WARTABUANA – Perjalanan sejarah demokrasi pada tahun 98, merupakan bagian dari perjalanan sejarah bangsa. Saat itu, menjadi awal perhelatan demokrasi dengan sejarah pergantian tampuk pimpinan pemerintahan orde baru. Ditahun 98, dimata analis politik dari Lemhanas, Dadan Umar Daihani berpandangan jika demokrasi 98, harusnya menjadi kemeriahan pesta demokrasi dan bukan kegaduhan demokrasi.
“Kita boleh mengatakan kemeriahan pesta demokrasi atau kegaduhan demokrasi. Tapi kalau kita mundur ke 98, ini petanya jadi jelas. Siapa aktivis yang reformis dan konsisten dan siapa yang berkhianat saat ini,” ujar Daihani saat diskusi `Refleksi 21 Tahun Reformasi` bertajuk Quo Vadis Reformasi dan Aktivis Reformasi.
Aktivis reformasi dimata Daihani, adalah tak ubahnya bicara pergerakan moral dimana suara demokrasi yang digerakkan adalah murni menyuarakan gerakan moral, kebenaran dan menumbangkan yang salah. Sayangnya gerakan tersebut saat ini mulai disalah arahkan dengan banyaknya gerakan politik identitas.
Artinya, selama orde lama yakni 20 tahun hanya ada satu presiden. Kemudian juga pada era orba selama 32 tahun hanya ada satu presiden. Namun kini sejak reformasi 98 sampai 2019, bangsa ini punya 5 presiden.
Namun begitu kata Daihani, Proses demokrasi seolah-olah berjalan baik. Namun yang menjadi kekhawatiran sekarang adalah bangsa tengah dihadapkan lagi dengan politik identitas. Padahal kata dia, bangsa ini sudah mempunyai falsafah ideologi pancasila.
“Ideologi pancasila yang hanya punya 4 tujuan yaitu melindungi rakyatnya, mencerdaskan kehidupan bangsanya, membuat adil dan makmur, serta menjaga perdamaian dunia,” tegas Daihani.
Daihani berharap, saat ini para elit politik yang bermoral yang melanjutkan kursi pemerintahan dengan kabinetnya. Melirik pada aktivis 98, Daihani menunjuk Irly, Eli, Usman saat menjadi mahasiswa 98 duduk sebagai pejuang kampus.
“Kenapa tidak dibuatkan monumen perjuangan 98 di Semanggi untuk sebagai tanda bahwa di tahun 98 ada gerakan mahasiswa yang tidak mengharapkan jadi pimpinan politik saat itu?” jelas Daihani .
Mahasiswa telah menumbungkan rezim orba yang otoriter, kemudian membuka jalan para politisi bermoral untuk meng take over. Sebut saja nama Amin Rais, Gusdur, dan Megawati.
“Mahasiswa dan kami mengantarkan mereka semua. Tapi ternyata sekarang setelah 21 tahun teruji siapa saja politisi yang melanjutkan pengorbanan para mahasiswa saat itu sebagian menjadi martir untuk memperjuangkan reformasi,” ulas Daihani.
Ia pun berharap para aktivis 98 ini mampu membuka kedok politisi yang sudah lagi tidak sejalan dengan marwah demokrasi. Ia berharap para aktivis 98 segera mengambil peran aktif di politik, dengan merebut posisi strategis, supaya apa yang dipikirkan selama ini dapat diwujudkan.
“Jadi para gerakan 78 itu hanya mengantarkan saja, dan aktivis 98 yang maju. Karena kita saat itu sudah cukup berumur. Sebagai anugerah, dengan segala kekurangan, akhirnya sekarang terbuka peta siapa yang konsisten dengan reformasi dan siapa yang berkhianat,” tandasnya.
Sementara itu pengamat politik LIPI, Iren Hiraswari Gayatri menilai bahwa, dinamika politik tahun 98, adalah ketika dinamika politik di Indonesia itu mengalami pengkerucutan sangat keras dari dua dimensi. Pertama politik ekonomi Internasional, dimana ada krisis global dan Indonesia satu diantaranya.
“Dan kalau kita lihat di orde baru, adalah terdapat titik dimana terjadi internal breeding yang dimana terjadi disaat menjelang keruntuhan rezim orba. Terjadi penembakan mahasiswa oleh aparat, ” kata Irene.
Sedangkan dimensi yang kedua kata dia adalah, Perubahan politik di satu sisi, dan dinamika transformasi gerakan yang disebut gerakan moral, dimana menjadi ruang bagi mahasiswa sendiri untuk refleksi.
“Jadi gerakan moral itu adalah untuk mengurung massa agar tidak pergi menjauh dari sekedar agen protes. Disengaja untuk mengurung mahasiswa. Jadi kalau ada yang menyamakan hari ini sama dengan tahun orde baru, artinya orang itu mengkhianati perjuangan aktivis 98, ” tutup Irene. []