WARTABUANA – Para peneliti dari badan ilmu pengetahuan nasional Australia mengembangkan implan yang mampu memantau aktivitas otak dan mencegah kejang pascaoperasi.
Tim dari Data61, unit spesialis digital Organisasi Penelitian Ilmiah dan Industri Persemakmuran (Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation/CSIRO), memublikasikan implan tersebut pada Senin (7/12).
Umut Guvenc, salah seorang anggota tim peneliti, mengatakan bahwa cedera otak traumatis mengimbas 69 juta orang di seluruh dunia, satu dari tiga di antaranya kemungkinan akan menderita epilepsi akibat sering mengalami kejang.
“Kondisi kejang ini kerap kali sulit dideteksi, karena teknik pemantauan saat ini hanya dapat digunakan di rumah sakit, menggunakan perangkat besar selama kurang dari 24 jam, sehingga memberikan gambaran singkat mengenai aktivitas otak selama saat itu saja,” ujarnya dalam sebuah rilis media.
“Metode baru ini dapat terus memantau aktivitas otak secara nirkabel, memungkinkan pasien untuk bergerak, merasa nyaman, dan lebih aktif secara sosial.”
Selama aktivitas normal, perangkat itu bisa menghemat daya, sebab hanya akan aktif saat mendeteksi kejang saja.
Para peneliti kini akan menggunakan dana hibah senilai 1 juta dolar Australia (1 dolar Australia = Rp10.489) dari pemerintah untuk mengembangkan “helm pintar” guna memantau pembengkakan otak pada pasien strok dan cedera otak, serta “mesin otak antarmuka” yang memungkinkan para dokter memantau fungsi otak secara waktu nyata (real time).
“Informasi yang diberikan oleh implan tersebut dapat digunakan untuk menginformasikan kepada dokter tentang aktivitas otak pasien dan membantu membuat keputusan terkait pemberian obat,” ujar Peter Marendy, peneliti senior di Data61.
“Kombinasi antara pembengkakan otak, waktu operasi, dan data hasil pasien akan memungkinkan kajian lebih lanjut mengenai waktu yang ideal untuk melakukan kranioplasti rekonstruktif guna mencapai hasil terbaik bagi pasien, penelitian yang pada akhirnya akan memengaruhi keputusan medis di masa mendatang.” [xinhua]