JAKARTA, WB – Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai, penghidupan kembali pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam Rancangan Undang Undang Revisi Undang undang Kitab Hukum Pidana, merupakan sebagai kemunduran.
Mantan politis PKS ini mengatakan, rancangan tersebut seperti kembali pada era zaman kolonial Belanda. Sebab, pasal penghinaan presiden di KUHP sebelumnya merupakan produk kolonial Belanda yang juga pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
“Pasal ini memang digunakan bukan di Belanda, tapi di negara-negara jajahan, jadi kalau pasal ini hidup itu sama dengan Presiden itu menganggap dirinya penjajah rakyat,” ujar Fahri.
Ia pun berharap menilai pasal tersebut harus dihentikan karena kemunduran demokrasi yang sudah berjalan. Hal tersebut lanjut Fahri seperti memutarbalik jarum jam peradaban demokrasi jauh ke belakang.
“Mudah-murahan Pak Jokowi paham bahwa ini kesalahan yang fatal,” kata Fahri.
Adapun pasal penghinaan presiden dalam pembahasan ditingkat Timus RKUHP, diatur pada pasal 239 ayat (1) disebutkan setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV (Rp500 juta).
Sementara ayat (2) menyebut tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Namun pasal ini sempat mengalami perdebatan oleh sejumlah anggota Fraksi di timmus RUU RKUHP sebelum disepakati bersama Pemerintah untuk dibahas di tingkat Panja. Hal ini karena ada permintaan agar pasal penghinaan presiden diubah menjadi delik aduan, bukan delik umum sebagaimana rumusan dari Pemerintah.[]