YOGYAKARTA, WB – Dinasti politik berpotensi kuat menyuburkan budaya koruptif. Tapi pencegahan dinasti politik bukan dengan membuat aturan hukum. Menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD lebih baik memperbaiki instrumen hukum Pilkada.
Dinasti Politik bisa membuat orang yang tidak kompeten memiliki kekuasaan. Tapi hal sebaliknya pun bisa terjadi, dimana orang yang kompeten menjadi tidak dipakai karena alasan bukan keluarga. Di samping itu, cita-cita kenegaraan menjadi tidak terealisasikan karena pemimpin atau pejabat negara tidak mempunyai kapabilitas dalam menjalankan tugas.
Maka dari itu Dinasti politik bukanlah sistem yang tepat untuk diterapkan di Indonesia, sebab Indonesia bukanlah negara dengan sistem pemerintahan monarki yang memilih pemimpin berdasarkan garis keturunan.
Saat menjadi keynote speaker dalam seminar nasional `Dinasti Politik dalam Pilkada dan Potensi Korupsi di Daerah`, di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, Sabtu (20/5/2017), Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menyatakan, dibanding membatasi seseorang mencalonkan diri di Pilkada, lebih baik memperbaiki instrumen hukum Pilkada.
Putusan MK telah membatalkan pasal 7 huruf r UU No 8 tahun 2015, tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota. Sebab pasal `dinasti politik` tersebut dinilai inskonstitusional, bertentangan denganPasal 28 ayat (2) UUD 1945.
Menurut Mahfud, tidak ada yang dilanggar jika ada keluarga kepala daerah incumbent mencalonkan diri saat pilkada.”Kalau setiap orang yang berhubungan keluarga dilarang mencalonkan diri, itu tidak adil, itu pandangan MK ketika itu,” ujarnya.
Sebelumnya pemerintah melalui pasal 7 huruf r UU tersebut, ingin membatasi paslon yang memiliki ikatan keluarga dengan incumbent. Lantaran selama ini paslon terpilih yang memiliki kekerabatan incumbent rentan lakukan korupsi. Hal ini sudah terjadi di beberapa daerah.
“Memang di Indonesia, fenomena ini menjadi problem. Karena (dinasti politik) bisa terjadi langkah-langkah (upaya) korupsi,” lanjut Mahfud.
Untuk menyiasati potensi korupsi, Mahfud MD berpendapat agar instrumen hukum pilkada diperkatat. Sehingga potensi korupsi dari dinasti politik bisa diminimalisir. “Apa yang (harus) kita lakukan, yakni instrumen hukum pilkada harus lebih ketat,” paparnya.
Dia tak menampik sistem politik di Indonesia berbeda. Lantaran keluarga incumbent yang jadi kepala daerah di tempat lain berpotensi korupsi. “Setiap orang yang memiliki hubungan keluarga dengan incumbent kok dilarang? Karena di Indonesia (pejabatnya) kreatif untuk korupsi,” sindirnya.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) saat menghapus pasal `dinasti politik` dalam UU No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada cukup jelas. Dalam Pasal 7 huruf r disebutkan:
Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota adalah yang memenuhi persyaratan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.
Lalu apa yang dimaksud dengan `kepentingan dengan petahana`? Dalam penjelasan UU tersebut disebutkan:
Yang dimaksud dengan “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 kali masa jabatan.
MK menghapuskan pasal tersebut karena bertentangan dengan konstitusi dan UUD 1945.Hal itu dilakukan bukan berarti MK menafikan kenyataan di mana kepala daerah petahana (incumbent) memiliki berbagai keuntungan.
Namun, pembatasan demikian haruslah ditujukan kepada kepala daerah petahana itu, bukan kepada keluarganya, kerabatnya, atau kelompok-kelompok tertentu tersebut.
Hapusnya pasal `dinasti politik` atas permohonan anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan 2014-2019, Adnan Purichta Ichsan. Adnan memberikan kuasa hukum kepada tim pengacara Heru Widodo, Supriyadi Adi, Novitriana Arozal, Dhimas Pradana, Aan Sukirman, Mappinawang, Sofyan Sinte, dan Mursalin Jalil. []