JAKARTA, WB – Proyek Giant Sea Wall (GSW) dan mega proyek Pembangunan Terpadu Pesisir Ibu Kota Negara (National Capital Integrated Coastal Development/NCICD) yang dibangun oleh Pemprov DKI Jakarta di Muara Baru, Jakarta Utara dengan memakan lahan yang membentengi Teluk Jakarta sepanjang 32 kilometer diharapkan bisa mengatasi banjir terutama saat kenaikan permukaan air laut. Namun, banyak juga sisi negatifnya.
Selain berfungsi sebagai penampung air banjir yang jadi masalah Jakarta setiap tahunnya, wacana tersebut ditujukan untuk mengantisipasi banjir yang sewaktu-waktu dapat menenggelamkan ibukota. Pemprov juga mengklaim kalau air yang ditampung nanti bisa dikelola dan dimanfaatkan untuk yang lebih baik seperti menjadikan air minum.
Meski dianggap bisa mensejahterahkan warga terutama nelayan, namun pengerjaan proyek tanggul raksasa mulai dari tahap A, tahap B, dan tahap C yang sekiranya bakal rampung pada 2030 dengan menghabiskan dana sebesar Rp 500 triliun ini menuai banyak pro dan kontra.
Pakar Teknik Lingkungan Universitas Indonesia (UI) sekaligus Direktur Indonesia Water Institute, Firdaus Ali mengaku mendukung penuh gagasan Pemprov DKI. Meski demikian pemerintah harus memikirkan dampak negatif masyarakat setempat mengenai kehidupan nelayan dan ekosistem air terutama ketahanan lingkungan.
“Nelayan pasti mengalami kepindahan tempat tinggal di luar tanggul. Mereka bakal mendapatkan rumah layak dari Pemprov tanpa harus adanya pungutan dan diberikan priyoritas utama,” kata Firdaus saat dihubungi Wartabuana.com, Jumat (10/10/2014).
Tanggul tipe A yang diperkirakan rampung dalam 3 tahun atau 2017 mendatang bertujuan agar Jakarta bebas banjir rob. Namun untuk pembangunan GSW yang perlu dikaji kembali di antaranya bagian tanggul laut Garuda Raksasa alias tahap B pembangunan NCICD.
Sebab, pembangunan tanggul raksasa tahap B dikhawatirkan akan menjadi kolam limbah dari 13 sungai di Jakarta. Terlebih, pantai utara Jakarta tidak memiliki gelombang pasang yang tinggi yang bisa membilas endapan lumpur di tanggul.
“Selain itu, dalam pembangunan tahap B dan C pasti akan mempengaruhi ekosistem air yang merubah air laut menjadi air tawar. Pemerintah harus berfikir ke arah situ dan proyek ini jangan sampai merugikan pihak lain terutama nelayan. Saya juga selalu mengingatkan agar proyek ini tetap harus Pemda DKI yang pegang, bukan pemerintah pusat,” tuturnya.
Mengubah Ekosistem
Berbeda dengan Nirwono Joga. Menurut Pengamat Transportasi dan Perkotaan ini, proyek tanggul raksasa tersebut dinilainya sangat sia-sia.
“Ini berindikasi merugikan negara karena tidak pasti menyelesaikan masalah rob dan banjir. Selain itu imbasnya juga pemerintah tidak bisa menyediakan air baku yang bersih karena ada persoalan mendasar yang tidak diselesaikan seperti pengendalian sampah limbah dari hulu ke hilir,” tegas Nirwono.
Menurutnya, Proyek ini juga bakal mengubah ekosistem pesisir dan juga pengendalian pemompaan air tanah sehingga mempercepat penurunan muka tanah.
Nirwono juga berpandangan, lebih baik Pemda fokus pada penyelesaian PR dalam penanganan banjir, ketimbang harus menghabiskan uang rakyat sebanyak 500 triliun.
“Lebih baik fokus pada normalisasi 13 sungai, revitalisasi 44 waduk serta 14 situ dan perbanyak ruang terbuka hijau sebagai daerah resapan air,” imbuhnya.
Gusur Nelayan
Pertentangan lain juga datang dari Aktivis Kelautan LSM KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan). Menurut Sekjen KIARA Abdul Halim, proyek pembangunan GSW tersebut berpotensi akan menggusur sekitar 16.855 nelayan Jakarta.
“Selain berpotensi menggusur nelayan, proyek ini juga akan membutuhkan biaya pemeliharaan senilai Rp1 triliun setiap tahun. Saya menilai tindakan tersebut sangat tidak adil dan tidak manusiawi,” ujar Abdul Halim.
Menurut Abdul, pemerintah seharusnya menghentikan rencana pembangunan Giant Sea Wall di Teluk Jakarta tersebut. Menurutnya lebih baik pemerintah menjalankan pembangunan Kota Jakarta secara partisipatif yang dapat meningkatkan daya dukung lingkungan hidup dan menyelamatkan Jakarta ketimbang menghabiskan dana sebesar itu. []