JAKARTA, WB – Revisi UU KPK dalam Pasal 5 dan Pasal 73 dijelaskan usia KPK hanya 12 tahun dinilai kiamat pemberantasan korupsi. Bukan hanya bagi KPK namun juga bangsa Indonesia. Karena pendirian KPK adalah salah satu mandat reformasi.
Demikian disampaikan Indonesian Corruption Watch melalui press releasenya yang diterima Wartabuana.com. “Pembubaran KPK secara permanen melalui Revisi UU KPK yang disahkan, akan menjadi lonceng peringatan yang baik untuk koruptor, tapi jadi penanda datangnya kiamat bagi publik dan upaya pemberantasan korupsi,” tulis ICW, Jakarta, Kamis (8/10/2015).
Revisi UU KPK lainnya menyatakan tidak lagi memiliki tugas dan kewenangan melakukan penuntutan. Tugas KPK dibidang penindakan hanya melakukan penyelidikan dan dan penyidikan. Sedangkan penuntutan dikembalikan kepada Kejaksaan Agung.
“Dalam Revisi UU KPK ini, disebutkan bahwa yang berhak menuntut adalah Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Agung, atau Penuntut Umum sebagaimana yang diatur dalam KUHAP. Hal ini tercantum dalam Pasal 53 Revisi UU KPK, dan implikasi dari pasal ini adalah KPK tidak lagi memiliki kewenangan menuntut, dan proses penanganan perkara KPK, tak ubahnya Kepolisian,” kata ICW.
KPK setelah direvisi juga akan kehilangan tugas dan kewenangan melakukan monitoring. Selain hilangnya penuntutan, Revisi UU KPK juga menghilangkan tugas KPK dalam melakukan monitoring.
Kemudian KPK hanya bisa menangani perkara korupsi dengan kerugian negara 50 Miliar Rupiah ke atas. Peningkatan jumlah kerugian negara dalam perkara yang dapat ditangani oleh KPK menjadi minimal Rp 50 Miliar Rupiah, menjadi salah satu pertanda bahwa lembaga ini sedang dikurangi kewenangannya secara besar-besaran. Sedangkan kasus korupsi dibawah Rp 50 miliar, maka KPK harus menyerahkan penyidikan kepada kepolisian dan kejaksaan.
“Padahal jika berkaca dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang berlaku sekarang, nilai kerugian negara yang ditentukan bagi KPK, hanya sebesar Rp 1 Miliar Rupiah, dan dengan angka ini, ada banyak perkara korupsi besar (grand corruption) yang juga berhasil diungkap oleh KPK,” sambungnya.
KPK dalam hal yang sama juga lebih diarakan kepada tugas pencegahan Korupsi. Upaya mendorong KPK menjadi lembaga pencegahan korupsi dapat dilihat secara jelas dalam sejumlah pasal Revisi UU KPK, yaitu Pasal 1 angka 3 pemberantasan korupsi adalah serangkaian kegiatan untuk mencegah dan memberantas terjadinya tindak pidana korupsi melalui koordinasi, supervisi, monitoring penyelenggaraan negara yang berpotensi terjadinya tindak pidana korupsi.
KPK tidak dapat membuat perwakilan di daerah Provinsi. Ketentuan lain yang hilang dalam RUU UU KPK adalah ketentuan mengenai pembentukan perwakilan KPK di provinsi. Padahal dalam UU KPK yang saat ini berlaku (Pasal 16) KPK memiliki kewenangan untuk membentuk kantor perwakilan di daerah Provinsi.
KPK harus mendapatkan izin Ketua Pengadilan untuk melakukan penyadapan. Izin penyadapan ini diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a RUU KPK , yang pada intinya mewajibkan KPK untuk memperoleh izin penyadapan dari Ketua Pengadilan Negeri.
Permintaan izin penyadapan ini dikhawatirkan justru memperbesar potensi bocornya informasi kepada subjek yang ingin disadap, sehingga proses pengungkapan perkara akan semakin lama.
KPK dapat menghentikan penyidikan perkara korupsi. Salah satu keistimewaan KPK saat ini adalah tidak adanya mekanisme penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan juga penuntutan (Pasal 40 UU KPK). Hal ini adalah salah satu parameter yang menjamin kualitas penanganan perkara di KPK yang harus dipastikan sangat matang, dan sudah dibuktikan pula melalui pembuktian bersalah di pengadilan yang mencapai angka sempurna (100 % conviction rate). Kewenangan menerbitkan SP3 justru akan membawa KPK ke level kewenangan yang tidak berbeda dengan Kepolisian dan Kejaksaan, sangat jauh dari semangat awal pembentukannya.
KPK tidak bisa melakukan rekrutmen pegawai secara mandiri. Pasal 25 ayat (2) Revisi UU KPK pada intinya menyebutkan bahwa KPK tidak bisa melakukan rekrutmen pegawai mandiri. Karena yang dapat menjadi pegawai KPK adalah pegawai negeri yang berasal dari Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangungan, dan Kementerian Komunikasi dan Informasi. Ini menandakan bahwa KPK tidak lagi dapat mengangkat pegawainya secara mandiri.
KPK wajib lapor ke Kejaksaan dan Polri ketika menangani perkara korupsi. Pasal 52 Revisi Undang-Undang KPK menyebutkan bahwa KPK wajib memberi notifikasi (pemberitahuan) kepada Kepolisian dan Kejaksaan ketika menangani perkara korupsi.
Kewajiban ini menempatkan KPK dalam posisi di bawah Kejaksaan dan Kepolisian, karena dalam Revisi Undang-Undang KPK ini, kewajiban tersebut hanya ada bagi KPK tapi tidak bagi Kejaksaan dan Kepolisian.
KPK tidak dapat mengangkat penyelidik dan penyidik secara mandiri. KPK kehilangan kemandiriannya dalam melakukan rekrutmen pegawai dan penyidik. Serupa dengan definisi pegawai KPK yang disebutkan dalam Pasal 25 ayat (2) Revisi UU KPK, mendatang penyelidik dan penyidik KPK pun dibatasi hanya dapat dipilih dari unsur Kepolisian dan Kejaksaan, berdasarkan usulan dari masing-masing lembaga, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 41 ayat (3) Revisi UU KPK.
Pemberhentian penyelidik dan penyidik harus berdasarkan usulan Kejaksaan dan Polri. Selain pengangkatan penyelidik dan penyidik yang harus didasarkan oleh usulan Kejaksaan dan Polri, Pasal 45 ayat (1) Revisi UU KPK menyebutkan pula bahwa pemberhentian penyelidik dan penyidik juga harus didasarkan oleh usulan dari Kejaksaan dan Kepolisian. Hal ini betul-betul memangkas kemandirian dan otoritas KPK dalam menjalankan kepentingan organisasionalnya, karena harus menggantungkan diri pada usulan dan keputusan dari lembaga lain.
Menjadikan KPK sebagai Lembaga Panti Jompo. Berdasarkan Pasal 30 Revisi UU KPK, salah satu syarat menjadi pimpinan KPK adalah berumur sekurang-kurangnya 50 tahun dan setinggi-tinginya 65 tahun. Syarat ini hanya akan dipenuhi oleh para manula atau pensiuanan pejabat atau orang-orang jompo. Padahal sebelumnya dalam UU KPK, disebutkan bahwa syarat minimal menjadi pimpinan KPK adalah 40 tahun.
Pembentukan Dewan Kehormatan KPK. Lembaga baru yang muncul dalam RUU KPK adalah “Dewan Kehormatan”. Kewenangan dari Dewan Kehormatan sangat besar salah satunya adalah kewenangan melakukan pemberhentian sementara dan pemberhentian tetap sebagai pegawai KPK. Kewenangan ini justru tumpang tindak kewenangan pengawas internal dan bahkan pimpinan KPK.
Ketidakjelasan Dewan Eksekutif. Revisi UU KPK menambahkan satu lagi bagian dari organisasi KPK yaitu, Dewan Eksekutif.
Kerja Dewan Eksekutif ini patut dipertanyakan, karena kerja-kerja yang sama sepertihalnya pimpinan KPK, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 Revisi UU KPK. Keberadaan anggota Dewan Eksekutif yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden (Pasal 23 Ayat 6 RUU KPK) dapat dimaknai sebagai orang titipan Presiden di KPK.
KPK tidak dapat menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi. Dalam RUU KPK juga dihapus kewenangan KPK dibidang pencegahan yaitu menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan.
Penyitaan harus dengan izin Ketua Pengadilan Negeri. Pasal 49 Ayat 1 RUU KPK mengatur penyitaan oleh KPK harus dengan izin Ketua Pengadilan Negeri.Padahal sebelumnya (dalam UU KPK yang berlaku) penyitaan KPK dapat dilakukan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri.
“Maka jelaslah sudah maksud dari pihak-pihak yang mengusulkan Revisi Undang-Undang KPK, adalah berupaya menghancurkan KPK. Jika Revisi UU KPK ini disahkan, maka hanya butuh waktu 12 tahun untuk Bangsa Indonesia menghadapi hari kiamat pemberantasan korupsi. Indonesia akan mengalami masa kegelapan,” tegasnya.
“Upaya “pembunuhan” terhadap KPK jika berhasil sungguh merupakan malapetaka bagi negeri ini. Kondisi ini tidak sejalan dengan semangat Konvensi PBB tentang Pemberantasan Korupsi (UNCAC) khususnya Pasal 6 Ayat 2 yang mengamanatkan pembentukan badan antikorupsi independen. Keprihatian juga muncul karena lahirnya naskah RUU KPK yang justru berupaya melemahkan KPK ini juga bersamaan dengan pelaksaan Konferensi Global Parlemen Antikorupsi yang diselenggarakan di DI Yogyakarta 6-8 Oktober 2015,” pungkas dia. []