitung kasusnya tidak akan ditangani oleh KPK.
“Dalam artian korupsi di bawah 50 M akan ditangani oleh kepolisian atau kejaksaan memberi ruang yang cukup bagi para koruptor untuk menggasak uang negara. Sebab, mereka sudah memperhitungkan bahwa fokus dan perhatian kepolisian dan kejaksaan bukanlah pada pemberantasan korupsi. Dengan setidaknya dua pasal ini jelas hanya akan menjadikan KPK sebagai lembaga pajangan. Lembaga yang seolah memberi kesan adanya upaya serius untuk menangani korupsi. Padahal kenyataannya lembaga yang diharapkan melakukan itu telah dilumpuhkan kewenangan dan tajinya. Oleh karena itu adalah kewajiban moral dan politik kita untuk menolak revisi UU KPK yang menjadikan KPK sebagai lembaga pajangan atau aksesori. []