WARTABUANA – Pernyataan Ketua DPP Partai Golkar Bidang Kerjasama Ormas, Dr. M. Sabil Rachman di beberapa Media yang menganggap sifat ‘Independensi’ Ormas SOKSI (Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia) yang dikemukakan Ketua Umum Depinas SOKSI Ahmadi Noor Supit saat HUT ke-61 SOKSI di Hotel Century Park, Jakarta tanggal 20 Mei adalah ahistoris dan lari dari sejarah, seperti puncak Gunung Es dari persoalan mendasar yang kini tengah dihadapi partai yang dipimpin Airlangga Hartarto itu.
Pernyataan Sabil Rachman seperti menepuk air di dulang terpercik muka sendiri. Sabil seolah-olah tidak paham aturan main tentang keormasan dan tidak cermat membaca sejarah lahirnya Golkar.
Beberapa Kader SOKSI angkat bicara, salah satunya adalah Prof. Dr. Thomas Suyatno, saksi dan pelaku sejarah proses lahirnya Soksi pada 20 Mei 1960 dan Golkar pada 20 Oktober 1964, yang saat ini Ketua Dewan Pertimbangan SOKSI dan anggota Dewan Pembina Partai Golkar.
Pria kelahiran Klaten, 21 Desember 1940 ini mengawali karir politiknya sejak muda, terkenal santun dan hati-hati berbicara. Sebagai akademisi, setiap statementnya memiliki dasar dan cukup referensi.
Menanggapi penafsiran Dr. Sabil, Thomas mengacu pada Undang-undang No. 8 Tahun 1985, yang menyebut “Organisasi Massa atau ormas” itu bersifat mandiri dan bukan underbouw suatu partai. “Kebetulan Ketua Panja Undang-undang Bapak Suhardiman, pendiri SOKSI. Saya ikut membantu proses lahirnya undang-undang yang proses pembahasannya banyak dilakukan di Ever Green, Bogor,” ungkap Thomas.
Kemudian menurut Thomas, undang-undang tersebut diubah dengan UU No.17 Tahun 2013. Pasal 4 menyatakan: “Ormas bersifat sukarela, sosial mandiri, nirlaba, dan demokratis“. Jangan ditafsirkan lain. Berkaitan dengan substansi yang berkaitan dengan polemik istilah independensi SOKSI, sikap saya tegas, SOKSI tetap sebagai ormas mandiri sesuai dengan Undang-undang tentang ormas, baik UU No. 8 Tahun 1985 maupun UU No. 17 Tahun 2013. Pernyataan Sabil seperti itu hak dia, Saya kira Ketum Partai Golkar tidak seperti itu,” tegas Thomas.
Thomas mengaku, ketika polemik ini muncul di media, dia telah langsung menyampaikan pandangan dan pendapatnya kepada Ketua Umum SOKSI dan Ketua Umum Golkar melalui chat WA. “Pak Airlangga membalasnya dengan “acungan jempol” (emotion),” cerita Thomas.
Thomas tidak mau berprasangka buruk terkait apa yang melatarbelakangi Sabil Rachman melontarkan pernyataan itu. “Mungkin karena kesibukannya, sehingga beliau tidak secara cermat membaca UU No. 8 Tahun 1985 dan UU No. 17 Tahun 2013 tentang ormas dan belum mencermati sejarah kelahiran Golkar.
Kita harus maklum, dan itu hak dia, silahkan saja dia mau berpendapat apa saja. Tetapi sebagai kader senior SOKSI dan kader Golkar, tentu saya wajib meluruskan,” ujar Thomas.
Lebih lanjut dosen Pascasarjana (S-3) Universitas Negeri Jakarta ini memaparkan, eksplisit di dalam Anggaran Dasar Partai Golkar menyebutkan,”Partai Golkar menjalin kerja sama dengan ormas sebagai kader yang mempunyai ikatan sejarah sebagai organisasi pendiri”.
Thomas melanjutkan, sejak kelahiran Golkar sampai sekarang, bentuk kerja sama antara Ormas pendiri Golkar dan Golkar yang didirikan, ada dua macam. Pertama, ormas pendiri sebagai pelaksana program dari Golkar. Kedua, ormas pendiri menjadi sumber kader Golkar. Golkar sebagai partai tidak boleh punya anggota ormas, tetapi anggotanya perorangan.
Menghadapi Pemilu 2024 mendatang, menurut Thomas, sikap SOKSI tegas mendukung Pemilu, dan Pileg. “Hukumnya wajib, tidak bisa tidak, itu sebagai pribadi-pribadi. Tetapi sebagai organisasi, SOKSI sebagai pendiri Golkar dalam Munas terakhir menegaskan bahwa Capres 2024 adalah Ketua Umum Golkar. Itu sikap politik SOKSI,” kata Thomas.
Sebagai saksi dan pelaku sejarah kelahiran dan perkembangan Golkar, apalagi masuk dalam jajaran Dewan Pembina Partai Golkar, Thomas merasa prihatin dengan kondisi internal partai berlambang pohon beringin itu. Thomas merindukan masa-masa awal Golkar yang besar, solid, dan membudayakan suasana demokratis dan dialogis sebagai wadah bersama untuk saling memberi dan saling menerima ide, gagasan, dan konsep. Namun anggota DPR-RI (periode 1992 – 1997 dan 1997-1999) ini berusaha memaklumi kondisi sekarang karena berbagai faktor internaldan eksternal.
“Yang harus segera dilakukan adalah menjaga soliditas, kekompakan, persatuan dan kesatuan semua unsur yang merupakan keluarga besar Golkar. Suasana dialogis harus terus-menerus dikembangkan. Sekarang sangat memprihatinkan, bahkan saya katakan hampir tidak ada dialog, kecuali ada event besar seperti Munas atau Rapimnas,” kata Thomas.
“Mungkin karena kesibukan dan adanya agenda-agenda lain yang dianggap lebih penting. Padahal menurut saya, suasana dialogis sangat penting dan mendesak yang perlu mendapatkan prioritas oleh teman-teman saya di DPP Golkar. Kami sebagai Dewan Pembina masih mempertahankan suasana dialogis. Secara rutin membahas beragam isu dan persoalan untuk dicarikan solusinya, untuk kemudian diberikan kepada DPP Golkar,” papar Thomas.
Hilangnya suasana dialogis dalam kepengurusan Partai Golkar bisa menimbulkan mis-komunikasi antar-sesama kader seperti yang dilakukan Sabil Rachman. “Belakangan ini sering terjadi mis-komunikasi. Itu bukan hanya tugasnya Sabil, tapi juga tanggung jawab dan tugas Ketua Umum serta Sekjen yang bertanggung jawab ke dalam dan keluar,” ujar Thomas.
Seharusnya Partai Golkar belajar dari pengalaman masa lalu dengan lahirnya Hanura, Nasdem, Demokrat, Gerindra, dan Berkarya. Semua partai itu dilahirkan oleh kader-kader Golkar.
“Jika tidak segera dilakukan pembenahan, tentu tidak mustahil, suara-suara itu, aspirasi anggota juga bisa terpecah-pecah nantinya. Tidak mustahil nantinya akan lahir partai-partai pecahan dari Golkar. Kondisi ini harus segera disikapi dengan membuka dialog antar-unsur di dalam tubuh Golkar,” kata Thomas.
Persoalan serius kedua yang kini terjadi di Golkar menurut Thomas adalah kaderisasi yang tidak berjalan dengan baik. Kader-kader Ormas Pendiri masih belum sepenuhnya dijadikan sebagai sumber utama kader Golkar.[]