JAKARTA, WB – Banyak negara hancur dan lenyap dari peta dunia lantaran serangan perang modern, tanpa senjata dan dentuman peluru. Namun, perang modern ini belum diatur oleh Konvensi Jenewa.
Ada dua jenis perang modern, pertama menyerang ideologi suatu bangsa (information and ideological welfare). Perang ini menyebabkan ditinggalkannya ideology dan dasar negara dan didudukinya wilayah suatu negara secara de facto oleh kekuasaan negara asing dengan berbagai alasan.
Kedua perang yang menghancurkan kekuatan ekomoni (Financial welfare) yang menyebabkan kacaubalaunya berbagai data yang digunakan negara yang bersangkutan, dikuasainya sebagian besar sumber daya alam melalui manipulasi perizinanoleh berbagai korporasi asing. Dipengaruhinya proses legislasi, kebijakan eksekutif atau putusan pengadilan oleh para pelobi yang bekerja untuk kepentingan asing.
Menurut Pembina YSNB, Aliansi Kebangsaan, dan FKPPI Pontjo Sutowo kondisi ini belum mendapat perhatian penuh dari pemerintah, terbukti paket undang-undang pertahanan yang berlaku sekarang sudah out of dated, sebab bersal dari tahun 2002 dan 2004.
“Berbagai perang modern seperti information and ideological welfare, financial welfare, dan cyber welfare, juga belum mendapat perhatian bersama, sekalipun kini mulai tumbuh kesadaran bahayanya kondisi tersebut,” papar Pontjo dalam Pembukaan DPS Pertama di JCC, Sabtu (8/4/2017).
Menurut Pontjo, kondisi krusial tersebut seharusnya menjadi momen untuk menghimpun seluruh pemikiran kita sebagai bangsa untuk mengambil langkah yang dianggap perlu agar Ketahanan Nasional semakin kokoh. Selain itu segala kerentanan dapat ditanggulangi agar kelangsungan hidup bangsa dapat terjamin.
“Kita sebenarnya memiliki seluruh perangkat lunak yang mampu menahan perang modern, seperti Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara dijabarkan dalam Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional. Perangkat lunak tersebut, penggunaannya sepenuhnya dipundak pemerintah. Pemerintah seharusnya aktif memaksimalkannya. Namun mengingat UUD 1945 menyatakan jika pembelaan negara merupakan hak dan kewajiban setiap warga negara, maka diperlukan keterpaduan keduanya”, kata Pontjo.
Sementara itu, Menteri Pertahanan Republik Indonesia Jenderal TNI (Purn) Ryamizard Ryacudu menyatakan jika kekuatan bersenjata hanya dapat menyumbangkan 1 persen di dalam masalah perang modern, yang 99 persen sisanya adalah dengan kekuatan soft power yaitu dengan memenangkan hati nurani rakyat. Kekuatan hati nurani rakyat tersebut adalah membangun kekuatan idealisme rakyat.
Masih menurut Ryamizard, strategi pertahanan khas Indonesia dalam menghadapi perang modern adalah membangun kekuatan Idealis Hati Nurani, yang merupakan penggabungan antara kekuatan soft power keluar (Melalui Diplomasi Pertahanan Kawasan) dan penyiapan kekuatan hard power ke dalam dengan Sistem Pertahanan Rakyat Semesta.
“Konsep-konsep tersebut, yang harus lebih mengedepankan penguatan jiwa dan idealis bangsa sebagai kekuatan utama tersebut, dapat dilaksanakan melalui penanaman nilai-nilai dan Semangat Kesadaran Bela Negara. Kesadaran Bela Negara ini merupakan metode yang telah terbukti ampuh dan handal guna menangkal seluruh bentuk ancaman terhadap keutuhan dan integritas bangsa dan negara Indonesia”, jelas Ryamizard.
Lebih lanjut Ryamizard Ryacudu berharap agar membangun idealisme rakyat tersebut tidak menjadi retorika, namun harus mampu diwujudkan dan diimplementasikan secara nyata dalam produk kebijakan yang ada, serta di seluruh aktifitas komponen anak bangsa.[]