WARTABUANA – Dinamika dunia internasional pasti memiliki dampak positif dan negatif bagi semua negara, tidak terkecuali Indonesia. Dampak paling buruk, bisa menghancurkan keutuhan sebuah negara.
“Dalilnya kalau rumah tetangga terbakar maka kita tidak bisa bilang rumah kita aman,” ujar Prof. Dr. Hasjim Djalal, M.A, Pakar Hukum Laut Internasional, pada Diskusi Panel Serial ke-15 bertema Mengenali Ancaman dari Luar Negeri (Perkembangan Internasional) yang digelar Yayasan Suluh Nuswantara Bhakti (YSNB) bekerjasama dengan FKPPI dan Aliansi Kebangsaan, Sabtu (1/9/2018) di Hotel Sultan, Senayan, Jakarta.
Selain Prof. Dr. Hasjim Djalal, M.A, di acara reguler itu juga menghadirkan M.A nara sumber Rene L. Patiradjawane serta Ketua FKPPI sekaligus Ketua Aliansi Kebangsaan, dan Pembina YSNB Pontjo Sutowo, serta Ketua Panitia Bersama DPS Iman Sunario, dan Prof. Dr. La Ode Kamaludin sebagai moderator.
Untuk mencegah dampak paling buruk yang mungkin terjadi akibat dinamika dunia internasional, Pontjo Sutowo mengharapkan agar `konsep keamanan nasional` segera diperbaharui dengan memasukkan ancaman perkembangan internasional yang ada.
“Faktanya konsep keamanan nasional yang ada di Indonesia masih sangat tradisional dan kembali ke konsep tradisional di mana makna keamanan dan pertahanan secara tegas dipisah menjadi hitam dan putih. Tidak komprehensif sebagai mana yang dilakukan masyarakat internasional dewasa ini,” ungkap Pontjo Sutowo.
Untuk itu, Pontjo Sutowo meminta agar konsep keamanan nasional memasukkan juga di dalamnya ancaman dari perkembangan internasional terbaru seperti isu “The Belt and The Road Inisiatif atau OBOR yang merupakan perluasan pembangunan infrastruktur yang diprakarsai Cina dengan skema “Turn Key Projects Management” yaitu suatu proyek yang dana, manajemen, material, marketing, dan tenaga manusianya semua berasal dari Cina.
Kemudian isu “Silent Invension” yang angkat Clive Hamilton dengan menyebut jika kampanye spionase dan pengaruh intrik China yang sistematis mengarah pada “erosi kedaulatan Australia”.
“Erosi disebabkan karena gelombang migrasi China ke Australia termasuk di dalamnya para milyuner, pemilik media, mahasiswa, serta profesional lainnya. Isu ini sangat mungkin juga berlangsung di Indonesia,” papar Pontjo Sutowo.
Point lain adalah desakan ditetapkan ALKI-IV (Timur-Barat). Desakan yang muncul dari AS dan Australia ini meminta Indonesia menetapkan ALKI-IV yang membentang dari Laut Arafuru hingga Laut Jawa sehingga merusak konsekwensi Indonesia sebagai negara kepulauan.
“Konsep keamanan nasional kita sudah harus diperbaharui. Apabila tidak, dikawatirkan dapat menyebabkan terjadinya mispresepsi tentang pengelolaan keamanan nasional yang berujung tidak memberi kontribusi positif bagi penataan ulang sektor keamanan nasional Indonesia dimasa mendatang”, kata Pontjo Sutowo.
Sementara itu menurut Hasjim Djalal, perkembangan internasional dari konflik di Laut Cina Selatan dapat berimbas negatif bagi Indonesia. Sekalipun Indonesia tidak termasuk negara yang bersengketa di Laut Cina Selatan, seperti Cina dan Cina-Taipei, Filipina, Malaysia, Brunai Darussalam, Vietnam.
Imbas bagi Indonesia baru terjadi jika 9 garis putus-putus Cina/Cina-Taipei bersinggungan dengan ZEE dan landas kontinen Indonesia. Meskipun demikian, dari awal secara tidak resmi, Cina telah mengakui Natuna adalah wilayah RI dan tidak memiliki masalah dengan Indonesia.
Imbas konflik di Laut Cina Selatan juga dapat terjadi dari hubungan kedekatan Indonesia dengan ASEAN. Kedekatan inilah yang mampu memberi imbas negatif paling potensial dari perkembangan internasional bagi Indonesia, jika terjadi konflik di Laut Cina Selatan.
“Karena itu, Indonesia harus tetap ikut aktif dalam mengupayakan perdamaian dan stabilitas di wilayah Laut Cina Selatan, agar semua pihak mematuhi aturan hukum dan menghindari kegiatan militer, supaya dampak buruk konflik tidak berimbas ke Indonesia,” kata Hasyim Djalal.
Pembicara lain, Rene L. Patiradjawane mengatakan jika perkembangan internasional telah demikian cepat. Perubahan yang membawa AS dan Cina menjadi negara adidaya secara ekonomi dan militer. Padahal sebelumnya kita hanya mengenal 1 negara adidaya saja yaitu AS. Perubahan tersebut ternyata menghadirkan persaingan antara keduanya dan menjadi ancaman bagi Indonesia.
Namun, masalah Indonesia belum menyikapi masalah krusial tersebut dengan semestinya. Belum ada kesatuan pandangan tentang geopolitik maupun perkembangan geo-ekonomi di antara para elit politik dan kementerian-kementerian di lingkungan pemerintahan. “Sebagai akibatnya, masalah yang ada menjadi masalah yang semakin rumit,” tegas Rene L. Patiradjawane.
Rene L. Patiradjawane juga memaparkan, kini sudah saatnya Indonesia menyatukan pandangan tentang geopolitik dan perkembangan geo-ekonomi agar mampu meminimalisasi ancaman dari perkembangan internasional yang demikian pesat.[]